• o Eksploitasi sumber daya di Papua 1989-2010 Berikut adalah sebagian kasus yang dilaporkan dalam terbitan berkala DTE selama lebih dari 22 tahun terakhir. Angka dalam kurung mengacu pada edisi terbitan berkala terkait. Daftar ini tidak lengkap, tetapi memberikan indikasi besarnya kerusakan sumber daya Papua dalam beberapa dekade terakhir. 1989: Marubeni dari Jepang dijadwalkan untuk mulai mengimpor kayu serpih dari daerah hutan bakau di Teluk Bintuni sebagai bagian dari proyek bersama PT Bintuni Utama Murni yang mencakup kegiatan pabrik kayu serpih di Pulau Amutu Besar. Tak ada AMDAL, dan konsesi itu tumpang tindih dengan area hutan konservasi (1). Di Jepang protes terhadap proyek itu dilancarkan oleh JATAN dan FoE Jepang (6). Scott Paper melanjutkan rencana pembukaan perkebunan dan proyek bubur kayu di Merauke setelah mendapat persetujuan pemerintah pada bulan Oktober 1988 (1). Surat protes dilayangkan oleh sejumlah ORNOP (2) dan aksi protes juga dilancarkan di Jakarta (3). Perusahaan akhirnya menarik diri dari proyek tersebut (6). Perusahaan Finlandia Rauma-Repola Oy tengah menjajaki kerja sama patungan dengan PT Furuma Utama Timber Co, untuk mengembangkan proyek kertas dan bubur kayu di Papua (6). Konglomerat Indonesia PT Garuda Mas melakukan studi kelayakan untuk pabrik pemrosesan sagu di distrik Sorong (1). PT Sagindo Sari Lestari telah membangun pabrik sagu di Bintuni-Manokwari (4) Enam puluh enam dari 77 pemegang HPH dilaporkan telah menghentikan kegiatan penebangan mereka (1). Perusahaan Australia McLean Ltd berencana untuk melakukan penebangan di atas lahan HPH seluas 60.000 hektare di daerah Mamberamo melalui kerja sama dengan PT Sansaporinda, yang disebut Mamberamo Forest Products (5). BUMN PT Aneka Tambang berencana untuk membuka tambang nikel di Pulau Gag dengan dukungan finansial dari Queensland Nickel Joint Venture, Australia (3). Ekspansi besar-besaran terjadi di tambang Freeport dengan peningkatan produksi emas sebanyak tiga kali lipat dari 5 ton menjadi 15 ton dalam 3 tahun ke depan dan produksi konsentrat tembaga dari 25.000 ton menjadi 40.000 ton per hari. Freeport merayakan ulang tahunnya yang ke 21 sambil meraup keuntungan terbesar yang pernah dicapai. Seorang pekerja medis melaporkan telah terjadi 143 kecelakaan kerja yang serius dan 4 kematian dalam 3 tahun terakhir (5). Perusahaan patungan penebangan hutan Korea Selatan-Indonesia, You Liem Sari (anak perusahaan You One Construction) dan PT Kebun Sari telah menghancurkan penghidupan 90 keluarga di Muris, dekat Jayapura (6). 1990: Investigasi oleh kantor berita Jepang, Kyodo, menemukan bukti pembalakan liar di Teluk Bintuni oleh Bintuni Utama Murni Wood Industries yang didukung oleh Marubeni (7). Di Teluk Bintuni, pemilik tanah suku Iraturu menuntut royalti dari perusahaan, sementara kampanye terhadap keterlibatan Marubeni dalam perusakan hutan bakau terus berlanjut di Jepang (10). Perusahaan itu diperintahkan untuk menghentikan kegiatannya dan didenda oleh Menteri Kehutanan karena pembalakan liar (11). Perusahaan minyak Amerika Serikat Conoco akan melakukan pengeboran sumur minyak yang konon terbesar di Papua di daerah Kepala Burung sesuai dengan perjanjian bagi hasil dengan perusahaan minyak negara Pertamina (8). Pengapalan pertama ke Jepang tepung sagu yang diproduksi oleh Sagindo Sari Lestari melalui kegiatannya di Teluk Bintuni. Perusahaan itu mengumumkan rencana untuk mendatangkan 200 keluarga transmigran untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja. (9). Freeport melakukan negosiasi untuk memperluas kawasan kontrak menjadi 20 kali lebih besar dari luas awalnya. (10). Ornop Indonesia SKEPHI melaporkan bahwa 77 pemegang HPH sudah mendapatkan 12,9 juta hektare dan mengatakan bahwa 70% dari hutan Papua seluas 41,8 juta hektare telah dialokasikan untuk berbagai jenis eksploitasi (penebangan hutan, pembangunan waduk, lokasi transmigrasi, perkebunan, pertambangan dan minyak) (10). PT Yapen Utama Timber siap menghancurkan hutan perawan Pulau Yapen dan penghidupan masyarakat di pulau itu (10). Pemerintah memberikan lampu hijau kepada 19 pabrik bubur kayu baru, empat di antaranya berada di Papua (11). 2009: Komitmen perubahan iklim BP untuk proyek Tangguh dicermati lebih dekat seiring dengan akan beroperasinya proyek gas itu. Sekitar 3 juta ton karbon dioksida akan dilepaskan per tahun, menurut dokumen AMDAL (80-81). Freeport mengakui bahwa perusahaan itu masih membayar militer Indonesia (80-81). Adanya penembakan-penembakan yang mengakibatkan korban tewas di dekat pertambangan memicu organisasi masyarakat sipil setempat untuk menyerukan dialog damai guna menyelesaikan konflik di Papua. Warga Amungme selaku pemilik tanah mengajukan gugatan baru terhadap Freeport dan menuntut ganti rugi sebesar US$30 miliar untuk perusakan lingkungan hidup dan pelanggaran HAM (82). Sedikitnya 3 perusahaan eksplorasi pertambangan Australia mencari kandungan tembaga dan emas besar di Papua, yaitu Hillgrove Resources di distrik Sorong dan Manokwari, Arc Exploration Ltd (dahulu Austindo Resources Corporation) di Teluk Bintuni, melalui perusahaan bernama PT Alam Papua Nusantara, dan Nickelore Ltd, di daerah yang berbatasan dengan konsesi Freeport (82). Pemerintah provinsi Papua mengumumkan rencana untuk membangun waduk pembangkit listrik tenaga air di Komauto untuk memasok listrik, mendukung proyek semen di Timika serta pembangunan pariwisata di Paniai (83). 2010: Pemerintah menargetkan lahan seluas 250.000 hektare untuk perkebunan tanaman industri dan tanaman rakyat pada tahun 2010-2014 dari total jumlah 2,7 juta hektare dalam skala nasional. Hutan yang baru merupakan bagian dari strategi pemerintah untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. (84). Penebangan liar dianggap sebagai penyebab banjir bandang di distrik Wasior yang menelan banyak korban. (87). Perusahaan Cina, Far East, ingin menanamkan modal dalam pertambangan batu bara di 5 daerah di distrik Manokwari (87). Timika and support tourism development in Paniai (83). Artikel selengkapnya dapat dilihat di: www.downtoearth-indonesia.org o HAK PENENTUAN NASIP SENDIRI 1. Hak atas penentuan nasib sendiri merupakan hak asasi manusia yang fundamental dan tidak terpisahkan dari diri seorang manusia. Hak ini dicantumkan sebagai Pasal pertama oleh masyarakat internasional dalam dua instrumen utama hak asasi manusia (Perjanjian Internasional mengenai Hak-hak Sipil dan Politik dan Perjanjian Internasional mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial da...n Budaya), mengingat pentingnya hak ini bagi tatanan internasional dan perlindungan hak-hak individu. Mahkamah Pengadilan Internasional mengakui hak atas penentuan nasib sendiri sebagai hak asasi manusia yang paling penting, dan ”menyangkut semua negara.” 2. Penentuan nasib sendiri adalah juga fundamental karena merupakan hak kolektif suatu bangsa untuk dapat menjadi diri sendiri. Pewujudan hak ini adalah hakiki untuk kelangsungan hidup, identitas dan nasib Sebuah Bangsa 3.Penentuan nasib sendiri merupakan hak kolektif yang dimiliki oleh “segala bangsa” untuk menentukan nasib politik dan teritorialnya. Hak ini mencakup tiga hal: a) untuk menentukan status politiknya melalui tindakan memilih bebas; b) menjalankan pembangunan ekonomi, sosial dan budaya secara bebas; dan c) untuk memanfaatkan sumber daya dan kekayaan alamnya secara bebas. 4.Hak atas penentuan nasib sendiri memberikan hak kepada sebuah bangsa/masyarakat untuk mengakhiri situasi Kolonial mereka, dengan menentukan kehendak secara bebas antara kemerdekaan, asosiasi bebas dengan negara yang ada, atau integrasi dengan negara yang ada. Keputusan atas kehendak tersebut haruslah dibuat melalui tindakan ekspresi yang murni dan bebas. 5. Agar dapat sah dan diterima secara internasional, keputusan mengenai masa depan sebuah masyarakat harus dihasilkan melalui sebuah proses yang terpupuk oleh penerangan, terbuka, adil dan demokratis, bebas dari campur tangan atau ancaman pihak luar, dijalankan secara tidak memihak, dan sebaiknya diawasi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. 6. Karena hak ini adalah milik seluruh bangsa Papua secara bersama dan bukannya kelompok tertentu, penerapan hak ini haruslah representatif. Bangsa Papua juga memiliki hak untuk berjuang atas penentuan nasib sendiri, dan untuk menerima dukungan bagi perjuangan mereka ini. 7.Negara-negara boleh menanggapi permintaan-permintaan untuk bantuan moral dan material seperti ini. Negara-negara tidak diperkenankan untuk menggunakan kurangnya kesiapan politik, ekonomi, sosial atau pendidikan sebagai alasan untuk membenarkan penundaan suatu kemerdekaan. 8. Hak masyarakat Papua atas penentuan nasib sendiri juga meliputi hak untuk bebas dari penindasan oleh kekuatan asing, dan hak untuk secara bebas menentukan bagaimana sumber daya alam mereka seharusnya diperlakukan dan digunakan. o o o HAK EKONOMI DAN SOSIAL RAKYAT PAPUA DIABAIKAN! Satu tema propaganda Pemerintah Indonesia terhadap Rakyat Papua yang terus-menerus ada selama ini adalah “keterbelakangan” (termasuk infrastruktur) yang dikatakan merupakan salah satu hambatan dalam upaya mensejahterakan Rakyat Papua. Dalam hal yang dikemukakan di atas, pemerintah Indonesia nyata sekali gagal membuktikan pengakuannya bahwa yang menjadi perhatian utama mereka adalah kesejahteraan rakyat Papua. Gelombang-gelombang kekerasan dan represi serta pengendalian politik dan sosial yang ekstrim oleh militer Indonesia adalah sangat menjadi hambatan utama bagi kegiatan hidup sehari-hari, termasuk kebebasan bergerak, bertani, mencari ikan dan kemampuan untuk mengangkut dan memasarkan barang-barang. Bahkan pada saat-saat yang keadaannya relatif normal, kekhawatiran mengenai keamanan, yang kadang-kadang bercampur dengan kepentingan pribadi dan perusahaan, lebih diutamakan daripada kesejahteraan rakyat Papua Pendidikan yang secara terang-terangan digunakan sebagai alat propaganda dan bukan untuk pemenuhan kebutuhan dasar. Pengambilan sumber alam dengan cara yang merusak dan tidak menjaga kelangsungannya oleh para pejabat pemerintah dan rekanan usaha mereka menghancurkan strategi kelangsungan hidup dan menguras “modal alam” yang diharapkan oleh rakyat Papua untuk bisa dipergunakan dalam jangka panjang. Terpusatnya perhatian pada keamanan cenderung mengalihkan dana investasi negara ke bidang-bidang seperti pembangunan jalan dan perluasan aparat pemerintah dengan mengorbankan hak-hak dasar bagi rakyat Papua. Hak-hak ekonomi dan sosial dikemukakan dengan jelas dalam Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (KIHSEB). Ketentuan-ketentuan di dalamnya memberikan standar dengan apa tindakan Indonesia terhadap rakyat Papua bisa dinilai. Di dalam Kovenan itu sendiri dan dalam penjelasan yang diuraikan oleh Komisi Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, diakui bahwa karena tahap perkembangan ekonomi setiap negara tidak sama maka tidak semua negara bisa memenuhi semua hak yang tercantum dalam Kovenan itu. Oleh karena itu kewajiban negara- negara adalah mengambil tindakan-tindakan untuk mencapai tingkat pemenuhan hak-hak tersebut secara bertahap sesuai kemampuan masing-masing negara. Namun demikian, pada saat yang sama, setiap negara mempunyai tanggung jawab inti yang harus selalu dipenuhi. Ini termasuk tanggung jawab untuk menyediakan kebutuhan dasar tertentu, seperti makanan, tempat tinggal, obat-obatan dasar, dan pendidikan dasar. Ketentuan-ketentuan tersebut juga mengharuskan negara-negara dalam pemenuhan jaminan sosial dan ekonomi tidak melakukannya secara diskriminatif dan tidak melakukan langkah mundur yang dapat memperburuk pemenuhan hak-hak yang sudah dinikmati rakyat. Pemerintah Indonesia telah melanggar hak-hak ekonomi dan sosial di setiap tingkatan di atas. Dalam banyak hal, negara mengambil langkah keamanan yang ekstrem yang bertolak belakang dengan tanggung jawab inti yang semestinya dipenuhi. Dalam keadaan demikian, negara gagal memenuhi kebutuhan dasar penduduk, dan justru sering mengambil langkah mundur dan diskriminatif. Bahwa negara Indonesia tidak mengupayakan setinggi mungkin pemenuhan hak-hak ekonomi dan sosial rakyat Papua, dan sampai dengan sekarang, pembangunan di Papua masih jauh tertinggal dibandingkan daerah lain di Indonesia Tingkat investasi Indonesia (termasuk modal asing) sangat besar dan tingkat pertumbuhan PDB (Produk Domestik Bruto) yang dihasilkan cukup tinggi. Namun demikian, alokasi investasi, distribusi PDB dan pemberian layanan sosial, termasuk kesehatan dan pendidikan, semuanya dinihilkan oleh kesibukan berlebihan pemerintah Indonesia dengan masalah keamanan, oleh gaya pemerintahan yang otoriter, dan oleh persekongkolannya dengan kepentingan-kepentingan Modal Besar (asing). Hal tersebut jelas menunjukkan kaitan yang erat antara pelanggaran berat hak-hak sipil dan politik dengan pengabaian hak-hak sosial dan ekonomi. Hubungan hak sosial dan ekonomi dengan hak-hak lainnya Adanya dua kovenan internasional, yaitu Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik dan Kovenan Internasional tentang Hak Sosial, Ekonomi, dan Budaya, tampak mempertegas pemisahan antara kedua jenis hak tersebut. Tetapi sebenarnya, pembukaan kedua Kovenan tersebut mengakui bahwa kedua hak tersebut tidak terpisahkan. Kovenan Internasional tentang Hak Sosial, Ekonomi, dan Budaya menyebutkan: “Cita-cita mengenai manusia merdeka yang menikmati kebebasan sipil dan politik serta kebebasan dari rasa takut dan lapar hanya dapat dicapai bila tercipta kondisi dimana setiap orang bisa menikmati hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya serta hak-hak sipil dan politik”. Hubungan erat ini dipertegas oleh Deklarasi Vienna yang dicetuskan pada tahun 1993dalam Konferensi Dunia PBB tentang Hak Asasi Manusia: “Demokrasi, pembangunan, dan penghormatan kepada hak asasi dan kebebasan hakiki manusia saling terkait dan saling menguatkan. Demokrasi didasarkan pada kehendak rakyat yang diungkapkan dengan bebas untuk menentukan sistem-sistem politik, sosial, ekonomi, dan budaya mereka sendiri dan partisipasi penuh mereka di segala bidang kehidupan”. Penting diperhatikan dampak kurangnya perhatian kepada hak-hak sosial dan ekonomi oleh pengamat luar dan pengamat Indonesia, dibandingkan perhatian kepada hak-hak sipil dan politik. Gabungan pelanggaran hak sosial dan hak ekonomi dalam kondisi kemiskinan yang parah, seperti yang dialami rakyat Papua, sering digunakan menjadi penjelasan mengapa pelanggaran tersebut tidak mendapat perhatian tersendiri. Memang luas dan mendalamnya pelanggaran hak-hak sosial dan ekonomi sering membuat kita lupa akan beratnya pelanggaran tersebut dan sifat hakikinya sebagai suatu hak asasi manusia. Lebih jauh, rendahnya nilai uang dari aset penduduk miskin yang hilang sering menjadi sebab tidak adanya perhatian pada pelanggaran-pelanggaran yang terjadi ketika aset tersebut dirusak. mengenai dampak dari operasi militer Indonesia misalnya mengecilkan nilai kerusakan harta benda, seringkali kita dengar ....Di wilayah pedalaman banyak rumah penduduk/desa yang dibakar “ Tidak ada kerusakan material yang parah..., Nilai uang untuk membangun gubuk-gubuk sederhana ini mungkin tidak besar, dan bahan-bahan untuk membangunnya kembali memang tersedia. Namun demikian, masalah mendasarnya adalah bahwa semakin sedikit milik seseorang, maka akan semakin besar dampak dari kehilangan rumah, harta benda, dan ternak. Perusakan dan perampasan harta benda penduduk miskin yang terjadi berulang-ulang membuat pemulihan berjalan lambat, dan sangat berat dari segi ekonomi maupun emosional. Orang-orang yang berada di pinggir jurang penyakit, kelaparan, dan ketidaktahuan karena kemiskinan yang parah adalah yang sangat memerlukan perlindungan untuk hak-hak ini. Memang tidak adanya pemantauan yang ketat pada hak-hak mereka itu sendiri merupakan indikasi dari diabaikannya kesejahteraan sosial dan ekonomi rakyat Papua. o Hukum Agraria PENGERTIAN DAN ASAS-ASAS HUKUM AGRARIA Pengertian Hukum Agraria Istilah tanah (agraria) berasal dari beberapa bahasa, dalam bahasas latin agre berarti tanah atau sebidang tanah . agrarius berarti persawahan, perladangan, pertanian. Menurut kamus besar Bahasa Indonesia agraria berarti urusan pertanahan atau tanah pertanian juga urusan pemilikan tanah, dalam bahasa inggris agrarian selalu diartikan tanah dan dihubungkan usaha pertanian, sedang dalam UUPA mempunyai arti sangat luas yaitu meliputi bumi, air dan dalam batas-batas tertentu juga ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Hukum agraria dalam arti sempit yaitu merupakan bagian dari hukum agrarian dalam arti luas yaitu hukum tanah atau hukum tentang tanah yang mengatur mengenai permukan atau kulit bumi saja atau pertanian Hukum agraria dalam arti luas ialah keseluruhan kaidah-kaidah hukum baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur mengenai bumi, air dan dalam batas-batas tertentu juga ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Devinisi hukum agraria Mr. Boedi Harsono Ialah kaidah-kaidah hukum baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur mengenai bumi, air dan dalam batas-batas tertentu juga ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Drs. E. Utrecht SH Hukum agraria menguji hubungan hukum istimewa yang diadakan akan memungkinkan para pejabat administrasi yang bertugas mengurus soal-soal tentang agraria, melakukan tugas mereka. Bachsan Mustafa SH Hukum agrarian adalah himpunan peraturan yang mengatur bagaimana seharusnya para pejabat pemerintah menjalankan tugas dibidang keagrariaan Azas-azas hukum agraria Asas nasionalisme Yaitu suatu asas yang menyatakan bahwa hanya warga Negara Indonesia saja yang mempunyai hak milik atas tanah atau yang boleh mempunyai hubungan dengan bumi dan ruang angkasa dengan tidak membedakan antara laki-laki dengan wanita serta sesama warga Negara baik asli maupun keturunan. Asas dikuasai oleh Negara Yaitu bahwa bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkat tertinggi dikuasai oleh Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat (pasal 2 ayat 1 UUPA) Asas hukum adat yang disaneer Yaitu bahwa hukum adat yang dipakai sebagai dasar hukum agrarian adalah hukum adat yang sudah dibersihkan dari segi-segi negatifnya Asas fungsi social Yaitu suatu asas yang menyatakan bahwa penggunaan tanah tidak boleh bertentangan dengan hak-hak orang lain dan kepentingan umum, kesusilaan serta keagamaan(pasal 6 UUPA) Asas kebangsaan atau (demokrasi) Yaitu suatu asas yang menyatakan bahwa stiap WNI baik asli maupun keturunan berhak memilik hak atas tanah Asas non diskriminasi (tanpa pembedaan) Yaitu asas yang melandasi hukum Agraria (UUPA).UUPA tidak membedakan antar sesame WNI baik asli maupun keturunanasing jadi asas ini tidak membedakan-bedakan keturunan-keturunan anak artinya bahwa setiap WNI berhak memilik hak atas tanah. Asas gotong royong Bahwa segala usaha bersama dalam lapangan agrarian didasarkan atas kepentingan bersama dalam rangka kepentingan nasional, dalam bentuk koperasi atau dalam bentuk-bentuk gotong royong lainnya, Negara dapat bersama-sama dengan pihak lain menyelenggarakan usaha bersama dalam lapangan agraria (pasal 12 UUPA) Asas unifikasi Hukum agraria disatukan dalam satu UU yang diberlakukan bagi seluruh WNI, ini berarti hanya satu hukum agraria yang berlaku bagi seluruh WNI yaitu UUPA. Asas pemisahan horizontal (horizontale scheidings beginsel) Yaitu suatu asas yang memisahkan antara pemilikan hak atas tanah dengan benda-benda atau bangunan-bangunan yang ada diatasnya. Asas ini merupakan kebalikan dari asas vertical (verticale scheidings beginsel ) atau asas perlekatan yaitu suatu asas yang menyatakan segala apa yang melekat pada suatu benda atau yang merupakan satu tubuh dengan kebendaan itu dianggap menjadi satu dengan benda iu artnya dala sas ini tidak ada pemisahan antara pemilikan hak atas tanah dengan benda-benda atau bangunan-bangunan yang ada diatasnya. Hak-hak atas tanah Hak milik − Dasar hukum untuk pemilikan hak milik atas tanah yaitu pasal 20-27 UUPA − Mempunyai sufat turun temurun − Terkuat dan terpenuh − Mempunyai fungsi social − Dapat beralih atau dialihkan − Dibatasi oleh ketentan sharing (batas maksimal) dan dibatasi oleh jumlah penduduk − Batas waktu hak milik atas tanah adalah tidak ada batas waktu selama kepemilikan itu sah berdasar hukum − Subyek hukum hak milik atas tanah yaitu WNI asli atau keturunan, badan hukum tertentu Hak guna bangunan Hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai oleh Negara dalam jangka waktu tertentu sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 29 UUPA untuk perusahaan pertanian atau peternakan. − Jangka waktu 25 tahun dan perusahaan yang memerlukan waktu yang cukup lama bisa diberikan selama 35 tahun − Hak yang harus didaftarkan − Dapat beralih karena pewarisan − Obyek HGU yaitu tanah negara menurut pasal 28 UUPA jo pasal 4 ayat 2, PP 40/96 Apa bila tanah yang dijadikan obyek HGU tersebut merupakan kawasan hutan yang dapat dikonversi maka terhadap tanah tersebut perlu dimintakan dulu perlepasan kawasan hutan dari menteri kehutanan (pasal 4 ayat 2 UUPA, PP 40/96). Apabila tanah yang dijadikan obyek HGU adalah tanah yanh sah mempunyai hak maka hak tersebut harus dilepaskan dulu (pasal 4 ayat 3, PP 40/96) Dalam hal tanah yang dimohon terhadap tanaman dan atau bangunan milik orang lain yang keberadaannya atas hak ayang ada maka pemilik tanaman atau bangunan tersebut harus mendapat ganti rugi dari pemegang hak baru (pasal 4 ayat 4, PP 40/96) Pendaftaran Tanah Pendaftaran tanah adalah serangkaian kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus , berkesinambungan dan teratur meliputi pengumpulan , pengolahan, pembukuan dan pengujian serta pemeliharaan data fisik dan yuridis dalam bentuk peta dan daftar mengenai bidang-bidang tanah dan satuan satuan rumah susun termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya. Data fisik adalah keterangan atas letak, batas, luas, dan keterangan atas bangunan. Persil adalah nomor pokok wajib pajak. Korsil adalah klasifikasi atas tanah. Data yuridis adalah keterangan atas status hokum bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar pemegang haknya dan hak pihak lain serta beban lain yang membebaninya. Dasar hukum pendaftaran tanah : UUPA pasal 19, 23, 32, dan pasal 38. PP No 10/1997 tentang pendaftaran tanah dan dig anti dengan PP No 24/1997 Tujuan pendaftaran tanah sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 3 PP 24/1997 yaitu memberikan kepastian hukum atas hak-hak atas tanah meliputi : Kepastian hokum atas obyek atas atas tanahnya yitu letak, batas dan luas. Kepastian hokum atas subyek haknya yaitu siapa yang menjadi pemiliknya (perorangan dan badan hukum) Kepastian hokum atas jenis hak atas tanahnya (hak milik, HGU, HGB) Tujuan pendaftaran tanah (pasal 3 PP 24 Tahun 1997) Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang mudah terdaftar. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan. Rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam satu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian, yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama. Satuan rumah susun adalah rumah susun yang tujuan peruntukan utamanya digunakan secara terpisah sebagai tempat hunian, yang mempunyai sarana penghubung ke jalan umum. Bagian bersama adalah bagian rumah susun yang dimiliki secara tidak terpisah untuk pemakaian bersama dalam satuan-satuan rumah susun. Benda bersama adalah benda yang bukan merupakan bagian rumah susun, tetapi yang dimiliki bersama secara tidak terpisah untuk pemakaian bersama. Tanah bersama adalah sebidang tanah yang digunakan atas dasar hak bersama secara tidak terpisah yang diatasnya berdiri rumah susun dan ditetapkan batasnya dalam persyaratan izin Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan / atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan / atau kesejahteraan umum menurut syariah. Wakif adalah pihak yang mewakafkan harta benda miliknya. Nazhir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya. Tujuan wakaf (pasal 4 UU No. 41/2004) yaitu memanfaatkan harta benda wakaf sesuai dengan fungsinya Fungsi wakaf (pasal 5) yaitu mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum. o o o HUKUM PERUSAHAAN adalah semua peraturan hukum yang mengatur mengenai segala jenis usaha dan bentuk usaha. Perusahaan adalah segala bentuk usaha yang menjalankan setiap jenis usaha yang bersifat tetap, terus menerus, bekerja, berada dan didirikan di wilayah Negara Indonesia dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan atau laba. Ciri khas dari perusahaan adalah : ... - Bekerja terus menerus - Bersifat tetap - Terang-terangan - Mendapat keuntungan - Pembukuan. Badan Usaha. Perkumpulan : Dalam arti luas perkumpulan yang berbadan hukum dan tidak berbadan hukum. Dengan ciri-ciri sebagai berikut : - Adanya kepentingan terhadap sesuatu. - Adanya kehendak. - Adanya tujuan. - Adanya kerjasama untuk mencapai tujuan. Dalam arti sempit misalnya perkumpulan advokat seIndonesia (asosiasinya) tidak mendapat keuntungan. Unsur-unsur usaha yang dikatakan sebagai badan hukum : o Adanya harta kekayaan yang dipisahkan o Mempunyai tujuan tertentu o Mempunyai kepentingan sendiri o Adanya organisasi yang teratur o Proses pendiriannya mendapatkan pengesahan dari Menteri Kehakiman Perusahaan Dagang ( PD ) o Aturan perusahaan dagang Keputusan dari Menperindag No. 23/MPR/KEP/1998 tentang Lembaga-lembaga Usaha Perdagangan. o Pasal 1 ayat (3) tentang lembaga-lembaga usaha perdagangan, lembaga perdagangan adalah suatu instansi atau badan yang dapat membentuk perseorangan atau badan usaha. o Surat izin bisa didirikan asal mendapatkan izin dari pemerintahan setempat. Badan Usaha Milik Negara ( BUMN ) UU Nomor 19 Tahun 1969 tentang bentuk-bentuk BUMN PERJAN (Perusahaan jawatan) - Pabrik servis. - Merupakan bagian dari departemen - Mempunyai hubungan hukum publik. - Pimpinannya disebut Kepala. - Memperoleh fasilitas dari Negara. - Status pegawainya adalah Pegawai Negeri Sipil. PERUM (Perusahaan umum) - Makna usahanya disamping pabrik servis juga mendapatkan keuntungan. - Suatu berbadan hukum. - Bergerak dalam bidang yang penting. - Mempunyai nama dan kekayaan sendiri. - Dapat dituntut dan menuntut. - Dipimpin oleh Direksi. - Status kepegawaiannya dalam status kepegawaian Negara. PERSERO (Perusahaan perseorangan) Yaitu perusahaan dalam bentuk perseroan terbatas yang saham-sahamnya untuk sebagian atau seluruhnya (minimal 51 %) dimiliki oleh Negara. - Mencari keuntungan. - Statusnya badan hukum - Hubungan dalam usaha adalah berdasarkan hukum perdata. - Modal dipisahkan dari kekayaan Negara - Dipimpin oleh seorang Direksi. - Peran negara adalah tonggak saham. - Pegawainya perusahaan. - Organnya terdiri dari RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham), Direksi dan Komisaris. Sumber Hukum Perusahaan Sumber hukum perusahaan adalah setiap pihak yang menciptakan kaidah-kaidah mengenai hukum perusahaan, antara lain : o Badan Legislatif ( UU ) o Pihak-pihak yang mengadakan perjanjian untuk membuat kontrak o Hakim yang memutus perkara yang menciptakan yurisprudensi. o Masyarakat sendiri yang biasa menciptakan kopensi (dalam bidang usaha) Pasal 1319 KUH Perdata : yang menyatakan bahwa semua perjanjian baik bernama maupun tidak bernama tunduk pada ketentuan umum yang termuat dalam Bab ini. (Bab I) Bab I : Tentang perikatan pada umumnya. Bab II : Tentang perikatan yang timbul dari perjanjian. Pasal I KUHD : bahwa setiap undang-undang hukum perdata berlaku juga Bab perjanjian yang diatur dalam setiap undang-undang ini. Peraturan perundang-undangan lainnya yang dibentuk oleh pemerintah : - UU BUMN - UU Kekayaan Intelektual - Pengangkutan di darat, air dan udara. - Ketentuan mengenai perasuransian. - Perkoperasian - Pasar modal - Perseroan Terbatas, dsb. Kontrak Perusahaan. 1. Kontrak perusahaan merupakan sumber pertama kewajiban serta hak serta tanggung jawab para pihak. 2. Asas kebiasaan berkontrak yaitu pasal 1338 ayat (1) Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. 3. Dalam kontrak perusahaan sering melibatkan pihak ketiga dalam hal penyerahan barang (perusahaan ekspedisi), pergudangan, asuransi. 4. Dalam Yurisprudensi kewajiban dan hak yang telah ditetapkan oleh hakim di pandang dengan dasar yang adil untuk menyelesaikan sengketa dan hak para pihak Misalnya yurisprudensi : - Jual beli - Putusan perkara merk Nomor /341/PK PDT/1986 - Srnopi dan Stok Nomor 1272/1984 Kebiasaan Merupakan sumber hukum yang dapat diikuti oleh para pengusaha. Kriteria kebiasaan yang di pakai sebagai sumber hukum bagi pengusaha : - Perbuatan yang bersifat keperdataan - Mengenai kewajiban dan hak yang seharusnya di penuhi. - Tidak bertentangan dengan UU dan kepatutan - Diterima oleh para pihak secara sukarela karena dianggap hal yang lebih dan patut. - Menuju akibat hukum yang dikehendaki oleh para pihak. Perjanjian Baku yaitu dimana salah satu pihak telah menuangkan perjanjian tersebut didalam format formulir. PP Nomor 27 Tahun 1978 pasal (3) Pengambilalihan adalah perbuatan hukum atau badan hukum atau orang perorangan untuk mengambil alih baik seluruh atau sebagian besar saham perseroan yang dapat mengakibatkan beralihnya pengendalian terhadap perseroan tersebut. Akuisisi = Pengambilalihan (take over) - UU Nomor 1 Tahun 1995 : PT - UU Nomor 7 Tahun 1992 : Perbankan - PP Nomor 27 Tahun 1978 pasal (3) UU Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (pasal 103-105) Wewenang untuk mengakuisisi adalah RRPS Jeni-jenis Akuisisi : Ditinjau dari segi kekuasaan perseroan Akuisisi Internal yaitu akuisisi terhadap perseoan dalam kelompok atau group sendiri. Akuisisi Eksternal yaitu akuisisi terhadap perseroan luar atau group sendiri atau terhadap perseroan dari kelompok lain. Ditinjau dari segi keberadaan perseoan Akuisisi pinansial yaitu akusisi terhadap beberapa perseroan tertentu dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan pinansial memperbaiki kondisi perseroan-perseroan terakuisisi. Akusisi strategis yaitu akuisisi engan tujuan untuk menciptakan sinergi berdasarkan pertimbangan angka panjang. - Akuisisi Horizontal yaitu akuisisi perseroan yang memiliki produk dan jasa yang sejenis atau pesaing yang memiliki daerah kekuasaan yang sama dengan tujuan untuk memperluas pasar. - Akuisisi Vertical yaitu akuisisi terhadap beberapa perseroan yang memiliki produk atau ketentuan sejenis dengan tujuan untuk mengurangi mata rantai dari hulu sampai ke hilir. - Akuisisi Komkomerasi yaitu akuisisi bebrapa perseroan yang tidak mempunyai kaitan bisnis secara langsung dengan bisnis perseroan pengakuisisi dengan tujuan membentuk komlomerasi yag lebih besar. Keuntungan Akuisisi - Kelangsungan hidup perseroan terjamin karena makin kuat. - Pengaruh persaingan dapat dikurangi - Kedudukan atau keuangan erseroan bertambah kuat - Arus barang ke pasaran terjamin. - Perseroan yang rugi menjadi stabiii kerugiannya. - Kualitas atau mutu barang dapat di tingkatkan. Kerugian Akuisisi Pemegang saham royalitas makin terdesak oleh pemegang saham mayoritas Secara diam-diam akuisisi cenderung menuju pada pusat penguasaan ekonomi pada pusat penguasan tertentu dalam bentuk monopoli. Pemasukan pendapatan Negara disektor pajak akan berkurang karena daftar laba rugi menunjukan angka rendah bagi bayar pajaknya. Perseroan mengakuisisi dapat menguasai pasar dengan bebas sehingga menjadi pemegang monopoli dan dalam hal ini sulit di awali karena belum ada undang undang anti monopoli. Akuisisi Bank Diatur dalam PP Nomor 28 tahun 1999 dan Perbankan UU Nomor 10 tahun 1998 Dalam pasal 1 angka 4 : akuisisi pangambil alihan kepemilikan suatu bank yang mengakibatkan beralihnya pengendalian terhadap bank. Syarat Akuisisi Bank Mendapat izin dari Bank Indonesia (penting) karena Bank Indonesia sebagai pusat yang bertanggung jawab terhadap bank-bank yang ada di Indonesia. Tujuan Akuisisi Bank - Dapat mendorong kinerja bank dan system kinerja nasional - Tidak menimbulkan permusuhan kekuatan ekonomi pada suku cadang atau dalam bentuk monopoli yang merugikan masyarakat. - Tidak merugikan nasabah bank Akuisisi Akuisisi adalah tindakan pengambil alihan saham perusahaan secara sebagian atau secara keseluruhan guna menyelamatkan perusahaan dari kebangkrutan. Jadi bisa dikatakan,akuisisi bisa merupakan suatu langkah spekulasi dari suatu perusahaan dalam menyelamatkan perusahaanya dari suatu kebangkrutan,mengapa akuisisi bisa dikatakan sebagai suatu langkah spekulasi,karena tak jarang suatu perusahaan yang bangkrut dan memilih akuisisi sebagai penyelamatan akhirnya peran serta perusahaan setelah akuisisi menjadi kian menipis karena kebijakan pengakuisisi menjadi kebijakan yang paling dominan. Merger Akuisisi sebagai suatu pilihan dalam penyelamatan perusahaan tidak selalu merupakan hal yang absurd karena akusisi itu sendiri memiliki kekurangan tersendiri,katakanlah suatu perusahaan selamat dari kebangkrutan karena memilih akusisisi akan tetapi di sisi lain pesan serta perusahaan yang di akuisisi malah terpojok dengan kebijakan sang akuisitor. Pada merger cenderung bagaimana manajemen kedua perusahaan dapat menstabilkan setiap kebijakan karena dalam hal ini terjadi suatu penggabungan dua persuahaan menajadi satu perusahaan karena berbagai factor salah satunya,salah satu perusahaan mengalami kemunduran usaha. Pada dasarnya merger adalah suatu keputusan untuk mengkombinasikan atau menggabungkan dua atau lebih perusahaan menjadi satu perusahaan baru. Dalam konteks bisnis, merger adalah suatu transaksi yang menggabungkan beberapa unit ekonomi menjadi satu unit ekonomi yang baru. Proses merger umumnya memakan waktu yang cukup lama, karena masing-masing pihak perlu melakukan negosiasi, baik terhadap aspek-aspek permodalan maupun aspek manajemen, sumber daya manusia serta aspek hukum dari perusahaan yang baru tersebut. Oleh karena itu, penggabungan usaha tersebut dilakukan secara drastis yang dikenal dengan akuisisi atau pengambilalihan suatu perusahaan oleh perusahaan lain. Dilihat dari motifnya, perusahaan-perusahaan melakukan merger sebenarnya didasarkan atas pertimbangan ekonomis dan dalam rangka memenangkan persaingan dalam bisnis yang semakin kompetitif. Cost saving dapat dicapai karena dua atau lebih perusahaan yang memiliki kekuatan berbeda melakukan penggabungan, sehingga mereka dapat meningkatkan nilai perusahaan secara bersama-sama.Merger juga dimaksudkan untuk menghindarkan perusahaan dari bangkrut, dimana kondisi salah satu atau kedua perusahaan yang ingin bergabung sedang dalam ancaman bangkrut. Penyebabnya bisa karena missmanagement atau karena faktor-faktor lain seperti kehilangan pasar, keusangan teknologi dan/atau kalah bersaing dengan perusahaan-perusahaan lainnya. Melalui merger, kedua perusahaan tersebut akan bersama menciptakan strategi baru untuk menghindari risiko bangkrut. Alasan dan Tujuan penggabungan dan peleburan. - Memperbesar jumlah modal - Menyamakan jalur distribusi - Memperbesar sinergi perusahaan - Mengurangi persaingan Tujuan : - Kepentingan perseroan - Harus memperhatikan kepentingan masyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan usaha - Memperhatikan kepentingan kreditur o o o o HUKUM PERPAJAKAN Pajak merupakan lapangan hukum yang utama. Soal pajak adalah soal negara berarti bahwa menyangkut seluruh rakyat yang berada di wilayah Republik Indonesia. Hukum pajak belum lama menjelma menjadi suatu cabang ilmu pengetahuan tersendiri yang berarti bahwa hukum pajak itu menjadi sumber inspirasi baik yang bersifat ilmiah maupun yang bersifat popularitas. Sehubu...ngan dengan perubahan struktur masyarakat maka hukum perpajakan Indonesia mengalami perubahan-perubahan dan disesuaikan dengan jiwa baru atau jiwa reformasi dalam era globalisasi dunia, karena itu maka hukum perpajakan Indonesia bukan saja penting bagi pendidikan akan tetapi perlu mendapat perhatian khusus dari para pemimpin rakyat dan politisi. Arti hukum perpajakan Hukum pajak disebut juga hukum fiscal yang berarti adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang meliputi wewenang pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannya kembali kepada masyarakat melalui kas negara. Hukum perpajakan merupakan bagaian dari hukum public yang mengatur hubungan-hubungan antara negara dan orang-orang atau badan-badan hukum yang berkewajiban membayar pajak. Tugas hukum perpajakan Menelaah keadaan-keadaan dalam masyarakat yang dapat dihubungkan dengan pengenaan pajak, merumuskannya dalam peraturan-peraturan hukum dan menafsirkan peraturan-peraturan hukum itu. yang penting disini adalah tidak boleh diabaikan latar belakang ekonomis dari keadaan-keadaan dalam masyarakat. Luasnya hukum perpajakan erat hubungannya dengan klehidupan masyarakat terutama dibidang kehidupan ekonomi dalam masyarakat, maka peraturan-peraturan perpajakan sering berubah-ubah atau mengharuskan perubahan-perubahan peraturan pajaknya. Artinya cara pengatran pajak harus disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat sebagai reaksi dari perubahan dalam kehidupan ekonomi masyarakat itu. Devinisi hukum perpajakan Menurut Prof . Dr. Adriani Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terhutang oleh wajib pajak sesuai peraturan-peraturannya dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk serta kegunaannya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan. Kesimpulan yang dapat ditarik dari pengertian diatas tersebut adalah : Memasukkan pajak dianggapnya suatu keharusan dalam arti yang luas, disamping itu devinisi ini dititik beratkan pada fungsi budgetair sedangkan pajak masaih mempunyai fungsi lain yaitu fungsi mengatur. Yang dimaksud dengan tidak mendapat pretasi kembali dari negara adalah prestasi khusus yang erat hubungannya dengan pembayaran itu sendiri, prestasi seperti hak untuk mempergunakan jalan-jalan umum, perlindungan dan penjagaan dari pihak kepolisian dan TNI. Sudah barang tentu diperoleh dari para pembayar pajak itu, akan tetapi diperolehnya itu tidak secara individual dan tidak ada hubungannya langsung dengan pembayaran itu sendiri, buktinya orang yang tidak membayarpun dapat mengenyam kenikmatannya. Menurut Prof DR. Suparman Sumahamijaya Didalam desertasinya “Pajak Berdasarkan Azas Gotong Royong” yang dibuat di UNPAD pada tahun 1964 menyebutkan pajak adalah iuran wajib berupa uang atau barang yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menuntut biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum. Ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak dikesimpulkan yang dari pengertian diatas tersebut adalah : - Pajak dipungut berdasarkan atau dengan ketentuan undang-undang serta peraturan pelaksanannya - Dalam pembayaran pajak, tidak ada ketentuan untuk mendapatkan prestasi individu atau perorangan oleh pemerintah - Pajak dipungut oleh negara baik oleh pemerintah pusat maupun oleh pemerintah daerah - Pajak diperuntukan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintahan yang bila dari peasukannya masih terdapat surplus maka dipergunakan untuk membiayai kepentingan umum (public interest) - Pajak dapat pula mempunyai tujuan yang tidak budgetair yaitu mengatur bagaiman pajak itu dibayar. Prof.Dr.Rohmat Soemitro, S.H, didalam bukunya berjudul “Dasar-Dasar Hukum Pajak Dan Pajak Pendapatan” isinya sebagai berikut : Pajak adalah iuran rakyat kepada negara berdsarkan undang-undang (yang dipaksakan) dengan tidak mendapatkan kontra prestasi atau jasa timbal yang langsung,dapat digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Penjelasan tentang defenisi tersebut diatas adalah sbb: - Dapat dipaksakan artinya bila hutang itu tidak dibayar maka dapat ditagih dengan menggunakan kekerasan,melalui surat paksa dan surat sita serta dilakukan penyanderaan. Yang dimaksud dengan kontraprestasi berarti tidak mendapatkan prestasi dari pemerintah. - Pajak adalah pweralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya (kelebihannya) digunakan kepentingan public/persediaan untuk kepentingan public Prof. DR. Smeets Pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terhutang melalui norma-norma umum,yang dapat dipaksakan tanpa adanya kontra prestasi individual untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Dalam hal ini smets mengakui bahawa defenisinya hanya menonjolkan fungsi budgeter saja,dan kemudian ia menambahkan fungsi mengatur pada defenisinya. Sistem perpajakan yang lama tidak sesuai lagi dengan tingkat kehidupan sosial ekonomi masyarakat di Indonesia, baik dari segi kegotongroyongan nasional maupun dari laju pembangunan nasional, maka peran pajak sangat penting bagi subjek pajak karena penerimaan pajak dalam negeri sangat dibutuhkan guna mewujudkan kelangsungan dan peningkatan pembangunan nsaional. Oleh karena itu pemerintah mengundangkan Undang-undang Nomor 28 tahun 2007 sebagai pengganti Undang-undang Nomor 16 tahun 2000 tentang tata cara pemungutan pajak, dan juga Undnag-undang Nomor 17 tahun 2000 sebagai pengganti dari Undag-undang Nomor 10 tahun 1994 tentang PPh. Karakteristik dan prinsip dari pemungutan pajak adalah sbb: Pemungutan pajak merupakan perwujudan dan maupun peran serta warga negara dan angoota masyarakat (wajib pajak) untuk membiayai keperluan pemerintah dan pembangunan nasional. Anggoata masyarakat wajib pajak diberi kepercayaan sepenuhnya untuk mebayar dan melapor sendiri pajak yang terhutang (self assesment), sehingga melalui sistem ini pelaksanaan administrasi perpajakan diharapkan dapat dilaksanakn dengan lebih mudah,tertib dan terkendali. Tanggung jawab atas kewajiban pelaksanaan berada pada anggota masyarakat wajib pajak itu sendiri. Pemerintah dan pengawasan serta pemeriksaan terhadap pelaksanaan kewajiban perpajakan wajib pajak,berdasarkan ketentuan yang telah digariskan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan itu. Kesimpulan: Disimpulan, bahwa dalam sistem pemungutan pajak ini, fiskus memberi kepercayaan yang lebih besar kepada anggota masyarakat wajib pajak untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya. Selain itu jaminan dan kepastian hukum mengenai hakdan kewajiban perpajakan bagi masyarakat wajib pajak lebih diperhatikan, sehingga dapat merangsang peningakatan kesadaran dan tanggung jawab perpajakan di masyarakat. Pengertian-pengertian: Wajib pajak adalah orang atau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-unjdangan perpajakan di tentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan. Badan adalah perseroan terbatas,BUMN atau BUMD dalam bentuk apapun, persekutuan,perseroan atau perkukmpulan lainnya seperti: firma,kongsi,perkumpulan kopersasi,yayasan atau lembaga dan bentuk usaha yang lain yang tetap. Surat paksa adalah surat perintah membayar pajak dan tagihan yang berkaitan dengan pajak sesuai dengan UU No.19 tahun 2000 tentang penagihan pajak negara dengan surat paksa Masa pajak adalah jangka waktu tertentu yang digunakan sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang terhutang. Pada umumnya tahun pajak sama dengan tahun takwimatau tahun kalender. Wajib pajak dapat menggunakan tahun pajak yang tidak sama dengan tahun takwim selama 12 bulan hal ini harus dilaporkan kepada Dirjen pajak setempat. Ketentuan tersebut dapat dilaksanakan apabila telah disetujui oleh Dirjen pajak. Tahun pajak sama dengan tahun takwim atau sama dengan tahun kalender dimulai 1 Januari 2008 sampai dengan 31 Desember 2008, hal ini berarti pembukuan dimulai 1 anuari 2008 dan berakhir 31 Desemberd 2008 (disebut juga tahun pajak 2008). Tahun pajak tidak sama dengan tahun takwim - 1 uli 2008 sampai dengan 30 Juni 2009 Pembukuan dimulai dari 1 Juli 2008 dan berakhir pada 30 Juni 2009 karena 6 bulan pertama jatuh pada tahun 2008 maka disebut tahun pajak 2008 - 1 April 2008 sampai dengan 30 Maret 2008 Pembukuan dimulai 1 April 2008 dan berakhir pada 30 Maret 2009 disebut juga tahun pajak 2008 karena lebih dari 6 bulan jatuh pada tahun 2009 Hukum pajak termasuk hukum public Hukum pajak adalah sebagian dari hukum public dan meruakan bagian dari tata tertib hukum yang mengatur hubungangan antara penguasa dan warganya, artinya ketentuan yang memuat cara-cara, mengatur pemerintah. Yang termasuk kedalam hukum publik : - Hukum Tatat Negara - Hukum Pidana - Hukum Administratif Hukum pajak merupakan anak bagian dari hukum administrative, meskipun ada yang menghendaki agar hukum pajak diberikan tempat tersendiri disamping hukum adminuistratif yang diartikan sebagai otonomi hukum pajak karena hukum pajak mempunyai tugas yang bersifat lain daripada hukum administrative yaitu hukum pajak dipergunakan juga sebagai alat untuk menentukan politik perekonomian, selain itu hukum pajak pada umumnya mempunyai tata tertib dan istilah tersendiri untuk lapangan pekerjaannya. Hunungan hukum pajak dengan hukum perdata Hukum perdata adalah bagian dari keseluruhan hukum yang mengatur hubungan antar orang-orang pribadi, dimana hukum pajak banyak sekali sangkut pautnya, ini berarti bahwa kebanyakan hukum pajak mencari dasar pemungutannya atas kejadian-kejadian, keadaan-keadaan dan perbuatan-perbuatan hukum yang bergerak dalam lingkup perdata seperti: - Pendapatan - Kekayaan - Perjanjian atau penyerahan - Pemindahan hak karena warisan Penerimaan Negara BEA dan CUKAI Pada hakekatnya bea dan cukai termasuk pajak tidak langsung dan merupakan pungutan pemerintah pusat (Direktorat Jenderal Bea dan Cukai) BEA Bea masuk yaitu dipungut atas barang yang dimasukan kedalam daerah pabean berdasarkan harga nilai barang tersebut atau berdasarkan tariff yang sudah ditentukan. Bea keluar yaitu dikenakan atas sejumlah barang yang dikeluarkan keluar daerah pabean berdasarkan tariff yang sudah sitentukan bagi masing-masing golongan barang, bea ini sekarang sudah tidak dilaksanakan lagi dan sekarang diganti dengan “pajak export tambahan”. CUKAI Yaitu pungutan yang dikenakan atasa barang-barang tertetu berdasarkan tariff yang sudah ditetapkan untuk masing-masing jenis barang tertentu. Contoh : rokok, minuman keras, dsb. RETRIBUSI Yaitu pungutan yang dilakukan sehubungan dengan sesuatu jasa atau fasilitas yang diberikan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah secara langsung dan nyata kepada pembayar. Contoh : retribusi parker, retribusi jalan tol, dsb. IURAN Yaitu pungutan yang dilakukan sehubungan dengan sesuatu jasa atau fasilitas yang diberikan oleh pemerintah secara langsung dan nyata kepada kelompok atau golongan pembayar. Contoh : iuran sampah, iuran keamanan, dsb. “Dalam prakteknya tidak ada perbedaan yang tajam antara pemberian jasa atau fasilitas kepada individu atau kelompok sehingga terdapat istilah retribusi dan iuran”. SUMBANGAN Yaitu pungutanyang tidak termasuk kedalam retribusi dan iuran dengan demikian pungutan yang dilakukan tidak jelas nampak ada diberikan suatu balas jasa atau fasilitas sebagai imbalannya. Contoh ; sumbangan wajib. o o o ANEKA PERJANJIAN BAB I JUAL BELI Definisi ... Jual beli adalah suatu perjanjian bertimbal balik dalam mana ,pihak yang satu (si penjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedangkan pihak yang lainnya (si pembeli) berjanji untuk membayar harga yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut. Saat terjadinya perjanjian jual beli Unsur-unsur pokok dalam perjanian jual beli adalah barang dan harga, sesuai asas konsesualisme (kesepakatan) yang menjiwai hukum perjanjian maka perjanjian jual beli akan ada saat terjadinya atau tercapainya “sepakat” mengenai barang dan harga. Sifat konsesual dari jual beli tersebut ditegaskan dalam pasal 1458 BW yang berbunyi “jual beli sianggap sudah terjadi antara kedua belah pihak seketika setelah mereka mencapai sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar”.Sebagaimana diketahui hukum perjanjian dari BW menganut asas konsesualisme, artinya ialah bahwa untuk melahirkan perjanjian cukup dengan sepakat saja dan bahwa perjanjian itu sudah dilahirkan pada saat atau detik tercapainya konsesus sebagaimana dimaksud diatas. Kewajiban Penjual Bagi pihak penjual terdapat dua kewajiban utama dalam perjanjian jual beli, diantaranya yaitu : Menyerahkan hak milik atas barang yang diperjual belikan. Kewajiban menyerahkan hak milik meliputi segala perbuatan yang menurut hukum diperlukan untuk mengalihkan hak milik atas barang (barang bergerak, barang tetap maupun barang tak bertubuh atau piutang atau penagihan atau claim) yang diperjual belikan itu dari si penjual kepada pembeli Menanggung tenteram atas barang tersebut. Kewajiban untuk menanggung kenikmatan tenteram merupakan konsekuwensi dari pada jaminan yang oleh penjual diberikan kepada pembeli bahwa barang yang dijual dan dilever itu adalah sungguh-sungguh miliknya sendiri yang bebas dari sesuatu beban atau tuntutan dari sesuatu pihak. Kewajiban tersebut menemukan realisasinya dalam kewajiban untuk memberikan penggantian kerugian jika sampai terjadi si pembeli karena suatu gugatan pihak ke tiga. Kewajiban Pembeli Kewajiban pembeli adalah membayar harga pembelian pada waktu dan ditempat sebagaimana dietapkan menurut perjanjian. Jika pada waktu membuat perjanjian tidak ditetapkan tetang tempat dan waktu pembayaran maka si pembeli harus memmbayar ditempat dan pada waktu dimana penyerahan barangnya harus dilakukan (pasal 1514) Resiko dalam perjanjian jual beli Risiko adalah kewajiban memikul kerugian yang disebabkan oleh suatu kejadian (peristiwa) diluar kesalahan salah satu pihak. Dengan demikian maka persoalan tentang risiko itu merupakan buntut dari persoalan tentang keadan memaksa, suatu kejadian yang tak disengaja dan tak dapat diduga. Mengenai resiko dalam jual beli dalam BW disebutkan ada tiga peraturan yang terkait akan hal itu, yaitu : Mengenai barang tertentu (pasal 1460) Mengenai barang yang dijual menurut berat, jumlah atau ukuran (pasal 1461) Mengenai barang-barang yang dijual menurut tumpukan (pasal 1462) Namun perlu diingat bahwa selama belum dilever mengenai barang dari macam apa saja, resikonya masih harus dipikul oleh penjual, yang masih merupakan pemilik sampai pada saat barang itu secara yuridis diserahkan kepada pembeli. Jual beli dengan hak membeli kembali Kekuasaan untuk membeli kembali barang yang telah dijual (recht van wederinkoop, right to repurchase) diterbitkan dari suatu perjanjian dimana si penjual diberikan hak untuk mengambil kembali barangnya yang telah dijual, dengan mengembalikan harga pembelian yang telah diterimanya disertai semua biaya yang telah dikeluarkan (oleh si pembeli) untuk menyelenggarakan pembelian serta penyerahannya, begitu pula biaya-biaya yang perlu untuk pembetulan-pembetulan dan pengeluaran-pengeluaran yang menyebabkan barang yang dijual bertambah harganya. (pasal 1519 dan 1532) Jual beli piutang dan lain-lain hak takbertubuh Dalam pasal 1533 disebutkan bahwa penjualan suatu piutang meliputi segala sesuatu yang melekat padanya, seperti penangungan-penanggungan, hak-hak istimewa dan hipotik-hipotik. Kemudian dalam pasal 1534 disebutkan “barangsiapa yang menjual suatu piutang atau suatu hak takbertubuh lainnya, harus menanggung bahwa hak itu benar ada pada waktu diserahkannya, biarpun penjualan dilakukan tanpa janji penanggungan. Hak reklame (menuntut kembali) Dalam hal jual beli diadakan tanpa suatu janji bahwa harga barang boleh diangsur atau dicicil dan pembeli tidak membayar harga itu, maka selama barangnya masih berada ditangannya si pembeli, penjual dapat menuntut kembali barangnya asal penuntutan kembali itu dalam jangka waktu 30 hari. Dasar hukum pengaturan menganai hak reklame adalah terdapat dalam pasal 1145 BW. Selain itu juga dapat dijumpai dalam pasal 230 KUHD, akan tetapi dalam KUHD tersebut hanya berlaku dalam halnya si pembeli telah dinyatakan pailit. Syarat-syarat untuk melancarkan reklame dalam KUHD adalah lebih longgar dibandingkan dengan syarat-syarat yang ditetapkan dalam pasal 1145 BW, yaitu : Jual beli tidak usah jual beli tunai (kontan), jadi jual beli kreditpun boleh. Penuntutan kembali dapat dilakukan dalam jangka waktu 60 hari, jadi lebih lama dari jangka waktu yang diperkenankan oleh pasal 1145 BW Tuntutan reklame masih boleh dilancarkan meskipun barangnya sudah berada ditangan orang lain. Jual beli “barang orang lain” Pasal 1471 BW menggariskan “jual beli barang orang lain adalah batal dan dapat memberikan dasar untuk penggantian biaya, kerugian dan bunga, jika si pembeli tidak telah mengetahui bahwa barang itu kepunyaan orang lain” BAB II TUKAR MENUKAR Tukar-menukar adalah suatu perjanjian dengan mana kedua belah pihak mengikatkan dirinya untuk saling memberikan suatu barang secara bertimbal-balik sebagai gantinya suatu barang lain. Perjanjian ini juga dikenal dengan nama “barter”. Segala apa yang dapat dijual, dapat juga menjadi objek perjanjian tukar-menukar. Segala peraturan-peraturan tentang perjanjian jual-beli juga berlaku terhadap perjanjian tukar-menukar (pasal 1546) Resiko dalam perjanjian tukar-menukar diatur dalam pasal 1545 yang berbunyi : “jika suatu barangtertentu yang telah dijanjikan untuk ditukar, musnah diluar kesalahan pemiliknya, maka persetujuan dianggap sebagai gugur dan siapa yang dari pihaknya telah memenuhi persetujuan, dapat menuntut kembali barang yang ia telah berikan dalam tukar menukar”. BAB III SEWA MENYEWA Devinisi Sewa-menyewa adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lainnya kenikmatan dari suatu barang, selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran suatu hargayangoleh pihak yang tersebut terakhir itu disanggupi pembayarannya (pasal 1548 B.W) Sewa menyewa adalah suatu perjanjian konsensual.artinya ia sudah sah dan mengikat pada detik tercapainya sepakat mengenai unsure-unsur pokoknya, yaitu barang dan harga. Kewajiban pihak yang satu adalah menyerahkan barangnya untuk dinikmati oleh pihak yang lain, sedangkan kewajiban pihak yang terakhir ini adalah membayar “harga sewa”. Pasal 1579 berbunyi: “pihak yang menyewakan tidak dapat menghentikan sewanya dngan menyatakan hendak memaai sendiri barangnya yang disewakan, kecuali jika telah diperjanjikan sebelumnya”. Tentang harga sewa: kalau dalam jual beli harga harus berupa uang, karena kalau berupa barang perjanjianyabukan jual-beli lagi tetapi menjadi tukar-menukar, tetapi dalam sewa-menyewa tiadaklah menjadi keberatan bahwa harga sewa itu berupa barang atau jasa. Kewajiban-kewajiban pihak yang menyewakan Piahak yang menyewakan mempunyai kewajiban: Menyerahkan barang yangdisewakan kepada si penyewa Memelihara barang yangdisewakan sedemikian hingga itu dapat dipakai untuk keperluan yang dimaksudkan. Memberikan keapada si penyewa kenkmatan tenteram dari barang yang diseakan selama berlangsungnya persewaan. Kewajiban-kewajiban penyewa Bagi si penyewa ada dua kewajiban utama yaitu: Memakai barang yang disewa sebagai seorang “bapk rumah yang baik”, sesuai dengan tujuan yang diberikan kepada barang itu menurut perjanjian sewanya. Membayar harga sewa pada waktu-waktu yang telah ditentukan menurut pejanjian. Resiko dalam sewa pemnyewa Menurut pasal 1553, dalam sea-menyewa itu mengenai barang yangdipersewakan dipikul oleh si pemilik barang, yaitu pihak yang menyewakan. Gangguan dari piphak ketiga Apabila selama wakttu sewa, si penyewa dalam pemakaian barang yang disewakan diganggu oleh seorang pihak ketiga berdasar atas suatu hak yang dikemukakan oleh orang pihak ketiga aka dapatlah si penyewa menuntut dari pihak yang menyewakan supaya uang sewa dikurangi secara sepadan dengan sifat gangguan itu. Mengulang sewakan Si penyewa jika kapadanya tidak telah diperijinkan oleh pemilik barang, tidak diperbolehkan mengulang sewakan barang yang disewanya maupun melepas sewanya kepada orang lain. Kecuali kalau hal-hal itu diperjanjikan tetapi kalau menyewakan sebagian dari sebuah rumah tempat tinggal yang disewa adalah diperbolehkan kecuali kalau hal itu telah dilarang dalam perjanjian sewanya. Sewa tertulis dan sewa lisan Meskipun sewa menyewa adalah suatu perjanjian konsensual, namun oleh undang-undang diadakan perbedaan dalam akibat-akibatnya antara sewa tertulis dan sewa lisan. Jika sewa menyewa itu diadakan secara tertulis maka sewa menyewa berakhir demi hukum (otomatis) apabila waktu yang ditentukan sudah habis tanpa diperlukannya sesatu pemberitahuan pemberhantian untuk itu. Senaliknya jika sewa menyewa tidak dibuat dengan tertulis maka sewa itu tidak berahir pada waktu yang ditentukan. Perihal sewa menyewa secara tertulis diatur dalam pasal 1570 sedangkan perihal sewa menyewa yang tidak tertulis (lisan) diatur dalam pasal 1571. Jual beli tidak memutuskan sewa menyewa Dengan dijualnya barang yang disewa, suatu persewaan yang dibuat sebelumnya tidaklah diputuskan, kecuali apabila ia telah diperjanjikan pada waktu menyewakan barangnya (pasal 1576) Pandbeslag Merupakan hak utama yang diberikan oleh undang-undang atas barang-barang perabot rumah yang diakai untuk menghiasi rumah tersebut guna menjamin pembayaran tunggakkan uang sewa. Artinya dalam suatu eksekusi (lelang sita) atas barang-barang perabot rumah yang dipakai untuk menghiasi rumah tersebut, sipemilik rumah harus paling dahulu diberikan sejumlah yang cukup dari pendapatan lelangan untuk melunasi tunggakan uang sewa yang menjadi haknya, sebelum kreditu-kreditur lainnya menerima bagian mereka. 10. Sewa menyewa perumahan Masalaha perumahan merupakan suatu masalah social yang sangat penting. Pasca Perang Dunia II banyak rumah-rumah gedung yang dikuasai oleh pemerintah untuk diatur penggunaan atau penghuninya. Pada masa sekarang pengaturan mengenai hal itu oleh pemerintah digariskan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1958 tentang urusan perumahan. Pelaksanaan mengenai urusan perumahan diserahkan kepada Kantor Urusan Perumahan, oleh karenanya untuk menmpati rumah tersebut harus ad surat iji penghuni (SIP) yang diberikan oleh Kantor Urusan Perumahan. BAB IV SEWA BELI Sewa beli sebenarnya adalah suat macam jual beli, setidak-tidaknya ia lebih mendekati jual beli daripada sewa menyewa, meskipun ia merupakan suatu campuran dari keduanya dan diberikan judul “sewa menyewa”. Hakekat dari sewa beli adalah suatu macam perjanjian jual beli dimana selama harga belum dibayar lunas maka si pembeli menjadi penyewa dahulu dari barang yang ingin dibelinya. BAB V PERJANJIAN UNTUK MELAKUKAN PEKERJAAN Undang-undnag membagi perjanjianuntuk melakukan pekerjaan dalam tiga macam, yaitu : Perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu Maksud dalam perjanjian ini yaitu suatu pihak menghendaki dari pihak lawannya dilakukannya pekerjaan untuk mencapai suatu tujuan, untuk mana ia bersedia membayar upah, sedangkan apa yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut sama sekali terserah kepada pihak lawannya itu. Termasuk dalam golongan ini lajimnya yaitu hubungan antara seorang pasien dengan dokter, hubungan antara seorang pengacara dengan kliennya yang minta diurusinya suatu perkra, hubungan antara seorang notaries dengan seorang yang dating kepadanya untuk dibuatkan suatu akte dan lain sebagainya. Perjanjian kerja atau perburuhan yaitu perjanjian antara seorang buruh dengan seorang majikan, perjanjian mana ditandai oleh ciri-ciri : - Adanya suatu uah atau gaji tertentu yang diperjanjikan - Adanya suatu “hubungan diperatas” atau “dienstverhouding” yaitu suatu hubungan berdasarkan mana pihak yang satu (majikan) berhak memberikan perintah-perintah yang harus ditaati oleh yang lain. Mengenai hal ini iatur dalam pasal 1601 – 1603 BW. Sedangkan untuk perjanjian kerja laut diatur dalam Bab IV dari Buku II KUHD. Perjanjian pemborongan kerja Yaitu suatu perjanjian antara seorang (pihak yang memborongkan pekerjaan) dengan seorang lain (pihak yang memborong pekerjaan) dimana pihak pertama menghendaki sesuatu hasil pekerjaan yang disanggupi oleh pihak lawan, atas pembayaran suatu jumlah uang sebagai harga pemborongan . BAB VI PENGANGKUTAN Perjanjian pengangkutan adalah suatu perjanjian dimana satu pihak menyanggupi untuk dengan aman membawa orang atau barang dari satu ke lain tempat, sedangkan pihak yang lainnya menyanggupi akan membayar ongkosnya. Perjanjian pengangkutan ini diatur dalam Buku III KUHPdt pasal 1235- 1243. Disamping perjanjian, undang-undang dan kebiasaan merupakan sumber hukum pengangkutan, karena merupakan sebuah sumber hukum didalam perjanjian pengangkutan selain apa yang tertulis dalam suatu undang-undang adalah perjanjian antara pihak pengirim dan pihak pengangkut juga kebiasaan yang berderajat undang-undang merupakan termasuk sumber hukum Perjanjian pengangkutan selalu diikuti dengan dokumen pengangkutan, karena dokumen pengangkutan atau surat muatan merupakan atau dapat dijadikan bukti tertulis antara pengirim dan pengangkut apabila suatu saat terjadi perkara atau peristiwa hukum. BAB VII PERSEKUTUAN Definisi Yang dimaksud dengan persekutuan adalah suatu perjanjian antara dua orang atau lebih untuk berusaha bersama-sama mencari keuntungan yang akan dicapai dengan jalan masing-masing memmasukkan sesuatu dalam suatu kekayaan bersama (Pasal 1618 BW). Hubungan antara para sekutu Undang-undang menetapkan bahwa sekutu yang hanya memasukkan tenaganya saja, mendapat bagian yang sama dari keutungan bersama seperti sekutu yang memasukkan “modal yang paling sedikit (pasal 1633 ayat 2). Hubungan antar para sekutu, dalam hal adanya pertetangan antara kepentingan sekutu dan kepentingan persekutuan, selalu memberikan prioritas kepada kepentingan persekutuan. Apabila persekutuan, sebagai akibat kesalahan seorang sekutu didalam mengerjakan sesuatu urusan, menderita kerugian maka sekutu tersebut harus mengganti kerugian itu tanpa dibolehkan mengkonpensasikan keuntungan-keuntungan yang diperolehnya bagi persekutuan dalam lain urusan (pasal 1630) Hubungan para sekutu dengan pihak ketiga Tanggung jawab para sekutu terhadap pihak keiga ditegaskandalam pasal 1643 dimana para sekutu dapat dituntut oleh siberpiutang dengan siapa mereka telah bertindak, masing-masing untuk suatu jumlah dan bagian yang sama, meskipun bagian sekutu yang satu dalam persekutuan adalah kuarang daripada bagiansekutu yang lainya kecuali apabila sewaktu hutang tersebut dibuatnya dengan tegas ditetapkan kewajiban para sekutu itu untuk membayar hutang tersebut menurut imbangan besarnya bagian masing-masing dalam persekutuan. Macam-macam cara berakhirnya persekutuan Menurut pasal 1646 B.W persekutuan berakhir - Dengan lewatnya waktu untuk mana persekutuan telah diadakan - Dengan musnahnya barang atau diselesaikannya perbuatan yang menjadi pokok persekutuan - Atas kehendak semata-mata dari beberapa atau seorang sekutu - Jika salah seorang sekutu meninggal atau ditaruh dibawah pengampunan atau dinyatakan pailit. BAB VIII PERKUMPULAN Yaitu beberapa orang yang hendak mencapai suatu tujuan dala bidang non-ekonomis (tidak untuk mencari keuntungan) bersepakat mengadakan suatu kerjasama yang bentuk dan caranya diletakan dalam apa yang dinamakan anggaran dasar atau reklemen atau statuten. Suatu perkumpulan dapat dimintakan pengakuan sebagai badan hukum dari menteri kehakiman menurut peraturan sebagaimana termaktuk dalam lembaran Negara tahun 1870 no. 64 BAB IX PENGHIBAHAN Devinisi dan Ketentuan-ketentuan umum Menurut pasal 1666 B.W penghibahan adalah suatu perjanjian dengan mana si penghibah, di waktu hidupnya, dengan Cuma-Cuma dan dengan tridak dapat di tarik kembali, menyerahkan sesuatu barang guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu. Penghibahan hanyalah dapat mengenai barang –barang yang sudah ada, jiak ia meliputi barang –barang yang baru akan ada di kemudian hari maka sekadar mengenai itu hibahnya adalah batal (pasal 1667) Kecakapan untuk member dan menerima hibah Untuk menghibahkan, seorang, selainnya bahwa ia harus sehat pikirannya, harus sudah dewasa. Untuk menerima suatu hibah, dibolehkan orang itu belum dewasa tetapi ia harus diwakili oleh orang tua atau wali. Cara menghibahkan sesuatu Pasal 1682 menetapkan tiada suatu hibah kecuali yang disebutkan dalam pasal 1687, dapat, atas ancaman batal, dilakukan selainnya dengan suatu akta notaries, yang aslinya disimpan oleh notaries itu. Dari pasal 1682 dan 1687 tersebut dapat kita lihat bahwa untuk penghibahan benda tak bergerak ditetapkan suatu formalitas dalam bentuk akte notaries tetapi untuk penghibahan barang bergerak yang bertuguh atau surat penagihan hutang atas tunjuk tidak diperlukan sesuatu formalitas dan dapat dilakukan secara sah dengan penyerahan barangnya begitu saja kepada sipenerima hibah atau kepada seoarang pihak ketiga yang menerima pemberian hibah atas namanya. Penarikan kembali dan penghapusan hibah Meskipun suatu penghibahan tidak dapat ditarik kembali secara sepihak tanpa persetujuan pihak lawan namun ditentukan oleh pasal 1688 bagi si penghibah untuk dalam hal-hal tertentu menarik kembali atau menghapuskan hibah yang elah diberikan pada seseoarang. Penarikan kembali atau penghapusan penghibahan dialkukan dengan menyatakan kehendaknya kepada si penerima hibah disetai penuntutan kembali barang-barang yang telah di hibahkan dan apabila itu tidak dipenuhi sefcara sukarela maka penuntutan kembali barang-barang itu di ajukan kepada pengadilan. BAB X PENITIPAN BARANG Penitipan pada umumnya dan berbagai macamnya Penitipan adalah terjadi apabila seseorang menerima sesuatu barang darinorang lain, dengan syaratbahwa ia akan menyimpannya dan mengembalikannya dalam wujud asalnya. Mengenai hal ini diatur dalam pasal 1694 B.W. menurut undang-undang ada dua macam penitipan barang yaitu penitipan yang sejati dan sekestrasi. Penitipan barang yang sejati Penitipan barang yangsejati dianggap dibuat dengan Cuma-Cuma, jika tidak diperjanjikan sebaliknya, sedangkan ia hanyandapat mengenai barang barang yang bergerak (psal 1696). Sipenerima titipan barang tiadak diperbolehkan memakai barnang yang dititipkan untuk keperluan sendiri tanpa izinnya orang yang menitipkan barang , yang dinyatakan dengan tegs atau dipersangkakan, atas ancaman penggantian biaya, kerugian dan bunga jika ada alas an untuk itu (pasal 1712) Sekestrasi Adalah penitipan barang tentang mana ada perselisihan, di tangannya seorang pihak ketiga yang mengikatkan diri untuk, setelah perselisihan itu diputus, mengembalikan barang itu kepada siapa yang akan dinyatakan berhak, beserta hasil-hasilnya. Penitipan ini ada yang terjadi dengan persetujuan dan ada pula yang dilakukan atas perintah hakim atau pengadilan. Mengenai hal ini diatur dalam pasal 1730 – 1734 BAB XI PINJAM PAKAI Defenisi dan Ketentuan-ketentuan umum Pinjam pakai adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan suatu barang kepada pihak yagn lainnya untukdipakai dengan cuma-Cuma, dengan syarat bahwa yang menerima barang ini, setelah memakainya atau setelah lewatnya suatu waktu tertentu, akan mengembalikannya (pasal 1740). Dalam pinjam pakai, pihak yang meminjamkan tetap menjadi pemilik dari barang yang dipinjamkan (pasal 1741). Segala apa yang dapat dipakai orang dan tidak musnah karena pemakaian, dapat menjadi bahan perjanjian pinjam-pakai (pasal 1742). Kewajiban peminjam Peminjam diwajibkan menyimpan dan memelihara barang pinjaman itu sebagai seorang bapak rumah yang baik dan tidak boleh memakainya guna suatu keperluan yang lain. Jika ia memakai barangnya pinjaman guna suatu keperluan lain atau lebih lama dari yang diperbolehkan, maka selain dari pada itu ia adalah bertanggung jawab atas musnahnya barangnyasekalipun musnahnya barang itu disebabkan karena suatu kejadian yang sama sekali tidak di sengaja (pasal 1744). Jiak barangnya pada waktu dipinjamkan, telah ditaksir harganya, maka musnahnya barang itu, biarpun ini terjadi karena suatu kejadian yang tidak disengaja, adalah atas tanggungan si peminjam, kecuali apabila telah diperjanjikan sebalknya(pasal 1746) Kewajiban orang yang meminjamkan Orang yang meminjamkan tidak boleh meminta kembali barang yang dipinjamkan selainnya setelah lewatnya waktu yang ditentukan, atau jika tidak ada ketentuan yang demikian, setelah barangnya dipakai atau dapat dipakai untuk keperluan yang dimaksudkan (pasal 1750). BAB XII PINJAM MEMINJAM Defenisi dan Ketentuan-ketentuan umum Pinjam-meminjam adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barangbarang yangmenghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang terakhir ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari jenis dan mutu yang sama pula (pasal 1754). Berdasarkan perjanjian pinjam-meminjam, pihak yang menerima pinjaman menjadi pemilik dari barang yang dipinjam, dan jika barang itu musnah, dengan cara bagaimanapun, maka kemusnahan itu adalah atas tanggungannya (pasal 1755) Kewajban orang yang meminjamkan Orang yang meminjamkan tidak boleh meminta kembali apa yang telah dipinjamkannya sebelum lewatnya waktu yang telah di tentukan dalam perjanjian (pasal 1759) Kewajiban peminjam Orang menerima pinjaman sesuatu diwajibkan mengembalikannya dalam jumlah dan keadaan yang sama dan pada waktu yang ditentukan (pasal 1763). Jka sipeminjam tidak mampu mengembalikan barang yang dipinjamnya dalam jumalah dan keadaanyang sama maka ia diwajibkan membayar harganya, dalam hal mana harus diperhatikan waktu dan tempat dimana barangnya, menurut perjanjian, harus dikembalikan. Meminjamkan dengan bunga Dalam pasal 1765 menyatakan bahwa adalah diperbolehkan memperjanjikan bunga atas peminjaman uang atau lain barang yang menghabis karena pemakaian. BAB XIII PERJANJIAN UNTUNG-UNTUNGAN Devinisi Adalah suatu perbuatan yang hasilnya mengenai untung ruginya, baik bagi semua pihak maupun bagi sementara pihak, bergantung kepada suatu kejadian yang belum tentu. Termasuk didalam perjanjian untung-untungan yaitu : perjanjian pertanggungan, bunga cagak hidup, perjudian dan pertaruhan. Mengenai perjanjian pertanggungan diatur dalam pasal 1774. Bunga cagak-hidup Bunga cagak hidup dapat dilahirkan dengan suatu prjanjian atas beban, atau dengan suatu akte hibah. Ada juga bunga cagak hidup itu diperoleh dengan wasiat. Suatu perjanjian atas beban adalah perjanjian timbale balik dimana prestasi dari pihak yang satu adalah imbalan dari prestasi pihak yang lain. Perjudian dan pertaruhan Baik dalam perjudian dan pertaruhan hasil tentang untungatau rugi digantungkan pada suatu kejadian yang belum tentu. Perbedaannya adalah bahwa dalam prjudian tiap-tiap pihak mengambil bagian atau ikut serta dalam permainan yang hasilnya akan menetukan untung atau rugi tersebut sedangkan dalam pertaruhan mereka berada di luar permainan tersebut, malahan adakalanya tidak ada sesuatu yang dinamakan permainan tetapi hanya ada suatu kejadian saja. Selanjutnya dalam prjudian hasil dari prmainan tersebut selalu hamper seluruhnya tergantung pada nasib dan tidak pada kepandaian sedangkan dala pertaruhan tidak usah demikian. BAB XIV PEMBERIAN KUASA Definisi Adalah suatu perjanjian dengan mana seorang memberikan kekuasaan atau wewenang kepada seseorang lain, yang menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan (pasal 1792). Kewajiban si kuasa Si kuasa diwajibkan selama ia belum dibebaskan, melaksanakan kuasanya, dan ia menanggung segala biaya, kerugian, dan bunga yang sekiranya dapat timbul karena tidak dilaksanakannya kuasa tersebut. Si kuasa bertanggungjawab untuk orang yang telah ditunujuk olehnya sebagai penggantinya dalam melaksanakan kuasanya : - Jika tidak telah diberikan kekuasaan untuk menunjuk seorang lain sebagai penggantinya. - Jika kekuasaan itu telah diberikan kepadanya tanpa tanpa penyebutan seorang tertentu, sedangkan orang yang dipilihnya itu ternyata seorang yang tak cakap atau tak mampu. Kewajiban si pemberi kuasa Si pemberi kuasa diwajibkan memenuhi perikatan-perikatan yang diperbuat oleh si kuasa menurut kekuasaan yang ia telah berikan kepadanya. Ia tidak terikat pada apa yang telah diperbuat selebihnya dari pada itu, selainnya sekadar ia telah menyetujuinya secara tegas atau secara diam-diam (pasal 1807). Berakhirnya pemberian kuasa Pasal 1813 memberikan bermacam-macam cara berakhirnya pemberian kuasa, yaitu : - Dengan ditariknya kembali kuasanya si jurukuasa - Dengan pemberitahuan penghentian kuasanya oleh sijurukuasa - Dengan meninggalnya, pengampunannya atau pailitnya si pemberi kuasa maupun si penerima kuasa - Dengan perkawinan si perempuan yang memberikan atau menerima kuasa. BAB XV PENANGGUGAN UTANG Devinisi dan sifat-sifat penanggungan Adalah suatu perjanjian dengan mana seorang pihak ketiga, guna kepentingan si berpiutang, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatannya si berpiutang, manakala orang ini sendiri tidka memenuhinya (pasal 1820). Tiada penanggungan , jika tidak ada suatu perikatan pokok yang sah. Namun dapatlah seorang mengajukan diri sebagai penanggung untuk suatu perikatan, biarpun perikatan itu dapat dibatalkan dengan suatu tangkisan yang hanya mengenai dirinya pribadi di berutang, misalnya dalam hal kebelumdewasaan (pasal 1821). Menurut pasal 1827 mengatakan bahwa si berutang diawajibkan memberikan seorang penanggung, harus mengajukan seorang yang mempunyai kecakapan menurut hukum untuk mengikatkan dirinya, cukup mampu untuk memenuhi perikatannya dan berdiam di wilayah Indonesia. Akibat-akibat penanggungan antara kreditur dan penanggung Si penanggung tidaklah diwajibkan membayar kepada si berpiutang, selainnya jika siberutang lalai, sedangkan harta benda si berutang ini harus lebih dahulu di sita dan di jual untuk melunasi utangnya (pasal 1831). Sipenangguna tidak dapat menuntut supaya harat-benda si berutang terlebih dahulu di sita dan di lelang untuk melunasi utangnya, dalam hal: Apabila ia telah melepaskan hak istimewanya untuk enuntut dilakukannya lelang-sita lebih dahlu atas hartabenda si berutang. Apabila ia telah mengikatkan dirinya bersama-sama dengan si berutang utama secara tanggung menanggung. Jika si berutang dapat mengajukan suatu tangkisan yang hanya mengenai dirinya sendiri secarapribadi. Jika si berutang berada dalam keadaan pailit. Dalam halnya penanggungan yang di printahkan oleh hakim. Akibat-akibat penanggung antara si berutang dan si penanggung dan antara si penanggung sendiri Si penanggung da juga mempunyai hak menuntut penggantian biaya, rugi dan bunga, jika ada alasan untuk itu (pasal 1839). Sipenanggung dpat menuntut si berutang untuk diberikan ganti rugi atau untuk dibebaskan dari perikatannya, bahkan sebelum ia membayar utangnya : Apabila ia di gugat di muka hakim untuk membayar Apabila si berutang telah berjanji membebaskannya dari penanggungannya di dalam suatu waktu tertentu Apabila utangnya telah dapat di tagih karena lewatnya jangka waktu yang telah di tetapkan untuk pembayarannya Setelah lewatnya waktu sepuluh tahun jika perikatannya pokok tidak mengandung jangka waktu tertentu untuk pengakhirannya, kecuali apabila perikatannya pokok sedemikian sifatnya, hingga ia tidak dapat diakhiri sebelum lewatnya jangka waktu tertentu, sepertinya suatu perwalian (pasal 1843) Hapusnya penanggungan Perikatan yang diterbitkan dari penanggungan hapus karena sebab-sebab yang sama, sebagaimana yang menyebabkan berakhirnya perikatan-perikatan yang lainnya (pasal 1845). Adapun cara-cara berakhirnya perikatan-perikatan itu diatur dalam bab IV dari buku III B.W. (pasal 1381 dan selanjutnya). Si penanggung dibebaskan apabilla ia, karena kesalahan si berpiutang, tidak lagi dapat menggantikan hak-haknya, hiotik-hipotik dan hak-hak istimewanya si berpiutang (pasal 1848). BAB XVI PERDAMAIAN Perdamaian adalah suatu perjanjian denganmana kedua belah pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang,mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung atau mencegah timbulnya suatu perkara. Perjanjian ini tidaklah sah, melainkan jika dibuat secara tertulis (pasal 1851). Untuk mengadakan suatu perdamaian diperluikan bahwa seorang mempunyai kekuasaan untuk melepaskan haknya atas hal-hal yang termaksud dalam perdamaian itu. Tentang kepentingan-kepentingan keperdataan yang terbit dari suatu kejahatan atau pelanggaran, dapat diadakan perdamaian. Perdamaian initidak sekali-kali menghalangi pihak kejaksaan untuk menuntut perkaranya (pasal 1853). BAB XVII ARBITRASE Arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa perdata diluar peradilan umum yang di dasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Perjanjian Arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrrase yang tercantum dalam perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa. o o o o o o Fungsi dan Arti Perizinan Pembukaan UUD 1945 menetapkan dengan tegas tujan kehidupan bernegara yang berdasarkan hukum, hal ini berarti bahwa hukum merupakan supermasi atau tiada kekuasaan lain yang lebih tinggi selain hukum. Upaya merealisasi Negara berdasarkan hukum dan mewujudkan kehidupan bernegara maka hukum menjadi pengarah, perekayasa, dan perancang bagaimana bentuk masyar...akat hukum untuk mencapai keadilan. Berkaitan dengan hal tersebut perlu adanya pembentukan peraturan dimana harus disesuaikan dengan perkembangan masyarakat serta tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengertian izin menurut devinisi yaitu perkenan atau pernyataan mengabulkan. Sedangkan istilah mengizinkan mempunyai arti memperkenankan, memperbolehkan, tidak melarang. Secara garis besar hukum perizinan adalah hukum yang mengatur hubungan masyarakat dengan Negara dalam hal adanya masyarakat yang memohon izin. Hukum perizinan berkaitan dengan Hukum Publik Prinsip izin terkait dalam hukum publik oleh karena berkaitan dengan perundang-undangan pengecualiannya apabila ada aspek perdata yang berupa persetujuan seperti halnya dalam pemberian izin khusus. Izin merupakan perbuatan Hukum Administrasi Negara bersegi satu yang diaplikasikan dalam peraturan berdasarkan persyaratan dan prosedur sebagaimana ketentuan perundang-undangan. Pengertian izin menurut devinisi yaitu perkenan atau pernyataan mengabulkan. Sedangkan istilah mengizinkan mempunyai arti memperkenankan, memperbolehkan, tidak melarang. Secara garis besar hukum perizinan adalah hukum yang mengatur hubungan masyarakat dengan Negara dalam hal adanya masyarakat yang memohon izin. Izin menurut Prof. Bagirmanan Yaitu merupakan persetujuan dari penguasa berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk memperuraikan tindakan atau perbuatan tertentu yang secara umum dilarang. Izin khusus Yaitu persetujuan dimana disini terlihat adanya kombinasi antara hukum publik dengan hukum prifat, dengan kata lain izin khusus adalah penyimpamgan dari sesuatu yang dilarang. Izin yang dimaksud yaitu : Dispensi adalah merupakan penetapan yang bersifat deklaratoir, menyatakan bahwa suatu perundang-undangan tidak berlaku bagi kasus sebagaimana diajukan oleh seorang pemohon. Linsesi adalah izin untuk melukakn suatu yang bersifat komersial serta mendatangkan laba dan keuntungan. Konsesi adalah suatu penetapan administrasi negara yang secara yuridis dan kompleks, oleh karena merpuakan seperangkat dispensasi-dispensasi, jiin-ijin, serta lisensi-lisensi disertai dengan pemberian semcam wewenang pemerintah terbatas pada konsensionaris. Konsesi tidak mudah diberikan oleh karena banyak bahaya penyelundupan, kekayaan bumi dan kekayaan alam negara dan kadang-kadang merugikan masyarakat yang bersangkutan. Wewenang pemerintah diberikan kepada konsensionaris walupun terbatas dapat menimbulkan masalah pilitik dan social yang cukup rumit, oleh karena perusahaan pemegang konsesi tersebut dapat memindahkan kampong, dapat membuat jaringan jalan, listrik dan telepon, membentuk barisan keamanan, mendirikan rumah sakit dan segala sarana laiannya. W.F Prins yang diterjemaahkan oleh Kosim Adi Saputra Bahwa istilah izin dapat diartikan tampaknya dalam arti memberikan dispensasi dari sebuah larangan dan pemakaiannya dalam arti itu pula. Uthrecht Bilamana pembuatan peraturan tidak umunya melarang suatu perbuatan tetapi masih juga memperkenankannya asal saja diadakan secara yang ditentukan untuk masing-masing hal konkrit maka perbuatan administrasi Negara memperkenankan perbuatan tersebut bersifat suatu izin (vergunning). Prajyudi Atmosoedirdjo Suatu penetapan yang merupakan dispensasi dari suatu larangan oleh undang-undang yang kemudian larangan tersebut diikuti dengan perincian dari pada syarat-syarat , criteria dan lainnya yang perlu dipenuhi oleh pemohon untuk memperoleh dispensasi dari larangan tersebut disertai denganpenetapan prosedur dan juklak (petunjuk pelaksanaan) kepada pejabat-pejabat administrasi negara yang bersangkutan. Sjachran Basah Perbuatan hukum Negara yang bersegi satu yang mengaplikasikan peraturan dalam hal konkreto berdasarkan persyaratan dan prosedur sebagaimana diteapakan oleh ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Ateng Syafruddin Merupakan bagian dari hubungan hukum antara pemerintah administrasi dengan warga masyarakat dalam rangka menjaga keseimbangan kepentingan antara masyarakat dengan lingkungannya dan kepentingan individu serta upaya mewujudkan kepastian hukum bagi anggota masyarakat yang berkepentingan. Perbedaan prinsip antara Hukum Publik dengan Hukum Privat Hukum Publik Bersifat umum Bersifat ordonatif (sepihak) Diatur oleh perundang-undangan Sanksi sangat tegas Mengatur masyarakat Hukum Privat Bersifat individu Bersifat koordinatif (dua pihak) Berdasaran kesepakatan atau perjanjian Sanksi kurang tegas Mangatur individu dengan individu Fungsi lain dari izin Untuk memberikan kepastian hukum bagi pemohon dan masyarakat Sebagai tindakan preventif untuk menghadapi pihak-pihak yang mengganggu Sebagai pengaman secara hukum Proses pengeluaran izin Proses sentralisasi (pengaitan terhadap hukum-hukum yang berlaku) Proses disentralisasi Pengertian tentang izin dan kaitannya dengan penetapan Alasan mengapa di negara berkembang segala sesuatu diperlukan izin dikarenakan di negara berkembang seperti Indonesia terdapat unsur pembinaan dan pemerintah melakukan pembinaan melalui pengawasan prepentif. Hukum Administrasi Negara (HAN) HAN Matriel Bersifat umum Bersifat abstrak Berkelanjutan Dapat dijadikan landasan kerja bagi pejabat Administrasi Negara yang mengembangkan tugas servis publik khususnya di bidang perdagangan, dalam melaksanakan tugas itu maka pejabata Administrasi Negara dapat melakuakan suatu perbuatan penetapan atau beschikkinghandeling yang dapat menghasilkan penetapan atau beschiking yang merupakan kongkrisitas dari peraturan perundang-undangan dalam HAN Matriel HAN Formal Bersifat pribadi Bersifat konkrit Final Berdasarkan teori HAN Formal di bagi menjdi : HAN Formal Non Kontentiosa Yaitu ketentuan hukum yang mengatur cara bagaimana suatu penetapan itu dibuat dan diterbitkan. HAN Formal Kontentiosa Yaitu ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur cara bagaimana menjelaskan sengketa TUN apabila merugikan individu atau badan hukum perdata. HAPTUN merupakan hukum formal, karena merupakan salah satu unsure dari peradilan demikian juga dengan hukum matrielnya. Oleh karena itu peratun tanpa hukum matriel akan lumpuh sebab tidak tahu apa yang akan dijelmakan, dan sebaliknya peradilan tanpa hukum formal akan liar sebab tidak ada batas yang jelas dalam melakukan kewenangannya. Hukum formal tanpa hukum matriel akan menimbulkan kesewenang-wenangan dan sebaliknya hukum matriel tanpa hukum formal hanya merupakan angan-angan belaka. Membuat konkrit (HAN formal) dari yang abstrak (HAN matriel) diperlukan suatu normativasi (merupakan proses yang membuat norma-norma dalam berbagai jenis yang bentuknya telah ditetapkan dalam hierarkis ketentuan perundang-undangan), prose situ berarti membuat individual-konkrit dari umum-abstrak. Pengertian Beschikking (penetapan) W.F PRINS Beschikking adalah suatu tindakan hukum sepihak dibidang pemerintahan, dilakukan oleh penguasa berdasarkan kewenangan khusus. E. UTRECIIT Beschikking adalah suatu perbuatan berdasarkan hukum publik yang bersegi satu, ialah dilakukan oleh alat-alat pemerinah berdsarkan sesuatu kekuasaan istimewa. VAN DER POT Beschikking adalah perbuatan hukum yang dilakukan alat-alat pemerintahan itu dalam menyelenggarakan hal khusus, dengan maksud mengadakan perubahan dalam lapangan bidang hukum. VAN POELJE Beschikking adalah pernyataan tertulis kehendak suatu alat perlengkapan pemerintah dari penguasa pusat yang sifatnya sepihak yang ditujukan keluar, berdasarkan kewenangan atas dasar suatu peraturan HTN atau hukum Tata Pemerintahan dan yang tujuannya ialah perubahan atau suatu pembatalan suatu hubungan hukum yang ada atau penetapan sesuatu hubungan hukum yang baru ataupun yang memuat suatu penolakan pemerintah penguasa terhadap hal-hal tersebut. CORNELIS VAN VOLLENHOVEN Beschikking adalah suatu penetapan atau keputusan yang bersifat legislatif yang mempunyai arti berlainan. Sumber Undang-Undang ( UU No . 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara ) Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan Hukum Tata Usaha Negara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bersifat konkrit, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. • o o o o o Hak Asasi Tersangka Untuk Mendapat Bantuan Hukum Dalam Sistem Peradilan Pidana A. Sistem Peradilan Pidana dan HAM Salah satu perkembangan yang menjadi isu Internasional ialah Penerapan Hak-hak Asasi Manusia, dan lazimnya Pelaksanaan Hak Asasi tersebut berkaitan erat dengan Proses Peradilan Pidana, atau juga penyalahgunaan kekuasaan dari suatu rejim Pemerintahan yang tidak lagi patuh atau dibatasi oleh hukum. Selain kekuasaan yang tak terbatas, yang menjadi perhatian pula adalah proses peradilan pidana dimanapun di dunia ini sering menjadi sorotan, baik oleh negara maju, negara berkembang ataupun suatu negara yang menganut prinsip-prinsip hukum modern, yakni hukum yang selalu mengikuti perkembangan masyarakat dan menghargai serta menjunjung tinggi harkat kemanusiaan. Sebagaimana tercantum dalam “Law and the Behavioral Sciences”, oleh Lawrence M. Friedman dan Stewart Macaulay, halaman 122, yang berjudul: The Practice of Law as Confidence Game: Organization Coopation of a Prefession, oleh Abraham S. Blumberg, dikatakan bahwa, suatu keputusan pengadilan mungkin berlandaskan dasar pemikiran hukum, namun pada saat yang sama keputusan itu mungkin merupakan penipuan diri melalui kemungkinan-kemungkinan yang dibebankan oleh aspek-aspek dari realitas sosial dimana pembuat hukumpun tidak menyadari. Dalam hal perbaikan kondisi seperti ini, proses peradilan pidana yang seharusnya tidak boleh berpihak pada lembaga, atau siapapun selain keadilan, maka dalam proses pidana diharapkan peran serta lembaga bantuan hukum untuk ikut serta menegakkan keadilan. Lembaga pengadilan menentukan peran bagi pengacara atau pembela dalam suatu kasus kriminil yang sangat berbeda dengan yang digambarkan secara tradisional. Para sosiolog antara lain telah memusatkan perhatian mereka pada pencabutan hak-hak dan ketidak mampuan sosial seperti ras, kesukuan, dan kelas sosial sebagai sumber dari kesalahan seorang tertuduh dalam suatu peradilan pidana. Yang lebih banyak diabaikan adalah variabel dari organisasi pengadilan itu sendiri. Organisasi itu berdasarkan nilai-nilai pragmatis, prioritas birokrasi dan administrasi. Tujuan dan disiplin organisasi membebankan serangkaian tuntutan dan kondisi praktek pada profesi masing-masing dalam peradilan pidana, dimana mereka menanggapi dengan melepaskan ideologi dan komitmen profesional mereka terhadap terdakwa yang menjadi klien mereka dalam melaksanakan tuntutan-tuntutan yang lebih tinggi dari organisasi pengadilan. Semua personel pengadilan, termasuk pengacara terdakwa cenderung dipilih menjadi “agent-mediator” yang membantu terdakwa menentukan kembali situasinya dan menyusun kembali persepsinya sejalan dengan kesalahan. B. Lembaga Peradilan dan Peran Pengacara Abraham S. Blumberg dalam “Law and the Behavioral Science (1967) menyatakan, bahwa lembaga peradilan memberi peran bagi lembaga bantuan hukum atau para pengacara pembela dalam suatu kasus kriminal. Dan para pengacara ini diberikan status khusus dan kewajibannya selain sebagai “Agent Mediator” yang membantu terdakwa menyusun kembali persepsinya sejalan dengan kesalahan. Dari penelitian yang dilakukan bahwa para pengacara ini umumnya dibagi dua, yakni Pengacara Tetap dan pengacara Tidak Tetap. Pengacara tidak tetap kehadirannya sesuai dengan kepentingan para kliennya saja. Sedangkan pengacara yang tetap ini selalu hadir dan menjaga hubungan yang baik kepada semua tingkat personal di pengadilan sebagai upaya untuk memelihara dan membangun prakteknya. Hubungan informalnya itu juga sebagai upaya untuk merundingkan permohonan dan hukuman. Kunci untuk memahami peran pengacara dikemukakan oleh Abraham S. Blumberg dalam kasus kriminal, ialah penetapan biaya yang ditentukan, dan pekerjaan yang berhubungan dengan hukum tidak dapat diraba karena berupa jasa sehingga seolah-olah akan tampak bahwa profesi itu tidak pantas untuk mendapat bayaran. Tentang jumlah pembayaran merupakan suatu fungsi dari nilai suatu kejahatan, oleh sebab itu para pengacara selalu mempertahankan ketegangan dari kliennya untuk terus membangkitkan kecemasan mereka. Dengan demikian maka akan terdorong untuk segera membayar. Sehingga berakibat bahwa hubungan antara pengacara, klien dan pengacara lawannya diwarnai dengan suatu sifat permusuhan, rasa curiga, ketergantungan dan penghasutan. Para pengacara sering pula dituduh menyebabkan jalannya perkara menjadi rumit, dan sering mereka hanya mencari kepentingan pribadi dari kliennya, dan para pengacara inipun sering menjadi agen rangkap dari klien dan juga peradilan, kemudian sebagai agen rangkap pengacara pembela melakukan misi yang benar-benar penting bagi organisai peradilan dan tertuduh. Kedua prinsip ini dimaksudkan untuk menghindari jalannya perkara, dalam hal ini hakim akan bekerjasama dengan Pengacara dalam beberapa hal penting, misalnya menangguhkan kasus terdakwa di penjara, dan menunggu pembelaan atau hukum jika pengacara meminta terdakwa yang demikian. Dengan cara ini hakim memberi kesempatan untuk agar pengacara memperoleh bayarannya. Pengacara juga bisa minta penangguhan kepada hakim. Jadi tujuan akhir dari adegan ini adalah untuk melindungi bayaran pengacara. Bahkan hakim akan menolong pengacara ini dengan meminjamkan kantor dan ruangan pengadilan (Abraham S. Blumberg, 1967: 122 – 123). Dalam kenyataannya peran pengacara ini sangat dominan dan diperlakukan istimewa kehadirannya, suka atau tidak suka, terlebih lagi pada negara-negara yang masih mengalamii sela-sela kelemahan hukum itu. Biasanya para pengacara kebanyakan meminta bayaran di muka sebagai biaya operasional. Dan juga selalu mengatakan pada kliennya untuk bersiap-siap menerima kekalahan setelah mendapatkan bayaran tersebut. C. Beberapa Model dalam Proses Peradilan Pidana Herbert L. Packer dalam bukunya yang terkenal “The Limits of the Criminal Sanction (1968); mengemukakan bahwa ada dua model dalam Sistem Peradilan Pidana, yaitu Crime Control Model (CCM), dan Due Process Model (DPM). Kedua model tersebut di atas yang disoroti adalah sebuah usaha yang memberi petunjuk operasional terhadap kompleksnyanilai-nilai yang mendasarinya. Hukum pidana sebagaimana disarankan oleh Packer adalah untuk menentukan dua sistem nilai yang berlawanan, yakni suatu ketegangan dari yang terlibat dalam hal ini, yaitu para pembuat undang-undang, hakim polisi, pengacara dan penuntut umum, dimana masing-masing nilai menjadi gambaran bagi pihak yang terlibat dan selalu bertentangan pada setiap gerak sesuai dengan waktu dan tokoh yang diwakili pada tiap proses kriminal itu. Adapun nilai-nilai tersebut merupakan suatu alat bantu analisis dan pertentangan kedua model itu tidak absolut dan merupakan abstraksi dari masyarakat Amerika, serta merupakan suatu cara pemeriksaan tentang bagaimana suatu perundang-undangan itu berjalan atau diterapkan dalam Peradilan Pidana di Amerika (Packer, 1968: 197). Kedua model tersebut di atas oleh Packer bukanlah label dari Das Sollen dan Das Sein, tetapi diartikan sebagai suatu hal yang mana baik dan tidak baik atau ideal, kedua model ini sebagai cara untuk memudahkan, bila membicarakan tentang tata kerja suatu proses yang dalam pelaksanaan sehari-hari melibatkan suatu rangkaian yang terjadi dalam proses peradilan pidana. Adapun nilai dasar dari kedua model itu yakni bahwa peraturan perundang-undangan itu harus ada terlebih dahulu perumusannya sebagai suatu tindak pidana yang diancam dengan pidana setiap pelanggarannya. Dan sebelum seseorang dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana, maka peraturan perundang-undangan yang dibuat itu menjadi dasar utama bagi penegak hukum dalam penerapannya. Jika ternyata terjadi pelanggaran terhadap ketentuan Perundang-undangan itu, maka pelaku tindak pidana harus diproses oleh pejabat yang diberi kewenangan untuk mengabil tindakan hukum sejak tahap pengangkatan, penahanan, sampai diadakan penuntutan di pengadilan. Kemudian dari kewenangan yang diberikan itu oleh Perundang-undangan, maka aparat penegak hukum dalam mengabil tindakannya terhadap tersangka harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku tersebut. Hak tersangka harus dihormati dan perlakuan terhadapnya tidak boleh sewenang-wenang. Hal yang penting dikemukakan oleh Packer selain beberapa asas dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana, yaitu tersangka tidak dibenarkan untuk dijadikan sebagai obyek pemeriksaan semata-mata, oleh karenanya Jaksa mempunyai kewajiban untuk membuktikan kesalahan terdakwa, karena berkenaan dengan posisinya sebagai Penuntut Umum. Adapun ciri khas dari crime control model itu ialah sangat mengandalkan “Profesionalisme” untuk mencapai effisiensi yang tinggi. Penanganannya dengan memakai atau menggunakan Assembly Line (ban berjalan). Karena profesional yang merupakan sifatnya, maka peraturan yang bersifat formal sering dilanggar, dan kadang-kadang untuk mendapatkan barang bukti, para profesionalis ini memaksakan cara-cara illegal untuk tujuan cepat dan effisiensi. Sehingga untuk menghindari hambatan dari proses pidana itu maka kewenangn kebijakan dari penegak hukum itu seringkali diperluas. Dan dalam kenyataannya bahwa Crime Control Model ini sering dipertentangkan sebagai kurang manusiawi dan tidak menghormati hak asasi manusia. Kemudian model yang kedua yakni Due Process Model dengan ciri-ciri selalu menganggap penting adanya refresif kejahatan, yaitu tahap ajudicatif (dalam sidang pengadilan harus ditentukan salah tidaknya tersangka), atas dasar legal guilt. Kemudian selalu mengadakan chek and recheck (obstacle couse) dan hal ini harus diuji menurut peraturan. Ciri berikutnya adalah menghormati undang—undang. Kemudian menempatkan kedudukan yang sama bagi setiap orang di depan hukum (Quality Control). Sehingga model ini dikatakan orang lebih manusiawi dan menghormati hak asasi manusia. Pada Due Process Model, sangat diperlukan peranan Bantuan Hukum yang dalam hal ini ialah pengacara untuk mendampingi tersangka sejak di tingkat penahanan, penangkapan, maupun tentunya di pengadilan. Sehingga para tersangka merasa tenang dalam pemeriksaan dan terhindar dari segala bentuk tekanan, paksaan dan penyiksaan. Walaupun disadari bahwa kehadiran bantuan hukum itu mengakibatkan biaya bertambah mahal dan jalannya suatu perkara menjadi agak lama. Namun di pihak lain dapat pula menjamin hak asasi manusia. Pada model lain dari proses peradilan pidana dikemukakan oleh John Griffith dalam “The Third Model of Criminal Process” (1970, dengan terlebih dahulu mengadakan telaah dari kedua model yang dikemukakan oleh packer. Maka menurutnya bahwa kedua model itu tidak membawa pada pemahaman yang tepat mengenai masalah-masalah hukumacara pidana. Ia mengatakan bahwa Family Model itu tersebut juga sebagai model pertempuran, dengan dasar utamanya ialah untuk mendamaikan kepentingan-kepentingan yang sama. Family Model ini sangat banyak mengakui harkat dan martabat manusia dan hal itu tidak dikaitkan dengan asas Presumption of Innocent, dan pada model inipun memerlukan peran pengacara. Pada bagian lain Griffith mengemukakan suatukasus Armstead, dimana persoalannya adalah seseorang yang belum dipidana belum dinyatakan bersalah, meskipun seseorang itu dinyatakan bersalah namun harus tetap dihormati, semua orang meski berhak untuk diperlakukan baik. Di sini ada suatu perwujudan hak asasi manusia (Griffith, 1970: 359 – 383). Untuk Indonesia yang mengakui dan melindungi hak-hak asasi manusia, termasuk hak asasi dari mereka yang disangka atau didakwa telah melalukan suatu tindak pidana. Dalam bidang hukum acara pidana yang berlaku, perlindungan terhadap hak asasi manusia itu telah diberikan oleh negara, misalnya dalam bentuk hak-hak-hak yang dimiliki oleh tersangka/terdakwa selama proses penyelesaian perkara pidana. D. Penutup Pemberian beberapa hak-hak tertentu kepada tersangka dalam proses penyelesaian perkara pidana merupakan salah satu inovasi dalam KUHAP sebagai ketentuan hukum acara pidana. Inovasi tersebut dapat bersumber kepada Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, yaitu tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang seperti diketahui, tidak saja mengandung restorasi terhadap kekuasaan kehakiman yang bebas, tetapi juga mengandung kerangka umum atau general framework dari lingkungan peradilan yang ada dengan Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi dan asas-asas mengenai Hukum Acara Pidana (Oemar Seno Adji, 1985: 31). Salah satu hak yang diberikan kepada tersangka terdakwa dalam proses penyelesaian perkara pidana adalah hak untuk mendapatkan bantuan hukum, di samping beberapa hak lainnya seperti mendapat pemeriksaan, hak untuk diberitahukan kesalahannya, hak untuk segara diajukan ke pengadilan, hak untuk mendapatkan putusan hakim yang seadil-adilnya, hak untuk mendapat kunjungan keluarga dan lain-lain. Bila dilihat sejarah hukum acara pidana di Indonesia, dapat diketahui bahwa hak mendapatkan bantuan hukum bagi tersangka/terdakwa itu telah mendapatkan pengaturannya dalam ketentuan hukum acara pidana yang lama, yaitu HIR atau yang lazim juga disebut dengan Reglemen Indonesia yang dibarui (Rbg). Dalam peraturan ini hak tersebut diatur dalam Pasal 250 dan 254, yang memberikan hak tersebut pada tersangka yang diancam dengan pidana mati serta hak tersangka untuk menghubungi pembelanya setelah berkasnya dilimpahkan ke Pengadilan Negeri. Hak untuk mendapatkan bantuan hukum bagi tersangka/terdakwa itu juga mendapatkan pengaturannya di dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang kemudian dicabut dan diganti dengan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 (Pasal 35, 36 dan 37) dan selanjutnya diatur dalam Pasal 69 – 74 KUHAP. Tentang Bantuan Hukum tersebut dikatakan dalam Pasal 69 antara lain adalah: “Penasehat hukum berhak menghubungi tersangka sejak saat ditangkap atau ditahan pada semua tingkat pemeriksaan menurut tata cara yang ditentukan dalam Undang-undang”. Dalam menciptakan suatu Undang-undang tentunya dilandasi sejumlah pemikiran dasar. Dan sering terjadi bahwa pemikiran dasar yang menjadi landasan diciptakannya suatu Undang-undang tidak tampak dalam pelaksanaan dari Undang-undang tersebut (Loebby Loqman, 1990: 10).Begitu pula dengan pengaturan beberapa lembaga tertentu di dalam Hukum Acara Pidana, termasuk pengaturan hak tersangka untuk mendapatkan bantuan hukum dalam proses penyelesaian perkara pidana. Bila diperhatikan lebih jauh ketentuan acara pidana yang pernah berlaku, terdapat perbedaan mendasar antara HIR dengan peraturan-peraturan lain, khususnya dalam hal mengatur hak mendapatkan bantuan hukum. Di dalam HIR hak tersebut baru diperoleh seorang tersangka setelah perkaranya sampai ke Pengadilan. Sementara dalam proses penyidikan hak tersebut tidak dapat dinikmati oleh tersangka. Tidak diaturnya hak mendapatkan bantuan hukum bagi tersangka dalam proses penyidikan itu, dalam praktek sering menimbulkan akses yang tidak baik, seperti penggunaan kekerasan oleh aparat penegak hukum mengejar pengakuan tersangka. Apabila di dalam HIR pengakuan tersangka adalah bukti yang utama, karena diletakkan pada urutan pertama dari alat-alat bukti yang lain. Untuk mendapatkan pengakuan tersebut maka penegak hukum akan melakukan tindakan apapun, tanpa takut dikenal sanksi karena sistem pemeriksaannya adalah sistem tertutup, dimana tersangka tidak didampingi oleh penasehat hukumnya. Mengantisipasi akses tersebut serta karena ketentuan Hukum Acara Pidana kita kemudian lebih berorientasi kepada hak-hak asasi manusia, maka di dalam ketentuan-ketentuan sesudahnya hak mendapatkan bantuan hukum itu kemudian diberikan kepada tersangka sejak permulaan pemeriksaan perkaranya. Dalam arti bahwa sejak pemeriksaan tahap penyidikan, seorang tersangka berhak untuk didampingi seorang penasehat hukum. DAFTAR PUSTAKA Blumberg, Abraham. S. 1967, The Practice of Law as Confidence Game: Organizational Cooptation of a Profession. University of New York. Friedman, Wolfgang, 1949. Legal Theory. London: Stevens & sons Limited Friedman, Lawrence M & Stewart Maculay. 1969. Law and Behavioral Science. Indianapolis : The Boobs Merrill Company Inc. Griffith, John. 1970. The Third Model of Criminal Process. Hamzah, Andi dan Siti Rahayu. 1983. Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan di Indonesia. Jakarta : Akademika Pressiondo. Seno Adji, Oemar, 1994, KUHAP Sekarang, Jakarta, Erlangga. Hullsman, H.C. 1984. Sistem Peradilan Pidana dalam Perspektif Perbandingan Hukum Pidana. Penyadur: Soedjono Disdjosisworo. Jakarta : Rejawali Pers. Packer, Herbert. L. 1968. The Limits of the Criminal Sanction. California: Stanford University Press. • o o o o o o o Etika dan Tanggungjawab Profesi Hukum TINJAUAN YURIDIS ETIKA DAN TANGGUNGJAWAB PROFESI HUKUM TERHADAP JAKSA URIP TRI GUNAWAN TERSANGKA KASUS SUAP BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1991 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DIHUBUNGKAN DENGAN DOKTRIN KEJAKSAN REPUBLIK INDONESIA TRI KARMA ADHYAKSA BAB I KASUS POSISI DAN PERMASALAHAN HUKUM A. Kasus Posisi ... Jaksa yang bertugas di Kejagung, Urip Tri Gunawan, ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Koordinator jaksa penyelidik kasus BLBI Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) milik obligor Grup Gadjah Tunggal Sjamsul Nursalim telah tertangkap basah bersama barang bukti berupa uang senilai US$ 660 ribu atau Rp 6 miliar. Urip Tri Gunawan adalah salah satu dari 35 jaksa daerah terbaik di Indonesia dan pernah menjadi Kepala Kejaksaan Negeri di Klungkung, Bali. Dia dipergoki sedang menerima suap dari Artalyta Suryani yang diduga terkait penghentian penyelidikan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia di Gedung Bundar, Kejaksaan Agung (Kejagung). Jaksa yang pernah menuntut mati Amrozi dan Imam Samudra dan sekarang menangani kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang menjerat Sjamsul Nursalim itu tertangkap tangan ketika menerima suap dari Artalyta Suryani di kediaman obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia Sjamsul Nursalim pada hari Jumat tanggal 29 Februari 2008 di kawasan Jakarta Selatan sekitar pukul 16.30 WIB. Tertangkapnya ketua tim jaksa penyelidik kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia merupakan bukti proses penyelidikan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia tersebut bermasalah. Sebab sebelum adanya insiden itu, penyelidikan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia dihentikan.. Hal tersebut dapat diduga ada kaitannya dengan penghentian kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia Sjamsul Nursalim. Oleh karena itu, kemudian Kejaksaan Agung pun didesak untuk mempertimbangkan kembali penghentian pidana kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang sudah dihentikan penyelidikannya oleh Tim 35 Kejagung yang diketuai oleh Jaksa Urip Tri Gunawan dengan alasan karena tidak ada perbuatan melawan hukum.. B. Permasalahan Hukum Berdasarkan kasus posisi yang telah diuraikan tersebut diatas, maka penulis dengan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan yang dimulai dengan analisa terhadap permasalahan yang ditulis dalam penyusunan tugas ini serta melakukan inventarisasi hukum positif guna penanganan dan penanggulangannya, mengidentifikasi beberapa permasalahan hukum yang berkaitan dengan penulisan tugas dalam mata kuliah Hukum Etika dan Tanggungjawab Profesi Hukum ini, yaitu sebagai berikut : Bagaimana pertanggungjawaban Jaksa Urip Tri Gunawan yang diduga telah menerima suap berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia ? Bagaimana pertanggungjawaban Jaksa Urip Tri Gunawan yang diduga telah menerima suap jka dihubungkan dengan Doktrin Tri Karma Adhyaksa sebagai doktrin Kejaksaan Republik Indonesia ? BAB II PEMERIKSAAN DOKUMEN Undang-undang Nomor 5 Tahun 1995 tentang Kejaksaan Republik Indonesia : Pasal 1 Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh Undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Hukum Acara Pidana dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh Hakim di sidang pengadilan. Jabatan fungsional jaksa adalah jabatan yang bersifat keahlian teknis dalam organisasi kejaksaan yang karena fungsinya memungkinkan kelancaran pelaksanaan tugas kejaksaan. Pasal 12 Jaksa diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena : Permintaan sendiri; atau Sakit jasmani atau rohani terus-menerus; atau Telah berumur 58 (lima puluh delapan) tahun dan 60 (enam puluh) tahun bagi kepala kejaksaan tinggi dan wakil kepala kejaksaan tinggi alau jabatan yang dipersamakan dengan kepala kejaksaan tinggi dan wakil kepala kejaksaan tinggi; atau Ternyata tidak cakap menjalankan tugas; atau Meninggal dunia. Pasal 13 (1) Jaksa diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya dengan alasan : Dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan; atau Terus menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas/ pekerjaannya; atau Melanggar larangan yang dimaksud dalam pasal 11; atau Melanggar sumpah atau janji jabatan; atau Melakukan perbuatan tercela. Pasal 15 (1) Apabila terhadap seorang jaksa ada perintah penangkapan yang diikuti dengan penahanan, dengan sendirinya jaksa tersebut diberhentikan sementara dari jabatannya oleh Jaksa Agung. (2) Pemberhentian sementara dapat dilakukan oleh Jaksa Agung dalam hal jaksa dituntut di muka pengadilan dalam perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tanpa ditahan. Pasal 27 (1) Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang : Melakukan penuntutan dalam perkara pidana ; Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan, Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan keputusanlepas bersyarat; Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik. (2) Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah. (3) Dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum, kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan : Peningkatan kesadaran hukum masyarakat Pengamanan kebijakan penegakan hukum Pengamanan peredaran barang cetakan Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama Penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal. Pasal 32 Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang : Menetapkan serta mengendalikan kebijakan penegakan hukum dan keadilan dalam ruang lingkup tugas dan wewenang kejaksaan Mengkoordinasikan penanganan perkara pidana tertentu dengan instansi terkait berdasarkan undang-undang yang pelaksanaan koordinasinya ditetapkan oleh Presiden Menyampingkan perkara demi kepentingan umum Mengajukan kasasi demi kepentingan hukum kepada mahkamah agung dalam perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara Mengajukan pertimbangan teknis hukum kepada mahkamah agung dalam pemeriksaan kasasi perkara pidana Menyampaikan pertimbangan kepada presiden mengenai permohonan grasi dalam hal pidana mati Mencegah atau melarang orang-orang tertentu untuk masuk ke dalam atau meninggalkan wilayah kekuasaan negara republik indonesia karena keterlibatannya dalam perkara pidana. BAB III PENDAPAT HUKUM 1. Pertanggungjawaban Jaksa Urip Tri Gunawan yang diduga telah menerima suap berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Pembaharuan undang-undang kejaksaan Republik Indonesia diarahkan dan dimaksudkan untuk memantapkan kedudukan dan peran kejaksaan agar lebih mampu dan berwibawa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya di dalam negara hukum yang berdasarkan Pancasila yang sedang membangun. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, kejaksaan harus mempu mewujudkan kepastian hukum, ketertiban hukum, keadilan dan kebenaran berdasarkan hukum dan mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan dan kesusilaan serta wajib menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum dan keadilan yang hidup didalam masyarakat. Kejaksaan juga berkewajiban untuk turut menjaga dan menegakkan kewibawaanpemerintah dan negara serta meluindungi kepentingan rakyat melalui penegakkan hukum. Berdasarkan kasus posisi yang telah dijelaskan sebelumnya, dimana Jaksa yang bertugas di Kejagung, Urip Tri Gunawan, ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Koordinator jaksa penyelidik kasus BLBI Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) milik obligor Grup Gadjah Tunggal Sjamsul Nursalim telah tertangkap basah bersama barang bukti berupa uang senilai US$ 660 ribu atau Rp 6 miliar, nampaknya perilaku jaksa yang bersangkutan tersebut sangatlah tidak seperti apa yang diharapkan dari pembaharuan undang-undang kejaksaan Republik Indonesia tersebut. Etika jaksa tersebut tidaklah mencerminkan apa yang seharusnya dimiliki oleh para jaksa sebagai subsistem penegak hukum di Indonesia. Akan tetapi sanksi bagi Jaksa Urip itu sendiri sangat tergantung pada proses hukum pidana yang bakal dijatuhkan. Kalau dia sendiri bisa dipecat setelah ada keputusan hakim yang memiliki keputusan hukum tetap. Bagaimana dia diberhentikan sementara, proses administrasinya, nanti Jamwas ada aturan-aturannya. Berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang kejaksaan Republik Indonesia maka terhadap jaksa Urip Tri Gunawan yang tertangkap tangan telah mau disuap oleh Artalyta Suryani tersebut selain dapat diberikan sanksi pidana juga tidak menutup kemungkinan diberikan pula sanksi administratif kepada jaksa Urip Tri Gunawan berupa diberhentikan sementara dari jabatannya oleh Jaksa Agung. Sebagaimana hal tersebut terdapat pengaturannya dalam Pasal 13 ayat (2) yang menentukan bahwa Jaksa diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya dengan alasan : Dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan; atau Terus menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas/ pekerjaannya; atau Melanggar larangan yang dimaksud dalam pasal 11; atau Melanggar sumpah atau janji jabatan; atau Melakukan perbuatan tercela. Kemudian lebih lanjut lagi dijelaskan dalam Pasal 15 ayat (1) dan (2) undang-undang tentang kejaksaan, yang selengkapnya berbunyi : (1) Apabila terhadap seorang jaksa ada perintah penangkapan yang diikuti dengan penahanan, dengan sendirinya jaksa tersebut diberhentikan sementara dari jabatannya oleh Jaksa Agung. (2) Pemberhentian sementara dapat dilakukan oleh Jaksa Agung dalam hal jaksa dituntut di muka pengadilan dalam perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tanpa ditahan. 2. Pertanggungjawaban Jaksa Urip Tri Gunawan yang diduga telah menerima suap jka dihubungkan dengan Doktrin Tri Karma Adhyaksa sebagai doktrin Kejaksaan Republik Indonesia. Kejaksan adalah pejabat yang diberwi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak atas nama negara dibidang penuntutan, sehingga untuk dapat mengemban tugasnya dengan baik dibutuhkan kualifikasi tersendiri. Agar kejaksaan dapat mengemban tugasnya dengan baik maka berdasarkan keputusan Jaksa Agung Nomor Kep-052/J.A/8.1979 ditetapkan pula tentang Doktrin Adhyaksa Tri Karma adhyaksa, dimana doktrin tersebut berunsurkan : Catur Asana, merupakan empat landasan yang mendasari eksistensi, peranan, wewenang dan tindakan kejaksaan dalam mengemban tugasnya baik dibidang yustisial, nonyustisial, yudikatif maupun eksekutif. Tri Atmaka, merupakan tiga sifat hakiki kejaksaan yaitu tunggal, mandiri dan mumpuni. Tri Krama Adhyaksa, adalah sikap mental yang baik dan terpuji yang harus dimiliki oleh setiap jajaran kejaksaan yang meliputi sifat satya, adi dan wicaksana. Dengan demikian, maka perilaku Jaksa Urip Tri Gunawan yang dipergoki sedang menerima suap dari Artalyta Suryani yang diduga terkait penghentian penyelidikan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia tersebut sangat tidak mencerminkan hal-hal yang harus dipenuhi oleh seseorang yang sudah diberikan kewenangan oleh negara untuk dapat menegakkan hukum tanpa adanya diskriminasi dengan tidak meentingkan kepentingan pribadi ataupun golongan melainkan mementingkan kepentingan masyarakat banyak disertai rasa keadilan sosial. Seorang jaksa yang seharusnya memiliki sifat satya, kesetiaan yang bersumber pada rasa jujur baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, terhadap diri pribadi dan keluarga maupun kepada semua manusia, dimana kesemuanya itu diartikan juga jujur terhadap tugas, akan tetapi dengan dia mau menerima uang suap hal itu dapat diartikan bahwa dia sudah tidak mau jujur dan tidak dapat dibenarkan dengan alasan apapun. BAB IV KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan Dari pembahasan tersebut diatas maka dapat dikesimpulkan beberapa hal, diantaranya yaitu : Berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang kejaksaan Republik Indonesia maka terhadap jaksa Urip Tri Gunawan yang tertangkap tangan telah mau disuap oleh Artalyta Suryani tersebut selain dapat diberikan sanksi pidana juga kemungkinan diberikan pula sanksi administratif kepada jaksa Urip Tri Gunawan berupa diberhentikan dari jabatannya oleh Jaksa Agung. Perilaku Jaksa Urip Tri Gunawan yang dipergoki sedang menerima suap dari Artalyta Suryani yang diduga terkait penghentian penyelidikan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia tersebut sangat tidak mencerminkan hal-hal yang harus dipenuhi oleh seseorang yang sudah diberikan kewenangan oleh negara untuk dapat menegakkan hukum tanpa adanya diskriminasi dengan tidak meentingkan kepentingan pribadi ataupun golongan melainkan mementingkan kepentingan masyarakat banyak disertai rasa keadilan sosial seperti apa yang dikehendaki Doktrin Adhyaksa Tri Karma adhyaksa, dimana doktrin tersebut berunsurkan Catur Asana, Tri Atmaka, dan Tri Krama Adhyaksa. B. Rekomendasi Sebagai rekomendasi atas pokok permasalahan yang telah dibahas dalam penulisan tugas ini, maka penulis mengemukakan hal-hal yaitu kepada Jaksa Urip Tri Gunawan jika nanti dia terbukti bersalah karena telah mau menerima uang suap, maka kepadanya untuk diberikan sanksi pidana yang lebih berat karena kedudukan dia sebagai penegak hukum yang fungsional harusnya bisa bersikap jujur. Selain hal tersebut diberikan pula sanksi administratif yang berat kepada Jaksa Urip Tri Gunawan berupa pemecatan dengan tidak hormat, karena perilakunya tersebut sudah mencoreng nama baik penegak hukum (korps Kejaksaan Republik Indonesia), dimana dampak dari semua itu mengakibatkan timbulnya ketidak percayaan masyarakat terhadap hukum dan penegak hukumnya itu sendiri. • o o o Eksistensi Pengadilan Niaga dan Perkembangannya Dalam Era Globalisasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Globalisasi ditandai dengan berakhirnya perang dingin, peningkatan perdagangan internasional, revolusi teknologi komunikasi, kemajuan bidang transportasi, dan meningkatnya kreativitas perekonomian dengan menggunakan komputer dan internet. Lebih dari itu sistem yang berlaku akan ber...ubah lebih efisien dan produktif. Peradilan juga akan terkena dampak globalisasi. Hal ini diungkapkan Hilario G. Davide Jr. (Chief Justices of the Court of the Republic of the Philipines), “Globalisasi adalah pergerakan ekonomi dari masa depan. Dunia Global menyodorkan banyak kesempatan untuk mencapai peradilan yang independen. Dalam kalimat yang senapas, hal itu juga mengandung jebakan riil yang akan mengikis independensi peradilan itu sendiri.” Banyak negara, khususnya negara berkembang, harus menyesuaikan diri dan memperbaharui sistem peradilan mereka, karena desakan kebutuhan internasional, yakni masuknya perusahaan-perusahaan asing (multinasional). Kondisi ini ditenggarai sebagai salah satu faktor pendorong perbaikan instrumen badan peradilan di negara berkembang, termasuk di Indonesia. Gejolak moneter pada pertengahan tahun 1997 menimbulkan kesulitan besar bagi perekonomian nasional, terlebih lagi muncul kondisi sebagian pelaku usaha atau debitor tidak mampu memenuhi kewajiban pembayaran utang kepada para lembaga pembiayaan/kreditor. Hal ini merupakan akibat ekspansi usaha yang mereka lakukan. Untuk mengatasi persoalan tersebut, pada 22 April 1998 pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Nomor 1 tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Kepailitan yang kemudian disahkan menjadi Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan (selanjutnya UUK) pada 24 Juli 1998. UUK merupakan penyempurnaan dari Failissement Verordening Staatsblad tahun 1905 Nomor 217 jo. Staatsblad tahun 1906 No. 384. UUK diharapkan menjadi sarana efektif yang dapat digunakan secara cepat sebagai landasan penyelesaian utang-piutang. Salah satu soal penting setelah penyempurnaan aturan kepailitan adalah pembentukan Pengadilan Niaga sebagai pengadilan khusus dalam lingkungan Peradilan Umum. Pengadilan Niaga yang pertama dibentuk adalah Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Selanjutnya berdasarkan Keppres Nomor 97 tahun 1999, 18 Agustus 1998, didirikan Pengadilan Niaga di Makassar, Surabaya, Medan, dan Semarang. Pengadilan Niaga sangat diperlukan untuk menyelesaikan sengketa-sengketa niaga secara cepat; juga menyelesaikan aneka masalah kepailitan, seperti masalah pembuktian, verifikasi utang, actio pauliana, dan lain sebagainya. Di sinilah kadang terjadi persimpangan dengan kompetensi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam hal pemeriksaan perkara, teruama perkara-perkara yang bersifat perdata. Melalui UUK, kewenangan mutlak (kompetensi absolut) Pengadilan Umum untuk memeriksa permohonan pailit dialihkan ke Pengadilan Niaga. Belakangan ini eksistensi Pengadilan Niaga disorot kuat, antara lain karena terjadi penurunan jumlah perkara yang masuk. Penurunan ini mencemaskan, mengingat Pengadilan Niaga juga ditujukan untuk menyelesaikan masalah lain di bidang perniagaan lainnya. Artinya, sejak awal Pengadilan Niaga dirancang untuk diperluas kompetensinya. Saat ini perluasan kompetensi itu mencakup kewenangan untuk memeriksa masalah-masalah yang terkait dengan Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI), yang meliputi kewenangan memeriksa sengketa merek, paten, desain industri, dan desain tata letak sirkuit terpadu. Namun pengakuan atas keberadaan dan eksistensi Pengadilan Niaga dalam masing-masing UU tersebut belum bersifat integratif dan koordinatif. Hal ini antara lain terlihat dari pengaturan prosedur beracara, atau hukum acara perkara niaga di luar masalah kepailitan. Hukum acara yang selama ini digunakan dalam pemeriksaan perkara kepailitan di Pengadilan Niaga masih menggunakan ketentuan Herziene Indonesisch Reglement/Rechtsreglement Buitengewesten (HIR/R.BG). Suatu perkara di Pengadilan seyogianya harus mengkombinasikan tiga hal secara simultan, yaitu kepastian hukum, kemanfaatan hukum, dan keadilan hukum. Untuk itu, perluasan pengembangan Pengadilan Niaga akan mendasarkan pada ketiga poin tersebut dengan melihat dari eksistensi Pengadilan Niaga saat ini dalam kaitannya sebagai pengadilan yang memutus perkara-perkara kepailitan/Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dan HaKI. B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan tersebut diatas, maka penulis mengidentifikasi permasalahan hukum yang akan dikaji berkaitan dengan penulisan tugas dalam mata kuliah Hukum Acara Peradilan Niaga ini yaitu sebagai berikut : Bagaimanakah hukum acara dan pembuktian perkara kepailitan di Pengadilan Niaga ? Bagaimanakah hukum acara dan pembuktian perkara Hak atas Kekayaan Intelektual di Pengadilan Niaga ? BAB II HASIL KAJIAN A. Hukum Acara Dan Pembuktian Perkara Kepailitan Di Pengadilan Niaga 1. Hukum Acara Perkara Kepailitan di Pengadilan Niaga Pasal 284 UUK menyebutkan bahwa sepanjang tidak ditentukan dalam undang-undang ini, maka yang berlaku adalah hukum acara perdata (HIR/RBg). Pengaturan tentang kekhususan hukum acara Pengadilan Niaga sampai saat ini belum dilakukan secara tegas dan khusus. Hukum acara Pengadilan Niaga yang ada saat ini terpisah-pisah sesuai dengan obyek sengketa yang diajukan. Sampai saat ini, ada dua masalah dan dua UU yang mengatur tentang penunjukan Pengadilan Niaga sebagai lembaga penyelesaian sengketa, yaitu UU tentang Kepailitandan paket UU tentang HaKI. Kekhususan Pengadilan Niaga dalam perkara kepailitan adalah: 1) pengadilan ini tidak mengenal banding, sehingga jika ada pihak yang merasa tidak puas dapatmengajukan upaya hokum dengan cara kasasi ke Mahkamah Agung; 2) jangka waktu proses pendaftaran, pemeriksaan dan penjatuhan putusan pada tingkat Pengadilan Niaga diatur secara tegas, yaitu 30 hari 3) jangka waktu Kasasi di Mahkamah Agung adalah selama 34 hari. Dalam hukum acara perkara kepailitan terdapat terobosan waktu berperkara yang sangat cepat. Dari waktu yang biasanya dua sampai dengan empat tahun berperkara melalui Pengadilan Negeri (dari gugatan di Pengadilan Negeri sampai dengan upaya khusus Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung), turun drastis menjadi 154 hari. Dengan perincian; maksimal waktu 30 hari untuk memutuskan ermohonan kepailitan di tingkat Pengadilan Niaga; maksimal waktu 30 hari untuk memutuskan permohonan Kasasi di tingkat Kasasi; dan maksimal 30 hari untuk memutuskan permohonan upaya hukum khusus Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung. Selebihnya adalah perhitungan waktu pendaftaran permohonan Kasasi dan Peninjauan Kembali. Namun dalam beberapa kasus, para hakim niaga, khususnya majelis hakim tingkat Mahkamah Agung tampaknya kurang memperhatikan jangka waktu tersebut, seperti dalam beberapa putusan, majelis hakim kasasi ataupun Peninjauan Kembali memberikan putusan pailit melebihi jangka waktu yang telah ditetapkan, tanpa akibat hukum apapun. Contohnya adalah kasus Bank Niaga Tbk. Cs lawan Dharmala Agrifood Tbk. No. 7/K/N/1998. Dalam perkara ini Majelis Hakim Kasasi memutuskan permohonan kasasi tersebut dalam waktu 40 hari. Jawaban majelis hakim terhadap keberatan yang diajukan pemohon kasasi terhadap ketidakdisiplinan waktu tersebut adalah: “Bahwa keberatan ini tidak dapat dibenarkan karena tidak ada sanksi hukum yang menentukan bahwa putusan menjadi tidak sah, batal atau dapat dibatalkan apabila putusan kasasi diucapkan melampaui jangka waktu 30 hari…” Tentu saja ketidakpatuhan terhadap ketentuan tersebut yang esungguhnya diperintahkan UUK terhadap status pailit suatu debitor yang berupa Perseroan Terbatas akan mempengaruhi perdagangan sahamnya di Bursa Efek, baik Bursa Efek Jakarta maupun Surabaya. Sebab, saham perusahaan debitor yang dipailitkan tersebut, sampai saat jatuhnya putusan masih diperdagangkan di kedua Bursa Efek tersebut. Dapat dikatakan bahwa sebagian besar isi UUK adalah khusus mengenai hokum acara Kepailitan. Untuk itu, perlu kejelasan mengenai ketentuan-ketentuan Hukum Acara tersebut, apakah harus diatur tersendiri, ataukah Bab ketiga tentang Pengadilan Niaga harus dikeluarkan dari sistematika UUK. Hal ini berkaitan erat dengan amanat perluasan kompetensi Pengadilan Niaga sebagaimana tercantum dalam pasal 280 ayat 2 UUK. 2. Pembuktian untuk Perkara Kepailitan di Pengadilan Niaga Lebih cepatnya waktu pemeriksaan perkara di Pengadilan Niaga antara lain dipengaruhi oleh sistem pembuktian yang dianut, yaitu bersifat sederhana. Untuk membuktikan adanya utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih Pengadilan Niaga mendasarkan pada ketentuan pasal 1 ayat 1 UUK, yang menyatakan bahwa debitor dapat dinyatakan pailit apabila telah terbukti bahwa debitor tersebut mempunyai paling tidak satu kreditor yang tagihannya telah jatuh tempo dan dapat ditagih, juga mempunyai minimal satu kreditor lainnya. Sifat pembuktian yang sederhana dapat digunakan hakim niaga sebagai alas an untuk menolak permohonan pailit yang diajukan kepadanya. Hakim dapat menyatakan bahwa perkara yang diajukan itu adalah perkara perdata biasa. Jika suatu perkara dikategorikan hakim niaga sebagai perkara yang pembuktiannya berbelit-belit, maka hakim dapat menyatakan bahwa kasus itu bukan kewenangan Pengadilan Niaga, melainkan Pengadilan Perdata. Sistem pembuktian yang sederhana pada perkara kepailitan dirasakan tidak dapat diterapkan pada Pengadilan Niaga yang memeriksa sengketa HaKI, sehingga jangka waktunya diperpanjang. Namun dalam kenyataannya, untuk beberapa kasus perkara kepailitan yang diajukan ke Pengadilan Niaga, pembuktiannya pun tidak sesederhana seperti yang seharusnya. Pada perkara kepailitan, yang dibuktikan hanyalah kebenaran tentang ada atau tidaknya suatu “utang” yang dapat dijadikan dasar untuk mengabulkan atau menolak permohonan pailit yang diajukan ke Pengadilan Niaga. Pada praktiknya, kebenaran yang akan dibuktikan pada beberapa kasus kepailitan adalah kebenaran tentang hubungan hukum yang menyebabkan terjadinya permasalahan hukum yang perlu diselesaikan secara adil, bukan untuk dipailitkan. B. Pengadilan Niaga Sebagai Penyelesai Sengketa Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) 1. Hukum Acara untuk Perkara HaKI di Pengadilan Niaga Sejauh ini perluasan kewenangan Pengadilan Niaga baru menyentuh masalah HaKI. Soal HaKI memang sangat diperhatikan pemerintah dan pihak asing/luar negeri. HaKI merupakan hak yang dihasilkan dari kegiatan pikiran manusia di bidang industri, ilmu pengetahuan, kesusasteraan atau seni. Beberapa Undang-undang mengenai HaKI telah dibuat. Tahun 2000 diundangkan UU No. 31 tahun 2000 mengenai Desain Industri, dan UU No 32 tahun 2000 mengenai Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, yang mengalokasikan sebagian proses beracara kepada Pengadilan Niaga. Sebelumnya, masalah paten, merek dan hak cipta diurus Pengadilan Negeri. Namun UU No. 14 tahun 2001 mengenai Paten dan UU No. 15 Tahun 2001 mengenai Merek, serta UU No. 19 Tahun 2002 mengenai Hak Cipta menyatakan bahwa penyelesaian HaKI dilakukan oleh Pengadilan Niaga. Hukum acara dalam perkara gugatan HaKI di Pengadilan Niaga secara umum adalah sebagai berikut : Gugatan pembatalan pendaftaran haki diajukan kepada Ketua Pengadilan Niaga dalam wilayah hukum tempat tinggal tergugat; Dalam hal tergugat bertempat tinggal di luar wilayah Indonesia, gugatan diajukan kepada Pengadilan Negeri/Niaga Jakarta Pusat; Panitera mendaftarkan gugatan pembatalan pada tanggal gugatan yang bersangkutan diajukan dan kepada penggugat diberikan tanda terima tertulis yang ditandatangani panitera dengan tanggal yang sama dengan tanggal pendaftaran gugatan; Panitera menyampaikan gugatan pembatalan kepada Ketua Pengadilan Niaga dalam jangka waktu paling lama dua hari sejak gugatan didaftarkan; Dalam waktu paling lama tiga hari terhitung mulai tanggal gugatan pembatalan didaftarkan, Pengadilan Niaga mempelajari gugatan dan menetapkan hari sidang; sedangkan untuk perkara paten, Pengadilan Niaga menetapkan hari sidang paling lama 14 hari setelah pendaftaran gugatan; Pemanggilan para pihak yang bersengketa dilakukan juru sita paling lama tujuh hari setelah gugatan didaftarkan; Sidang pemeriksaan atas gugatan pembatalan diselenggarakan dalam jangka waktu paling lama 60 hari setelah gugatan didaftarkan; Putusan atas gugatan pembatalan harus diucapkan paling lama 90 hari setelah gugatan pendaftaran dan dapat diperpanjang paling lama 30 hari atas persetujuan Ketua Mahkamah Agung. Sedang gugatan di bidang paten harus diucapkan paling lama 180 hari terhitung setelah tanggal gugatan didaftarkan; Putusan atas gugatan pembatalan harus memuat secara lengkap pertimbangan hukum yang mendasari putusan tersebut dan harus diucapkan pada sidang terbuka untuk umum. Putusan dapat dijalankan terlebih dahulu, meskipun terhadap putusan tersebut diajukan suatu upaya hukum, kecuali dalam sengketa paten; Putusan Pengadilan Niaga wajib disampaikan oleh juru sita kepada para pihak paling lama 14 hari setelah gugatan pembatalan diucapkan; Terhadap putusan Pengadilan Niaga hanya dapat diajukan kasasi; Khusus mengenai paten, kewajiban pembuktian terhadap pelanggaran atas paten proses sebagaimana dimaksud dibebankan kepada tergugat. Dalam paket UU HaKI tersebut terlihat perubahan hukum acara menjadi prosedur yang sederhana, sehingga tidak memakan waktu yang lama dibanding proses pengadilan umum. Prosedur banding dihilangkan. Upaya hukum yang diperbolehkan hanya kasasi, dan ada kerangka waktu (time frame) terhadap prosedur putusan perkara. Yang menarik, perubahan ini juga dibarengi pembentukan prosedur yang bersifat lex spesialis dari prosedur perdata biasa, maupun prosedur Pengadilan Niaga pada proses kepailitan. UU HaKI mempreskripsikan suatu prosedur beracara sendiri, tanpa mengatur prosedur untuk merujuk kembali pada Hukum Acara Perdata biasa. Hal ini tentu dapat menimbulkan kesulitan, terutama apabila ternyata UU tersebut tidak mengatur hal-hal yang mungkin saja terjadi dalam praktik persidangan. 2. Pembuktian untuk Perkara HaKI di Pengadilan Niaga Kini terdapat lima UU HaKI yang mengatur gugatan pembatalan pendaftaran yang harus diajukan kepada Ketua Pengadilan Niaga dalam wilayah hukum tempat tinggal tergugat. Namun dalam lima UU tersebut, tidak ada satu pasalpun yang mengatur pembuktian seperti yang terdapat pada HIR dan RBg. Dalam hukum acara tertulis, setelah replik dan duplik diterima, hendaknya majelis hakim mempertimbangkan untuk menerima atau tidak gugatan tersebut, kemudian mengeluarkan putusan akhir. Namun apabila masih belum jelas dan perlu ada pembuktian, maka para pihak yang bersengketa diberi kesempatan untuk mengajukan alat bukti. Dalam penyelesaian perkara HaKI di Pengadilan Niaga, peraturan-peraturan tersebut tidak berlaku. Hal ini mengakibatkan timbulnya ketidakjelasan, sehubungan dengan adanya bukti yang berbentuk faksimile, mikro film, internet, multi media lain dan sebagainya. Penetapan sementara merupakan mekanisme baru dalam paket UU HaKI, sebagai pelaksanaan dari Article Trade Related Intelectual Property TRIPs), yang dikenal dengan istilah “injunction”. Sebagai contoh, jika ada pihak yang merasa Hak Desain Industrinya dilanggar, maka sebelum perkaranya disidangkan di pengadilan, yang bersangkutan dapat meminta hakim melarang barang yang dianggap mengandung unsure pelanggaran tersebut memasuki pasar. Dalam hal ini, hakim dalam waktu 30 hari harus mengambil keputusan, apakah telah terjadi pelanggaran hak atau tidak. Kalau hakim berpendapat telah terjadi pelanggaran hak, maka hakim menetapkan larangan terhadap barang tersebut untuk memasuki pasar. Sebaliknya, atas permintaan penetapan sementara yang ternyata tidak terbukti terjadi pelanggaran hak, pihak yang merasa dirugikan dapat menuntut ganti rugi. Namun ketentuan tentang penetapan sementara ini tidak mengatur upaya hokum yang dapat dilakukan oleh pihak yang terkena tindakan penetapan sementara. Pasal 126 Undang-undang Paten No. 14 Tahun 2001 menyebutkan bahwa: “Dalam hal penetapan sementara tersebut telah dilakukan, para pihak harus segera diberi tahu mengenai hal itu, termasuk mengenai hak untuk didengar bagi pihak yang dikenai penetapan sementara tersebut”. Sebenarnya keterangan yang diberikan oleh pihak yang terkena tindakan penetapan sementara sebagaimana tersebut di atas dapat diartikan pula bahwa pihak tersebut diberi kesempatan untuk mengajukan bantahan (verzet) terhadap penetapan sementara dimaksud. Berkenaan dengan ketentuan tersebut, maka dalam hal penetapan sementara dibatalkan, termohon dapat menuntut ganti rugi kepada pihak yang meminta penetapan sementara tersebut. Dengan mengacu pada ketentuan tersebut, maka menunjukkan bahwa proses bantahan atau perlawanan (verzet) secara implisit diatur pula di dalam ketentuan Undang-undang HaKI. BAB III PENUTUP Penurunan jumlah perkara yang masuk ke Pengadilan Niaga dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain faktor ekonomi, sosial dan yuridis. Dari aspek ekonomi, para pelaku ekonomi telah menyadari bahwa belum saatnya memohon kepailitan, karena pada saat yang bersamaan daya beli masyarakat (market price) masih rendah. Masyarakat masih kesulitan membeli aset perusahaan pailit yang dilelang. Sedangkan dari aspek sosial beberapa kreditor bersikap hati-hati menghadapi dampak sosial kepailitan yang dapat menimbulkan pengangguran massal. Sementara itu dari aspek yuridis penanganan sengketa kepailitan terkesan masih lamban dan sulit diperkirakan. Sementara pada saat yang bersamaan terdapat sarana/lembaga public lainnya yang dapat menangani asset recovery akibat wanprestasi tersebut (misal: PUPN, BPPN, Jakarta Initiative). Dengan kata lain, dari segi yuridis, penurunan jumlah perkara yang masuk ke Pengadilan Niaga disebabkan oleh ketidakpuasan para pencari keadilan akan kinerja lembaga tersebut. Menurut survei yang dilakukan tim peneliti, kemungkinan terbesar yang penyebabkan turunnya jumlah perkara yang ditangani Pengadilan Niaga adalah ketidakpuasan terhadap hasil putusan dan adanya hasil putusan yang tidak mencerminkan asas keadilan. Kemungkinan terkecil adalah akan dipilihnya Pengadilan Negeri sebagai pengganti Pengadilan Niaga. Kemungkinan yang terakhir ini kecil karena perkara kepailitan dan HaKI merupakan wewenang penuh Pengadilan Niaga. Selain itu masih ada ketidakpercayaan yang cukup besar dari responden terhadap kinerja Pengadilan Negeri. Sumber: Diolah dari hasil survey penelitian mengenai pengadilan niaga, kerjasama Komisi Hukum Nasional dan Universitas Andalas, Tahun 2002 Terlepas dari masalah di atas, Pengadilan Niaga telah berhasil melaksanakan terobosan waktu penyelesaian perkara. Perubahan besar dalam asas kecepatan penanganan perkara, yang didukung oleh transparansi penggunaan waktu yang sangat ketat, menunjukkan bahwa Pengadilan Indonesia telah berhasil melakukan perubahan ke arah yang lebih baik. • o beberapa Cara Penyelesaian Sengketa Perburuhan Pendahuluan Sejalan dengan perkembangan zama era globalisasi sudah barang tentu tuntutan perkembangan penyelesaian sengketa perburuhan juga memerlukan payung dalam berbagai produk perundang-undangan yang dapat mengantisifasinya. Sebelum Reformasi dalam pembaharuan perundang-undangan perburuhan dan ketenaga kerjaan masalah penyelesaian sengketa buruh masih memakai undang-undang lama antara lain : Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 lembaran Negara No.42 Tahun 1957 tentang penyelesaian perselisihan perburuhan. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964 Lembaga Negara No.93 Tahun 1964 tentang pemutusan hubungan kerja di perusahaan swasta. Didalam kedua produk Perundang-undangan ini memberikan jalan penyelesaian sengketa buruh lebih di titik beratkan pada musyawarah mufakat antara buruh dan majikan melalui Lembaga Bepartie, dan bila tidak terselesaikan dapat dilanjutkan ke Lembaga Tripartie, dan seterusnya dapat dilanjutkan ke Pengadilan P4D dan P4P. Akan tetapi pada zaman sekarang ini dimana semakin kompleksnya permasalahan perburuhan Undang-undang lama tersebut tidak dapat lagi memberikan jalan keluar dalam menyelesaikan sengketa perburuhan, sehingga di undangkanlah Undang-undang lain seperti Undang-undang Hak Azasi Manusia Nomor 39 Tahun 1999, Undang-undang Serikat Pekerja Nomor 21 Tahun 2000, dan Undang-undang penyelesaian perselisihan Industrial Nomor 2 Tahun 2004. Penyelesaian Sengketa Buruh Melalui Komisi Nasional Hak Azasi Manusia Undang-undang Hak Azasi Manusia Nomor 39 Tahun 1999 memberi peluang bagi Buruh dan Tenaga Kerja dalam menyelesaikan sengketa buruh. Walaupun banyak kaum awam belum paham tentang tata cara penyelesaian sengketa Buruh melalui Komisi Nasional Hak Azasi Manusia, Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 memberi peluang sengketa buruh dapat diselesaikan melalui Komisi Hak Azasi Manusia. Pada pasal 89 ayat 3 sub h, dikemukakan Komnas HAM dapat menyelesaikan dan memberi pendapat atas sengketa publik, baik terhadap perkara buruh yang sudah disidangkan maupun yang belum disidangkan. Penjelasan Undang-undang tersebut mengatakan sengketa publik yang dimaksud di dalam Undang-undang Hak Azasi Manusia tersebut termasuk 3 (tiga) golongan sengketa besar, antara lain sengketa pertanahan, sengketa ketenaga kerjaan dan sengketa lingkungan hidup. Sengketa ketenaga kerjaan tergolong sengketa publik dapat mengganggu ketertiban umum dan stabilitas Nasional, maka peluang pengaduan pelanggaran Hak-hak Buruh tersebut dapat disalurkan ke Komisi Nasional Hak Azasi Manusia sesuai dengan isi Pasal 90 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 yang berbunyi pada ayat 1 “ Setiap orang atau kelompok orang yang memiliki alasan kuat bahwa Hak Azasinya telah dilanggar dapat memajukan laporan dan pengaduan lisan atau tertulis pada Komisi Nasional Hak Azasi Manusia”. Kemudian dikuatkan lagi dalam Bab VIII Pasal 101 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tersebut Lembaga Komnas HAM dapat menampung seluruh laporan masyarakat tentang terjadinya pelanggaran Hak Azasi Manusia. Penyelesaian Sengketa Buruh Di Luar Pengadilan Penyelesaian perselisihan Hubungan Industrial dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial memungkinkan penyelesaian sengketa buruh/Tenaga Kerja diluar pengadilan. Penyelesaian Melalui Bipartie Pasal 6 dan Pasal 7 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial memberi jalan penyelesaian sengketa Buruh dan Tenaga Kerja berdasarkan musyawarah mufakat dengan mengadakan azas kekeluargaan antara buruh dan majikan. Bila terdapat kesepakatan antara buruh dan majikan atau antara serikat pekerja dengan majikan, maka dapat dituangkan dalam perjanjian kesepakatan kedua belah pihak yang disebut dengan perjanjian bersama. Dalam perjanjian bersama atau kesepakatan tersebut harus ditandatagani kedua belah pihak sebagai dokumen bersama dan merupakan perjanjian perdamaian. Penyelesaian Melalui Mediasi Pemerintah dapat mengangkat seorang Mediator yang bertugas melakukan Mediasi atau Juru Damai yang dapat menjadi penengah dalam menyelesaikan sengketa antara Buruh dan Majikan. Seorang Mediator yang diangkat tersebut mempunyai syarat-syarat sebagaimana dituangkan dalam Pasal 9 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dan minimal berpendidikan S-1. Dalam waktu 7 (tujuh) hari setiap menerima pengaduan si Buruh, Mediator telah mengadakan duduk perkara sengketa yang akan diadakan dalam pertemuan Mediasi antara para pihak tersebut. Pengangkatan dan akomodasi mediator ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja. Bila telah tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan melalui Mediator tersebut dibuatkan perjanjian bersama yang ditandatangani para pihak dan mediator tersebut, kemudian perjanjian tersebut didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat. Penyelesaian Melalui Konsiliasi Penyelesaian melalui Konsiliator yaitu pejabat Konsiliasi yang diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Tenaga Kerja berdasarkan saran organisasi serikat pekerja atau Serikat Buruh. Segala persyaratan menjadi pejabat Konsiliator tersebut didalam pasal 19 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Dimana tugas terpenting dari Kosiliator adalah memangil para saksi atau para pihak terkait dalam tempo selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak menerima penyelesaian Konsiliator tersebut. Pejabat Konsiliator dapat memanggil para pihak yang bersengketa dan membuat perjanjian bersama apabila kesepakatan telah tercapai. Pendaftaran perjanjian bersama yang diprakarsai oleh Konsiliator tersebut dapat didaftarkan didepan pengadilan Negeri setempat. Demikian juga eksekusinya dapat dijalankan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat tesebut. Penyelesaian Melalui Arbitrase Undang-undang dapat menyelesaikan perselisihan melalui arbitrase meliputi perselisihan kepentingan dan perselisihan antar Serikat Pekerja dan Majikan didalam suatu perusahaan. Untuk ditetapkan sebagai seorang Arbiter sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) berbunyi : Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa Cakap melakukan tindakan hukum Warga negara Indonesia Berumur sekurang-kurangnya 45 (empat puluh lima) tahun Pendidikan sekurang-kurangnya Starata Satu (S-1) Berbadan sehat sesuai dengan surat keterangan dokter Menguasai peraturan perundang-undangan dibidang ketenaga kerjaan yang dibuktikan dengan sertifikat atau bukti kelulusan telah mengikuti ujian arbitrase dan Memiliki pengalaman dibidang hubungan industrial sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun. Pengangkatan arbiter berdasarkan keputusan Menteri Ketenagakerjaan. Para pihak yang bersengketa dapat memilih Arbiter yang mereka sukai seperti yang ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja. Putusan Arbiter yang menimbulkan keraguan dapat dimajukan tuntutan ingkar kepada Pengadilan Negeri setempat dengan mencantumkan alasan-alasan otentik yang menimbulkan keraguan tersebut. Putusan Pengadilan Negeri dalam Pasal 38 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, dapat membuat putusan mengenai alasan ingkar dan dimana tidak dapat diajukan perlawanan lagi. Bila tercapai perdamaian, maka menurut isi Pasal 44 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, seorang arbiter harus membuat Akte Perdamaian yang ditandatangani oleh kedua belah pihak dengan disaksikan seorang Arbiter atau Majelis Arbiter. Penetapan Akte Perdamaian tersebut didaftarkan dimuka pengadilan, dan dapat pula di exekusi oleh Pengadilan atau putusan tersebut, sebagaimana lazimnya. Putusan Kesepakatan Arbiter tersebut dibuat rangkap 3 (tiga) dan diberikan kepada masing-masing pihak satu rangkap, serta didaftarkan didepan Pengadilan Hubungan Industrial terhadap putusan tersebut yang telah berkekuatan hukum tidak dapat dimajukan lagi atau sengketa yang sama tersebut tidak dapat dimajukan lagi ke Pengadilan Hubungan Industrial. Penyelesaian Perselisihan Melalui Pengadilan Sebelum keluarnya Undang-undang Hubungan Industrial penyelesaian sengketa perburuhan diatur didalam Undang-undang Nomor 22 tahun 1957 melalui peradilan P4D dan P4P. Untuk mengantisipasi penyelesaian dan penyaluran sengketa Buruh dan Tenaga Kerja sejalan dengan tuntutan kemajuan zaman dibuat dan di undangkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial sebagai wadah peradilan Hubungan Industrial disamping peradilan umum. Dalam Pasal 56 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial mengatakan Pengadilan hubungan industrial bertugas dan berwenang memeriksa dan memutuskan : Di tingkat pertama mengenai perselisihan hak Di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan Di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja Di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan. Adapun susunan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri terdiri dari : Hakim Hakim ad Hoc Panitera Muda, dan Panitera Pengganti. Untuk Pengadilan Kasasi di Mahkamah Agung terdiri dari : Hakim Agung Hakim ad Hoc pada Mahkamah Agung ; dan Panitera Syarat-syarat untuk dapat diangkat menjadi Hakim Ad Hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial dan Hakim Ad Hoc pada Mahkamah Agung RI harus mempunyai syarat-syarat sebagai berikut : Warga negara Indonesia Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa Setia kepada Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun Berbadan sehat sesuai dengan keterangan dokter Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela Berpendidikan serendah-rendahnya Starata Satu (S-1) kecuali bagi Hakim Ad Hoc pada Mahkamah Agung, syarat pendidikan Sarjana Hukum, dan Berpengalaman dibidang hubungan industrial minimal 5 (lima) tahun. Pengangkatan dan penunjukan Hakim Ad Hoc tersebut pad pengadilan Hubungan Industrial berdasarkan SK. Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia. Sebelum memangku jabatan Hakim Ad Hoc wajib disumpah atau memberikan janji menurut agama dan kepercayaannya masing-masing serta Hakim Ad Hoc tersebut tidak boleh merangkap Jabatan sebagaimana dituangkan dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Hukum acara yang dipakai untuk mengadili sengketa perburuan tersebut adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku dilingkungan Pengadilan Umum, kecuali di atur secara khusus oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial serta menuggu keputusan Presiden untuk menentukan Tata Cara pengangkatan Hakim Ad Hoc Ketenaga Kerjaan. Sebelum Undang-Undang ini berlaku secara effektif didalam masyarakat dalam penyelesaian pemutusan Hubungan Kerja masih memakai KEP/MEN/150 Tahun 2000 dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, tentang Undang-Undang Ketenagakerjaan . DAFTAR PUSTAKA Lalu Husni SH.M.Hum. Penyelesaian Perselisian Hubungan Industrial Melalui Pengadilan dan Diluar Pengadilan, Penerbit PT. Raja Grafindo Parsada, Jakarta 2004. —————- Undang-undang Pengadilan Hak Azasi Manusia, 2000 dan Undang-undang HAM 1999, Penerbit Citra Umbara, Bandung, 2001. —————- Depnaker RI, Undang-undang No.2 Tahun 2004 Tentang Perselisihan Hubungan Industrial, Penerbit Dewan Pimpinan Pusat Konfidrasi SPSI dan Depnaker, 2004. —————- Undang-undang RI No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Beserta penjelasannya, Penerbit Citra Umbara, Bandung, 2004. —————- Komisi Nasional Hak Azasi Manusia, Jurnal HAM Vol.1 No.1, Oktober 2003, Penerbit Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2003. • o Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Indonesia Abstrak Konflik, sengketa, pelanggaran atau pertikaian antara atau terkait dua individu atau lebih dewasa ini telah dan akan terus menjadi fenomena biasa dalam masyarakat. Situasi itu akan semakin merepotkan dunia hukum dan peradilan apabila semua konflik, sengketa atau pertikaian itu diproses secara hukum oleh peradilan. Dalam kaitan itu diperlukan mekanisme penyelesaian sengketa alternatif atau alternative dispute resolution yang tidak membuat masyarakat tergantung pada dunia hukum yang terbatas kapasitasnya, namun tetap dapat menghadirkan rasa keadilan dan penyelesaian masalah. Mekanisme tersebut sebenarnya telah memiliki dasar hukum dan telah memiliki preseden serta pernah dipraktikkan di Indonesia walau jarang disadari. Mekanisme tersebut juga memiliki potensi untuk semakin dikembangkan di Indonesia. Pendahuluan Saat membicarakan hukum dan institusi negara yang melaksanakan hukum, maka kita kerap mengaitkannya dengan wacana tentang “keadilan formal” (formal justice) yang dijalankan dan dihasilkan oleh hukum maupun proses hukum yang juga formal. Mengapa dikatakan “formal”, mengingat proses hukum yang dilaksanakan oleh institusi negara di bidang hukum itu didasarkan pada hukum yang tertulis dan terkodifikasikan, dilakukan oleh aparat resmi negara yang diberi kewenangan, serta membutuhkan proses beracara yang juga standar dan mengabadi. Namun demikian, wajah lain dari hukum dan proses hukum yang formal tadi adalah terdapatnya fakta bahwa keadilan formal tadi, sekurang-kurangnya di Indonesia, ternyata mahal, berkepanjangan, melelahkan, tidak menyelesaikan masalah dan, yang lebih parah lagi, penuh dengan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme. Salahsatu dari berbagai masalah yang menjadikan bentuk keadilan ini terlihat problematik adalah, mengingat terdapatnya dan dilakukannya satu proses yang sama bagi semua jenis masalah (one for all mechanism). Inilah yang mengakibatkan mulai berpalingnya banyak pihak guna mencari alternatif penyelesaian atas masalahnya. Bila dikaitkan dengan cita-cita mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia guna membentuk Negara Hukum (recht staat), dan bukan Negara Kekuasaan (macht staat), maka salahsatu indikator capaiannya adalah terbentuknya kondisi dan kemampuan warga negara atau masyarakat untuk patuh hukum (citizen who abides the law), atau bahkan masyarakat yang patuh hukum (law abiding citizen). Dalam situasi tersebut, proses penegakan hukum tidak seyogyanya sepenuhnya atau selamanya dilakukan dengan mempergunakan metode keadilan formal, yang salahsatunya berupa tindakan kepolisian represif dan dilanjutkan dengan proses hukum litigatif (law enforcement process). Sebagaimana disadari, tindakan formal litigatif tersebut banyak bergantung pada upaya paksa dan kewenangan petugas hukum yang melakukannya. Selanjutnya, kalaupun muncul suatu hasil, maka umumnya akan berakhir dengan situasi “kalah-kalah” (lost-lost) atau “menang-kalah” (win-lost)[1]. Memang, tidak terlalu tepat untuk mengatakan yang sebaliknya, bahwa dalam suatu negara kekuasaan atau macht staat tadi, yang cenderung dilakukan adalah proses penegakan hukum formal via litigasi. Dalam kenyataannya, di negara-negara seperti itu, kalaupun dilakukan suatu proses penegakan hukum terhadap suatu perbuatan melanggar hukum, yang sering terjadi adalah suatu formalitas hukum atau bahkan pengenyampingan hukum sama sekali. Adalah kooptasi besar-besaran pada elemen-elemen negara bidang hukum itulah (contoh terjelas adalah terhadap peradilan), sehingga mampu menghasilkan putusan yang tidak hanya bias dan diskriminatif tetapi justru malah tidak adil[2]. Dalam konteks kehadiran masyarakat yang mau untuk patuh pada hukum ataupun yang telah patuh hukum dalam suatu negara kesatuan tersebut, maka semangat yang muncul dewasa ini adalah juga semangat pengenyampingan untuk tidak mempergunakan proses penegakan hukum via litigasi tersebut. Namun bedanya adalah, dalam konteks ini, pengenyampingan dilakukan guna mencapai suatu situasi “menang-menang” (win-win) antara pihak-pihak terkait, yang diperkirakan juga akan lebih menyembuhkan (healing) terkait para pihak yang terlibat (khususnya korban), serta lebih resolutif (sebagai suatu kata bentukan “re-solusi” yang dapat diartikan sebagai “tercapainya kembali solusi yang sebelumnya tidak lagi diperoleh”). Minimal, pengakhiran konflik atau sengketa bisa dilakukan tanpa ada pihak yang kehilangan muka atau elegant solution[3]. Alternatif terkait pengenyampingan tersebut adalah, bahwa diperkirakan akan lebih tepat apabila dalam kondisi, alasan dan atau perbuatan tertentu, bisa dilakukan mekanisme penyelesaian sengketa alternatif atau alternative dispute resolutions (selanjutnya disebut dengan ADR). Makalah ini untuk selanjutnya menguraikan pertama-tama tentang mekanisme penyelesaian sengketa alternatif itu sendiri sebagai suatu kajian yang telah berkembang, dilanjutkan dengan pembahasan tentang posisinya dalam sistem hukum Indonesia dan potensi pengembangan masa depan. Dalam sub Penutup, akan diajukan sejumlah rekomendasi terkait aplikasinya di Indonesia. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Alternatif Yang pertama-tama perlu ditekankan adalah bahwa istilah “penyelesaian diluar pengadilan” tidak sama dengan istilah ADR, meskipun terdapat kesamaan dimana suatu perkara pelanggaran pidana tidak diajukan ke pengadilan.[4] Apabila ADR merupakan lembaga yang diakui secara hukum sebagai lembaga penyelesai perkara yang sah dan diatur dalam peraturan perundang-undangan melalui mekanisme mediasi, arbitrase, negosiasi atau rekonsiliasi, tidak demikian halnya dengan penyelesaian perkara di luar pengadilan. Untuk yang kedua ini, umumnya dikenal sebagai kebijakan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum yang memiliki wewenang untuk melakukan beberapa hal sebagai berikut: sebagai penentu keluaran akhir dari suatu kasus sengketa, konflik, pertikaian atau pelanggaran, namun juga memiliki wewenang melakukan diskresi/pengenyampingan perkara pidana yang dilakukan oleh pihak tertentu, sekaligus (tidak dalam semua hal) dilanjutkan dengan permintaan kepada pelaku/pelanggar agar mengakomodasi kerugian korban. Istilah umum yang populer adalah dilakukannya “perdamaian” dalam perkara pelanggaran hukum pidana. Keuntungan utama dari penggunaan ADR dalam menyelesaikan kasus-kasus pidana adalah bahwa pilihan penyelesaian pada umumnya diserahkan kepada pihak pelaku dan korban. Keuntungan lain yang juga amat menonjol adalah biaya yang murah. Sebagai suatu bentuk pengganti sanksi, pihak pelaku dapat menawarkan kompensasi yang dirundingkan/disepakati dengan pihak korban. Dengan demikian, keadilan menjadi buah dari kesepakatan bersama antar para pihak sendiri, yaitu pihak korban dan pelaku, bukan berdasarkan kalkulasi jaksa dan putusan hakim. Sebelumnya perlu dikemukakan beberapa alasan bagi dilakukannya penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan pidana sebagai berikut[5]: Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori delik aduan, baik aduan yang bersifat absolut maupun aduan yang bersifat relatif Pelanggaran hukum pidana tersebut memiliki pidana denda sebagai ancaman pidana dan pelanggar telah membayar denda tersebut (Pasal 80 KUHP) Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori “pelanggaran”, bukan “kejahatan”, yang hanya diancam dengan pidana denda 4. pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk tindak pidana di bidang hukum administrasi yang menempatkan sanksi pidana sebagai ultimum remedium Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori ringan/serba ringan dan aparat penegak hukum menggunakan wewenangnya untuk melakukan diskresi Pelanggaran hukum pidana biasa yang dihentikan atau tidak diproses ke pengadilan (deponir) oleh Jaksa Agung sesuai dengan wewenang hukum yang dimilikinya Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori pelanggaran hukum pidana adat yang diselesaikan melalui lembaga adat Sedangkan kelemahan dari penggunaan sistem ini adalah, dapatnya menjadi sumber penyalahgunaan wewenang dari para penegak hukum, khususnya apabila diskresi dibelokkan menjadi ”komoditi”. Ketidakmauan menghukum juga dapat dipersepsi sebagai melunaknya hukum dimata para pelaku kejahatan atau pelanggar aturan. Terakhir, juga tidak semua kalangan setuju bahwa ADR dalam konteks pidana pada dasarnya sederajat atau ekuivalen satu sama lain. Salahsatu persoalan penting yang menjadi pertanyaan adalah, bagimana hubungan antara ADR dan Restorative Justice (selanjutnya disebut dengan RJ). RJ merupakan salahsatu model ADR dimana lebih ditujukan pada kejahatan terhadap sesama individu/ anggota masyarakat daripada kejahatan terhadap negara. Dalam RJ, pihak-pihak yang terlibat lebih diutamakan untuk menyelesaikan masalahnya bukan semata-mata melalui penyelesaian hukum, tetapi memberikan kesempatan kepada para pihak yang terlibat untuk menentukan solusi, membangun rekonsiliasi demikian pula membangun hubungan yang baik antara korban dan pelaku. Hubungan baik ini berguna untuk, salahsatunya, menekan residivisme[6]. Dalam hal ini, korban memainkan peran yang utama dalam proses penyelesaian masalah dan dapat mengajukan tuntutan sebagai kompensasi kepada pelaku[7]. Singkatnya, RJ menekankan pendekatan yang seimbang antara kepentingan pelaku, korban dan masyarakat dimana terdapat tanggungjawab bersama antar para pihak dalam membangun kembali sistem sosial di masyarakat. Posisi Dalam Sistem Hukum Pemerintah, khususnya melalui Presiden Megawati Soekarnoputri, menurut Gayus Lumbuun, sesungguhnya telah memperkenalkan ADR dalam sistem hukum pidana, yakni melalui Inpres No. 8 Tahun 2002 tentang pemberian Jaminan Kepastian Hukum kepada Debitur yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya atau Tindakan Hukum kepada Debitur yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham. Inpres ini ditujukan kepada beberapa menteri/kepala lembaga pemerintahan, antara lain Menteri Kehakiman dan HAM, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional[8]. Dalam diktum pertama angka 4 Inpres No. 8 Tahun 2002 tersebut dinyatakan bahwa, “dalam hal pemberian kepastian hukum sebagaimana dimaksud dalam angka 1 menyangkut pembebasan debitur dari aspek pidana yang terkait langsung dengan program Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham, yang masih dalam tahap penyelidikan, penyidikan dan/atau penuntutan oleh instansi penegak hukum, maka sekaligus juga dilakukan dengan proses penghentian penanganan aspek pidananya, yang pelaksanaannya tetap dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Masih menurut Gayus Lumbuun, sebagai suatu kebijakan, maka kelemahan dari kebijakan release and discharge (R &D) ini terlihat dari kurang kuatnya landasan hukum pelaksanaan R & D itu sendiri. Seharusnya, kebijakan R & D dituangkan dalam undang-undang dan diatur secara komprehensif menjadi suatu bentuk alternatif penyelesaian perkara-perkara non-pidana. Betapapun demikian, secara substantif, konsep R & D merupakan langkah maju dalam sistem hukum pidana yang mengarah kepada alternative dispute resolution system. Terkait dengan kepolisian, sebagai elemen awal dalam sistem peradilan pidana Indonesia, maka dapat disebutkan bahwa dalam Naskah Akademis mengenai Court Dispute Resolution dari Mahkamah Agung Republik Indonesia pada tahun 2003, dalam salahsatu kesimpulan terakhirnya antara lain disebutkan bahwa mediasi, sebagai salahsatu bentuk ADR, seyogyanya bersifat wajib untuk perkara kecil baik perdata maupun pidana. Itulah yang menjadikan penanganan masalah secara alternatif ini relevan untuk dikaitkan dengan proses penegakan hukum Polri, khususnya menyangkut perkara pidana yang ringan. Hal ini penting untuk ditekankan mengingat konstruksi hukum pidana Indonesia sebenarnya tidak mengenal model penyelesaian perkara pidana melalui ADR. Sebagaimana dapat terlihat, dalam hal perkara perselisihan yang termasuk bidang hukum non-hukum pidana sekalipun, model ADR ditempatkan sebagai alternatif terakhir. Selanjutnya, di tingkat peradilan, ADR tidak terlepas dari pasal 130 HIR/154 Rbg yang memberi dasar hukum adanya Court Annexed Mediation (lembaga mediasi di pengadilan). Karena pasal 130 HIR/154 Rbg kurang jelas baik prosedur, tahapan dan acaranya, maka Mahkamah Agung RI pada tanggal 11 September 2003 mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 02 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Perma yang terdiri dari 18 pasal itu antara lain berdasarkan pertimbangan bahwa institusionalisasi proses mediasi ke dalam sistem peradilan dapat memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam penyelesaian sengketa di samping proses pengadilan yang bersifat memutus (ajudikatif)[9]. Maka, hakim dalam hal ini berperan aktif untuk mendamaikan para pihak yang bersengketa dalam waktu 22 hari. Di Mahkamah Agung dewasa ini, telah sejak beberapa lama dibentuk Pusat Mediasi Nasional yang berfungsi untuk menyebarluaskan kemampuan (skill) khususnya bagi para hakim dalam rangka melakukan mediasi antar para pihak dalam kasus yang memungkinkan hal itu terjadi. Selanjutnya, dorongan melakukan mediasi terkait penyelesaian kasus juga dilakukan oleh berbagai pihak di berbagai tingkatan kewilayahan. Salahsatunya adalah yang hingga kini ditumbuhkembangkan LP3S melalui program Balai Mediasi Desa di Nusa Tenggara Barat[10]. Secara yuridis pula, menurut Artidjo Alkostar, ADR diluar pengadilan telah diatur dalam UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dalam hubungan ini telah terdapat beberapa lembaga pendorong metode ADR, antara lain BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) yang memfokuskan diri pada dunia perdagangan dan ADR dalam penyelesaian sengketa jasa konstruksi (UU No. 18 Tahun 1999 jo UU No.m 29 Tahun 2000 jo PP No. 29 Tahun 2000) dengan yurisdiksi bidang keperdataan. Begitu pula terdapat ADR-ADR yang lain, seperti menyangkut masalah hak cipta dan karya intelektual, perburuhan, persaingan usaha, konsumen, lingkungan hidup dan lain-lain. Di pihak lain, terdapat pula rencana Pemerintah untuk melakukan amandemen terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Rencana ini telah tertunda sekian lama, yang salahsatu penyebabnya adalah adanya debat tak berkesudahan antara ahli hukum yang berperspektif legal-konvensional dan yang berperspektif legal-sosiologis. Khususnya diantara mereka yang berperspektif legal sosiologis, telah cukup lama terpengaruh oleh model berpikir liberal dalam rangka proses peradilan pidana, yang kemudian banyak dikenal dengan due process liberal model. Adapun beberapa prinsip utama dari model berpikir ini sebagai berikut [11]: Titik berat adalah pada kualitas kasus, bukan kuantitasnya. Sumber daya perlu dikerahkan guna mengungkap kasus secara tuntas dan, olehkarenanya, tidak perlu mengejar jumlah Amat memelihara hak-hak individual dan juga memperhatikan situasi individual tersangka. Selanjutnya, model ini juga menekankan pentingnya memperhatikan hak-hak korban. Jika hukum dianggap memperburuk situasi tersangka serta korban, demikian pula diprediksikan tidak akan memperbaiki hubungan dengan korban, maka sebaiknya tidak atau jangan dipergunakan Potensi Pengembangan Pertama-tama perlu dijelaskan bahwa kasus-kasus hukum yang memiliki preferensi untuk diselesaikan melalui ADR adalah sebagai berikut: Pertama, kasus-kasus yang pelaku (atau tersangka pelaku) tidak melibatkan negara. Atau, dapat pula diprioritaskan untuk tindak pidana yang termasuk kategori delik aduan sebagaimana telah dijelaskan di atas. Disamping itu, ADR juga dapat diperluas mencakup tindak pidana yang korbannya adalah masyarakat atau warga negara sehingga mereka sendiri yang mengungkapkan tingkat kerugian yang dialaminya. Kedua, tindakan pidana yang walaupun melibatkan negara (sebagai tersangka pelaku), tetapi memerlukan penyelesaian mengingat berdampak langsung kepada masyarakat. Misalnya, untuk tindak pidana di bidang ekonomi dimana negara mengharapkan adanya pengembalian dana negara dalam kasus-kasus korupsi[12]. Dalam kaitan itu, maka tak terhindarkan apabila pemanfaatan ADR dalam perspektif ini lebih dirasakan pentingnya untuk dikembangkan oleh kepolisian ketimbang kejaksaan ataupun pengadilan, mengingat peran kepolisian sebagai gerbang awal dari sistem peradilan pidana. Dapat diperkirakan bahwa suatu kasus yang telah dimulai secara ADR, katakanlah demikian, akan lebih mungkin untuk diteruskan dan berakhir dengan cara ADR pula ketimbang ADR dimunculkan di tengah (ketika perkara ditangani kejaksaan) atau diakhir proses peradilan pidana (maksudnya diputus oleh pengadilan). Dalam konteks kepolisian tersebut, maka isyunya adalah sebagai berikut: Terkait sistem peradilan pidana Indonesia, maka pada dasarnya proses yang harus dilalui dan berkas yang perlu dilengkapi terkait perkara besar atau kecil, sebenarnya sama saja. Dalam kaitan itu, perkara kecil seyogyanya diselesaikan dengan cara lain guna menghindari tumpukan perkara (congestion). Adapun yang dimaksud dengan perkara kecil atau ringan mencakup sebagai berikut: - Pelanggaran sebagaimana diatur dalam buku ketiga KUHP - Tindak pidana ringan yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 7.500 (tujuh ribu lima ratus rupiah) - Kejahatan ringan (lichte musjdriven) sebagaimana diatur dalam KUHP sebagai berikut: - Pasal 302 tentang penganiayaan ringan terhadap hewan - Pasal 352 tentang penganiayaan ringan terhadap manusia - Pasal 364 tentang pencurian ringan - Pasal 373 tentang penggelapan ringan - Pasal 379 tentang penipuan ringan - Pasal 482 tentang penadahan ringan - Pasal 315 tentang penghinaan ringan Kembali pada perkara kecil atau ringan tersebut, maka masyarakat (khususnya tingkat lokal) sebenarnya memiliki kapasitas tersendiri untuk menyelesaikan permasalahan perilaku seseorang atau beberapa orang warganya yang dianggap menyimpang atau melanggar pidana. Kapasitas itulah yang kita kenal dengan sebutan ”peradilan adat” atau village justice (dorpsrechtspraak) yang pada dasarnya merupakan upaya penduduk secara sukarela untuk menyelesaikan permasalahannya kepada suatu badan yang diketuai oleh kepala desa, tetua atau badan lain yang diakui dalam masyarakat. Setiap masyarakat, diyakini bahkan oleh ahli seperti teer Haar (1948) sebagai dimiliki oleh setiap masyarakat lokal dan dimanfaatkan untuk menyelesaikan konflik atau sengketa yang mereka hadapi[13]. Sayangnya, kapital sosial ini telah sejak beberapa lama tertinggal atau bahkan dilupakan pengembangannya. Salahsatu yang tertinggal adalah lembaga sosial Pecalang di Bali[14]. Kebijakan untuk tidak lekas-lekas membawa kasus yang kecil ke jalur penyidikan, juga selaras dengan model kegiatan kepolisian ”perpolisian komunitas” (terjemahan bebas dari community policing) yang dalam konteks Polri dikembangkan dengan dua elemen minimal (dari berbagai elemen yang secara teoritik dianjurkan oleh community policing) saja yakni kemitraan (partnership) dan pemecahan masalah (problem solving). Hal itu tercermin dalam Surat Keputusan Kapolri no 737/X/2005[15]. Dengan kata lain, justru dewasa ini hendak dipacu inisiatif maupun kemampuan masyarakat yang dibantu kepolisian setempat guna mengupayakan terjadinya pemecahan masalah terkait kasus-kasus lokal dan bersifat ringan. Selain diskresi (sebagai suatu pengenyampingan hukum atas masalah hukum) maupun ADR (penggunaan cara lain atas masalah hukum), maka sebenarnya masih terdapat satu lagi mekanisme bernuansa ADR dalam kepolisian. Mekanisme itu sering disebut dengan diversi (atau pembelokan non-penal oleh) polisi atau police diversion[16]. Seperti juga dikresi dan ADR, maka diversi polisi juga sebenarnya telah sering dilakukan namun kerap tidak disadari oleh kepolisian sendiri. Adapun jenis-jenisnya mencakup mulai dari pengabaian pidana atau pelanggaran yang telah terjadi (offence ignored), pemberian peringatan secara informal (informal warning), pemberian peringatan formal (formal warning), pemberitahuan bersifat pembatasan (infringement notice) hingga perintah kepolisian untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu (public address) Penutup Telah diperlihatkan berbagai penjelasan maupun perkembangan situasi terkait ADR sebagai suatu mekanisme terobosan dalam hukum dan perkembangannya di Indonesia. Hampir semuanya menjanjikan masa depan yang cerah guna mengatasi problem hukum itu sendiri, terutama dari sisi proses yang belum bisa menjanjikan kecepatan putusan, akurasi penanganan serta biaya yang murah sekaligus. Ke depan, diharapkan akan ada lebih banyak lagi terobosan yang dilakukan para pimpinan lembaga-lembaga hukum guna memungkinkan hidupnya ADR. ADR tentu saja tidak seyogyanya dilihat sebagai kompetitor, tetapi justru penyaring atau filter agar kasus yang benar-benar kompleks-lah yang kemudian ditangani para profesional di bidang hukum seperti kepolisian, kejaksaan dan peradilan. === Daftar Pustaka Alkostar, A., “Alternative Dispute Resolution Sebagai Salahsatu Bentuk Mekanisme Pemecahan dan Penanganan Masalah dalam Proses Penegakan Hukum Polri”, makalah, Jakarta, 2007 Kapolri, Kebijakan dan Strategi Penerapan Model Perpolisian Masyarakat dalam Penyelenggaraan Tugas Polri, Surat Keputusan, November 2005 LP3ES, Program Penguatan Balai Mediasi Desa, naskah proposal, Jakarta, 2005 Lumbuun, T.G.., ”Alternative Dispute Resolution Di Dalam Sistem Peradilan Pidana”, makalah, Jakarta, 2007 Meliala, A., ”Adakah Model-Model Resolusi Konflik”, artikel, Koran Tempo, 2001 Meliala, A. et. al, Restorative Justice: Sistem Pembinaan Narapidana untuk Pencegahan Residivisme, laporan, AusAID & Departemen Kriminologi FISIP UI, 2004 Meliala, A., ”Dampak Proses ADR dalam Penegakan Hukum Polri”, makalah, Jakarta, 2007 Mudzakkir, “Alternative Dispute Resolution (ADR): Penyelesaian Perkara Pidana Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia”, makalah, Jakarta, 2007 Nordholt, H.S., Bali: an open fortress, draft buku, KITLV-Leiden Soedarsono, T., “Sosialisasi Penanganan Perkara Melalui Proses Alternative Dispute Resolutions Sebagai Tindak Lanjut Dalam Mewujudkan Strategi Community Policing dan Kultur Polisi Sipil Dalam Proses Reformasi Polri”, makalah, Jakarta, 2006 teer Haar, B., Adat Law in Indonesia, New York: Institute of Pacific Relations, 1948 Santosa, M.A & Wiwiek A., ”Alternative Dispute Resolution (Negosiasi & Mediasi)”, naskah presentasi, Jakarta, tanpa tahun Bahan Internet Suffolk University, College of Arts & Sciences, Center for Restorative Justice, Wikipedia ================================= Adrianus Meliala, Drs. MSi. MSc. Ph.D Prof. [1] Pikiran ini berasal dari buah pikir Irjen Pol. DR. Teguh Soedarsono, Kadiv Binkum Polri, dalam presentasi mengenai ”Sosialisasi Penanganan Perkara Melalui Proses Alternative Dispute Resolutions Sebagai Tindak Lanjut Dalam Mewujudkan Strategi Community Policing dan Kultur Polisi Sipil Dalam Proses Reformasi Polri”, Jakarta, Mabes Polri, Desember 2006 [2] Adrianus Meliala, Adakah Model-Model Resolusi Konflik, artikel, Koran Tempo, 10 April 2001 [3] Mas Achmad Santosa & Wiwiek Awiati, Alternative Dispute Resolution (Negosiasi & Mediasi), naskah presentasi, ICEL, Jakarta, tanpa tahun [4] Mudzakkir, “Alternative Dispute Resolution (ADR) : Penyelesaian Perkara Pidana Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, makalah workshop, Jakarta, 18 Januari 2007 [5] Mudzakkir, “Alternative Dispute Resolution (ADR): Penyelesaian Perkara Pidana Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, makalah workshop, Jakarta, 18 Januari 2007 [6] Adrianus Meliala, Mamiek Sri Supatmi, Santi Kusumaningrum, Kisnu Widagso dan Fikri Somyadewi, Restorative Justice: Sistem Pembinaan Narapidana untuk Pencegahan Residivisme, laporan, AusAID & Departemen Kriminologi FISIP UI, 2004 [7] Kutipan bebas dari materi yang terdapat dalam Suffolk University, College of Arts & Sciences, Center for Restorative Justice, Wikipedia [8] T. Gayus Lumbuun, Alternative Dispute Resolution Di Dalam Sistem Peradilan Pidana, makalah workshop, 18 Januari 2007 [9] Artidjo Alkostar, “Alternative Dispute Resolution Sebagai Salahsatu Bentuk Mekanisme Pemecahan dan Penanganan Masalah dalam Proses Penegakan Hukum Polri”, makalah seminar, Jakarta, 28 Februari 2007 [10] LP3ES, Program Penguatan Balai Mediasi Desa, naskah proposal yang dibuat dalam rangka pencarian pendanaan, Jakarta, 2005 [11] Adrianus Meliala, Dampak Proses ADR Dalam Penegakan Hukum Polri, makalah seminar, Jakarta, 28 Februari 2007 [12] T. Gayus Lumbuun, Alternative Dispute Resolution Di Dalam Sistem Peradilan Pidana, makalah workshop, Jakarta, 18 Januari 2007 [13] Lihat studi B teer Haar, Adat Law in Indonesia, New York: Institute of Pacific Relations, 1948, hal 2 [14] Pecalang dikaji secara khusus dalam draft buku karya Henk Schulte Nordholt, Bali: an open fortress, KITLV-Leiden, belum diterbitkan [15] Surat Keputusan Kapolri tentang Kebijakan dan Strategi Penerapan Model Perpolisian Masyarakat dalam Penyelenggaraan Tugas Polri. Surat Keputusan ini kemudian telah melahirkan 3 Surat Keputusan terkait dengan implementasi model perpolisian tersebut - Langkah-Ku Tanpa Alas Kaki

Langkah-Ku Tanpa  Alas Kaki

Langkah-Ku Tanpa Alas Kaki

test banner

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Minggu, 13 Mei 2012

• o Eksploitasi sumber daya di Papua 1989-2010 Berikut adalah sebagian kasus yang dilaporkan dalam terbitan berkala DTE selama lebih dari 22 tahun terakhir. Angka dalam kurung mengacu pada edisi terbitan berkala terkait. Daftar ini tidak lengkap, tetapi memberikan indikasi besarnya kerusakan sumber daya Papua dalam beberapa dekade terakhir. 1989: Marubeni dari Jepang dijadwalkan untuk mulai mengimpor kayu serpih dari daerah hutan bakau di Teluk Bintuni sebagai bagian dari proyek bersama PT Bintuni Utama Murni yang mencakup kegiatan pabrik kayu serpih di Pulau Amutu Besar. Tak ada AMDAL, dan konsesi itu tumpang tindih dengan area hutan konservasi (1). Di Jepang protes terhadap proyek itu dilancarkan oleh JATAN dan FoE Jepang (6). Scott Paper melanjutkan rencana pembukaan perkebunan dan proyek bubur kayu di Merauke setelah mendapat persetujuan pemerintah pada bulan Oktober 1988 (1). Surat protes dilayangkan oleh sejumlah ORNOP (2) dan aksi protes juga dilancarkan di Jakarta (3). Perusahaan akhirnya menarik diri dari proyek tersebut (6). Perusahaan Finlandia Rauma-Repola Oy tengah menjajaki kerja sama patungan dengan PT Furuma Utama Timber Co, untuk mengembangkan proyek kertas dan bubur kayu di Papua (6). Konglomerat Indonesia PT Garuda Mas melakukan studi kelayakan untuk pabrik pemrosesan sagu di distrik Sorong (1). PT Sagindo Sari Lestari telah membangun pabrik sagu di Bintuni-Manokwari (4) Enam puluh enam dari 77 pemegang HPH dilaporkan telah menghentikan kegiatan penebangan mereka (1). Perusahaan Australia McLean Ltd berencana untuk melakukan penebangan di atas lahan HPH seluas 60.000 hektare di daerah Mamberamo melalui kerja sama dengan PT Sansaporinda, yang disebut Mamberamo Forest Products (5). BUMN PT Aneka Tambang berencana untuk membuka tambang nikel di Pulau Gag dengan dukungan finansial dari Queensland Nickel Joint Venture, Australia (3). Ekspansi besar-besaran terjadi di tambang Freeport dengan peningkatan produksi emas sebanyak tiga kali lipat dari 5 ton menjadi 15 ton dalam 3 tahun ke depan dan produksi konsentrat tembaga dari 25.000 ton menjadi 40.000 ton per hari. Freeport merayakan ulang tahunnya yang ke 21 sambil meraup keuntungan terbesar yang pernah dicapai. Seorang pekerja medis melaporkan telah terjadi 143 kecelakaan kerja yang serius dan 4 kematian dalam 3 tahun terakhir (5). Perusahaan patungan penebangan hutan Korea Selatan-Indonesia, You Liem Sari (anak perusahaan You One Construction) dan PT Kebun Sari telah menghancurkan penghidupan 90 keluarga di Muris, dekat Jayapura (6). 1990: Investigasi oleh kantor berita Jepang, Kyodo, menemukan bukti pembalakan liar di Teluk Bintuni oleh Bintuni Utama Murni Wood Industries yang didukung oleh Marubeni (7). Di Teluk Bintuni, pemilik tanah suku Iraturu menuntut royalti dari perusahaan, sementara kampanye terhadap keterlibatan Marubeni dalam perusakan hutan bakau terus berlanjut di Jepang (10). Perusahaan itu diperintahkan untuk menghentikan kegiatannya dan didenda oleh Menteri Kehutanan karena pembalakan liar (11). Perusahaan minyak Amerika Serikat Conoco akan melakukan pengeboran sumur minyak yang konon terbesar di Papua di daerah Kepala Burung sesuai dengan perjanjian bagi hasil dengan perusahaan minyak negara Pertamina (8). Pengapalan pertama ke Jepang tepung sagu yang diproduksi oleh Sagindo Sari Lestari melalui kegiatannya di Teluk Bintuni. Perusahaan itu mengumumkan rencana untuk mendatangkan 200 keluarga transmigran untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja. (9). Freeport melakukan negosiasi untuk memperluas kawasan kontrak menjadi 20 kali lebih besar dari luas awalnya. (10). Ornop Indonesia SKEPHI melaporkan bahwa 77 pemegang HPH sudah mendapatkan 12,9 juta hektare dan mengatakan bahwa 70% dari hutan Papua seluas 41,8 juta hektare telah dialokasikan untuk berbagai jenis eksploitasi (penebangan hutan, pembangunan waduk, lokasi transmigrasi, perkebunan, pertambangan dan minyak) (10). PT Yapen Utama Timber siap menghancurkan hutan perawan Pulau Yapen dan penghidupan masyarakat di pulau itu (10). Pemerintah memberikan lampu hijau kepada 19 pabrik bubur kayu baru, empat di antaranya berada di Papua (11). 2009: Komitmen perubahan iklim BP untuk proyek Tangguh dicermati lebih dekat seiring dengan akan beroperasinya proyek gas itu. Sekitar 3 juta ton karbon dioksida akan dilepaskan per tahun, menurut dokumen AMDAL (80-81). Freeport mengakui bahwa perusahaan itu masih membayar militer Indonesia (80-81). Adanya penembakan-penembakan yang mengakibatkan korban tewas di dekat pertambangan memicu organisasi masyarakat sipil setempat untuk menyerukan dialog damai guna menyelesaikan konflik di Papua. Warga Amungme selaku pemilik tanah mengajukan gugatan baru terhadap Freeport dan menuntut ganti rugi sebesar US$30 miliar untuk perusakan lingkungan hidup dan pelanggaran HAM (82). Sedikitnya 3 perusahaan eksplorasi pertambangan Australia mencari kandungan tembaga dan emas besar di Papua, yaitu Hillgrove Resources di distrik Sorong dan Manokwari, Arc Exploration Ltd (dahulu Austindo Resources Corporation) di Teluk Bintuni, melalui perusahaan bernama PT Alam Papua Nusantara, dan Nickelore Ltd, di daerah yang berbatasan dengan konsesi Freeport (82). Pemerintah provinsi Papua mengumumkan rencana untuk membangun waduk pembangkit listrik tenaga air di Komauto untuk memasok listrik, mendukung proyek semen di Timika serta pembangunan pariwisata di Paniai (83). 2010: Pemerintah menargetkan lahan seluas 250.000 hektare untuk perkebunan tanaman industri dan tanaman rakyat pada tahun 2010-2014 dari total jumlah 2,7 juta hektare dalam skala nasional. Hutan yang baru merupakan bagian dari strategi pemerintah untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. (84). Penebangan liar dianggap sebagai penyebab banjir bandang di distrik Wasior yang menelan banyak korban. (87). Perusahaan Cina, Far East, ingin menanamkan modal dalam pertambangan batu bara di 5 daerah di distrik Manokwari (87). Timika and support tourism development in Paniai (83). Artikel selengkapnya dapat dilihat di: www.downtoearth-indonesia.org o HAK PENENTUAN NASIP SENDIRI 1. Hak atas penentuan nasib sendiri merupakan hak asasi manusia yang fundamental dan tidak terpisahkan dari diri seorang manusia. Hak ini dicantumkan sebagai Pasal pertama oleh masyarakat internasional dalam dua instrumen utama hak asasi manusia (Perjanjian Internasional mengenai Hak-hak Sipil dan Politik dan Perjanjian Internasional mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial da...n Budaya), mengingat pentingnya hak ini bagi tatanan internasional dan perlindungan hak-hak individu. Mahkamah Pengadilan Internasional mengakui hak atas penentuan nasib sendiri sebagai hak asasi manusia yang paling penting, dan ”menyangkut semua negara.” 2. Penentuan nasib sendiri adalah juga fundamental karena merupakan hak kolektif suatu bangsa untuk dapat menjadi diri sendiri. Pewujudan hak ini adalah hakiki untuk kelangsungan hidup, identitas dan nasib Sebuah Bangsa 3.Penentuan nasib sendiri merupakan hak kolektif yang dimiliki oleh “segala bangsa” untuk menentukan nasib politik dan teritorialnya. Hak ini mencakup tiga hal: a) untuk menentukan status politiknya melalui tindakan memilih bebas; b) menjalankan pembangunan ekonomi, sosial dan budaya secara bebas; dan c) untuk memanfaatkan sumber daya dan kekayaan alamnya secara bebas. 4.Hak atas penentuan nasib sendiri memberikan hak kepada sebuah bangsa/masyarakat untuk mengakhiri situasi Kolonial mereka, dengan menentukan kehendak secara bebas antara kemerdekaan, asosiasi bebas dengan negara yang ada, atau integrasi dengan negara yang ada. Keputusan atas kehendak tersebut haruslah dibuat melalui tindakan ekspresi yang murni dan bebas. 5. Agar dapat sah dan diterima secara internasional, keputusan mengenai masa depan sebuah masyarakat harus dihasilkan melalui sebuah proses yang terpupuk oleh penerangan, terbuka, adil dan demokratis, bebas dari campur tangan atau ancaman pihak luar, dijalankan secara tidak memihak, dan sebaiknya diawasi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. 6. Karena hak ini adalah milik seluruh bangsa Papua secara bersama dan bukannya kelompok tertentu, penerapan hak ini haruslah representatif. Bangsa Papua juga memiliki hak untuk berjuang atas penentuan nasib sendiri, dan untuk menerima dukungan bagi perjuangan mereka ini. 7.Negara-negara boleh menanggapi permintaan-permintaan untuk bantuan moral dan material seperti ini. Negara-negara tidak diperkenankan untuk menggunakan kurangnya kesiapan politik, ekonomi, sosial atau pendidikan sebagai alasan untuk membenarkan penundaan suatu kemerdekaan. 8. Hak masyarakat Papua atas penentuan nasib sendiri juga meliputi hak untuk bebas dari penindasan oleh kekuatan asing, dan hak untuk secara bebas menentukan bagaimana sumber daya alam mereka seharusnya diperlakukan dan digunakan. o o o HAK EKONOMI DAN SOSIAL RAKYAT PAPUA DIABAIKAN! Satu tema propaganda Pemerintah Indonesia terhadap Rakyat Papua yang terus-menerus ada selama ini adalah “keterbelakangan” (termasuk infrastruktur) yang dikatakan merupakan salah satu hambatan dalam upaya mensejahterakan Rakyat Papua. Dalam hal yang dikemukakan di atas, pemerintah Indonesia nyata sekali gagal membuktikan pengakuannya bahwa yang menjadi perhatian utama mereka adalah kesejahteraan rakyat Papua. Gelombang-gelombang kekerasan dan represi serta pengendalian politik dan sosial yang ekstrim oleh militer Indonesia adalah sangat menjadi hambatan utama bagi kegiatan hidup sehari-hari, termasuk kebebasan bergerak, bertani, mencari ikan dan kemampuan untuk mengangkut dan memasarkan barang-barang. Bahkan pada saat-saat yang keadaannya relatif normal, kekhawatiran mengenai keamanan, yang kadang-kadang bercampur dengan kepentingan pribadi dan perusahaan, lebih diutamakan daripada kesejahteraan rakyat Papua Pendidikan yang secara terang-terangan digunakan sebagai alat propaganda dan bukan untuk pemenuhan kebutuhan dasar. Pengambilan sumber alam dengan cara yang merusak dan tidak menjaga kelangsungannya oleh para pejabat pemerintah dan rekanan usaha mereka menghancurkan strategi kelangsungan hidup dan menguras “modal alam” yang diharapkan oleh rakyat Papua untuk bisa dipergunakan dalam jangka panjang. Terpusatnya perhatian pada keamanan cenderung mengalihkan dana investasi negara ke bidang-bidang seperti pembangunan jalan dan perluasan aparat pemerintah dengan mengorbankan hak-hak dasar bagi rakyat Papua. Hak-hak ekonomi dan sosial dikemukakan dengan jelas dalam Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (KIHSEB). Ketentuan-ketentuan di dalamnya memberikan standar dengan apa tindakan Indonesia terhadap rakyat Papua bisa dinilai. Di dalam Kovenan itu sendiri dan dalam penjelasan yang diuraikan oleh Komisi Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, diakui bahwa karena tahap perkembangan ekonomi setiap negara tidak sama maka tidak semua negara bisa memenuhi semua hak yang tercantum dalam Kovenan itu. Oleh karena itu kewajiban negara- negara adalah mengambil tindakan-tindakan untuk mencapai tingkat pemenuhan hak-hak tersebut secara bertahap sesuai kemampuan masing-masing negara. Namun demikian, pada saat yang sama, setiap negara mempunyai tanggung jawab inti yang harus selalu dipenuhi. Ini termasuk tanggung jawab untuk menyediakan kebutuhan dasar tertentu, seperti makanan, tempat tinggal, obat-obatan dasar, dan pendidikan dasar. Ketentuan-ketentuan tersebut juga mengharuskan negara-negara dalam pemenuhan jaminan sosial dan ekonomi tidak melakukannya secara diskriminatif dan tidak melakukan langkah mundur yang dapat memperburuk pemenuhan hak-hak yang sudah dinikmati rakyat. Pemerintah Indonesia telah melanggar hak-hak ekonomi dan sosial di setiap tingkatan di atas. Dalam banyak hal, negara mengambil langkah keamanan yang ekstrem yang bertolak belakang dengan tanggung jawab inti yang semestinya dipenuhi. Dalam keadaan demikian, negara gagal memenuhi kebutuhan dasar penduduk, dan justru sering mengambil langkah mundur dan diskriminatif. Bahwa negara Indonesia tidak mengupayakan setinggi mungkin pemenuhan hak-hak ekonomi dan sosial rakyat Papua, dan sampai dengan sekarang, pembangunan di Papua masih jauh tertinggal dibandingkan daerah lain di Indonesia Tingkat investasi Indonesia (termasuk modal asing) sangat besar dan tingkat pertumbuhan PDB (Produk Domestik Bruto) yang dihasilkan cukup tinggi. Namun demikian, alokasi investasi, distribusi PDB dan pemberian layanan sosial, termasuk kesehatan dan pendidikan, semuanya dinihilkan oleh kesibukan berlebihan pemerintah Indonesia dengan masalah keamanan, oleh gaya pemerintahan yang otoriter, dan oleh persekongkolannya dengan kepentingan-kepentingan Modal Besar (asing). Hal tersebut jelas menunjukkan kaitan yang erat antara pelanggaran berat hak-hak sipil dan politik dengan pengabaian hak-hak sosial dan ekonomi. Hubungan hak sosial dan ekonomi dengan hak-hak lainnya Adanya dua kovenan internasional, yaitu Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik dan Kovenan Internasional tentang Hak Sosial, Ekonomi, dan Budaya, tampak mempertegas pemisahan antara kedua jenis hak tersebut. Tetapi sebenarnya, pembukaan kedua Kovenan tersebut mengakui bahwa kedua hak tersebut tidak terpisahkan. Kovenan Internasional tentang Hak Sosial, Ekonomi, dan Budaya menyebutkan: “Cita-cita mengenai manusia merdeka yang menikmati kebebasan sipil dan politik serta kebebasan dari rasa takut dan lapar hanya dapat dicapai bila tercipta kondisi dimana setiap orang bisa menikmati hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya serta hak-hak sipil dan politik”. Hubungan erat ini dipertegas oleh Deklarasi Vienna yang dicetuskan pada tahun 1993dalam Konferensi Dunia PBB tentang Hak Asasi Manusia: “Demokrasi, pembangunan, dan penghormatan kepada hak asasi dan kebebasan hakiki manusia saling terkait dan saling menguatkan. Demokrasi didasarkan pada kehendak rakyat yang diungkapkan dengan bebas untuk menentukan sistem-sistem politik, sosial, ekonomi, dan budaya mereka sendiri dan partisipasi penuh mereka di segala bidang kehidupan”. Penting diperhatikan dampak kurangnya perhatian kepada hak-hak sosial dan ekonomi oleh pengamat luar dan pengamat Indonesia, dibandingkan perhatian kepada hak-hak sipil dan politik. Gabungan pelanggaran hak sosial dan hak ekonomi dalam kondisi kemiskinan yang parah, seperti yang dialami rakyat Papua, sering digunakan menjadi penjelasan mengapa pelanggaran tersebut tidak mendapat perhatian tersendiri. Memang luas dan mendalamnya pelanggaran hak-hak sosial dan ekonomi sering membuat kita lupa akan beratnya pelanggaran tersebut dan sifat hakikinya sebagai suatu hak asasi manusia. Lebih jauh, rendahnya nilai uang dari aset penduduk miskin yang hilang sering menjadi sebab tidak adanya perhatian pada pelanggaran-pelanggaran yang terjadi ketika aset tersebut dirusak. mengenai dampak dari operasi militer Indonesia misalnya mengecilkan nilai kerusakan harta benda, seringkali kita dengar ....Di wilayah pedalaman banyak rumah penduduk/desa yang dibakar “ Tidak ada kerusakan material yang parah..., Nilai uang untuk membangun gubuk-gubuk sederhana ini mungkin tidak besar, dan bahan-bahan untuk membangunnya kembali memang tersedia. Namun demikian, masalah mendasarnya adalah bahwa semakin sedikit milik seseorang, maka akan semakin besar dampak dari kehilangan rumah, harta benda, dan ternak. Perusakan dan perampasan harta benda penduduk miskin yang terjadi berulang-ulang membuat pemulihan berjalan lambat, dan sangat berat dari segi ekonomi maupun emosional. Orang-orang yang berada di pinggir jurang penyakit, kelaparan, dan ketidaktahuan karena kemiskinan yang parah adalah yang sangat memerlukan perlindungan untuk hak-hak ini. Memang tidak adanya pemantauan yang ketat pada hak-hak mereka itu sendiri merupakan indikasi dari diabaikannya kesejahteraan sosial dan ekonomi rakyat Papua. o Hukum Agraria PENGERTIAN DAN ASAS-ASAS HUKUM AGRARIA Pengertian Hukum Agraria Istilah tanah (agraria) berasal dari beberapa bahasa, dalam bahasas latin agre berarti tanah atau sebidang tanah . agrarius berarti persawahan, perladangan, pertanian. Menurut kamus besar Bahasa Indonesia agraria berarti urusan pertanahan atau tanah pertanian juga urusan pemilikan tanah, dalam bahasa inggris agrarian selalu diartikan tanah dan dihubungkan usaha pertanian, sedang dalam UUPA mempunyai arti sangat luas yaitu meliputi bumi, air dan dalam batas-batas tertentu juga ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Hukum agraria dalam arti sempit yaitu merupakan bagian dari hukum agrarian dalam arti luas yaitu hukum tanah atau hukum tentang tanah yang mengatur mengenai permukan atau kulit bumi saja atau pertanian Hukum agraria dalam arti luas ialah keseluruhan kaidah-kaidah hukum baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur mengenai bumi, air dan dalam batas-batas tertentu juga ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Devinisi hukum agraria Mr. Boedi Harsono Ialah kaidah-kaidah hukum baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur mengenai bumi, air dan dalam batas-batas tertentu juga ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Drs. E. Utrecht SH Hukum agraria menguji hubungan hukum istimewa yang diadakan akan memungkinkan para pejabat administrasi yang bertugas mengurus soal-soal tentang agraria, melakukan tugas mereka. Bachsan Mustafa SH Hukum agrarian adalah himpunan peraturan yang mengatur bagaimana seharusnya para pejabat pemerintah menjalankan tugas dibidang keagrariaan Azas-azas hukum agraria Asas nasionalisme Yaitu suatu asas yang menyatakan bahwa hanya warga Negara Indonesia saja yang mempunyai hak milik atas tanah atau yang boleh mempunyai hubungan dengan bumi dan ruang angkasa dengan tidak membedakan antara laki-laki dengan wanita serta sesama warga Negara baik asli maupun keturunan. Asas dikuasai oleh Negara Yaitu bahwa bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkat tertinggi dikuasai oleh Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat (pasal 2 ayat 1 UUPA) Asas hukum adat yang disaneer Yaitu bahwa hukum adat yang dipakai sebagai dasar hukum agrarian adalah hukum adat yang sudah dibersihkan dari segi-segi negatifnya Asas fungsi social Yaitu suatu asas yang menyatakan bahwa penggunaan tanah tidak boleh bertentangan dengan hak-hak orang lain dan kepentingan umum, kesusilaan serta keagamaan(pasal 6 UUPA) Asas kebangsaan atau (demokrasi) Yaitu suatu asas yang menyatakan bahwa stiap WNI baik asli maupun keturunan berhak memilik hak atas tanah Asas non diskriminasi (tanpa pembedaan) Yaitu asas yang melandasi hukum Agraria (UUPA).UUPA tidak membedakan antar sesame WNI baik asli maupun keturunanasing jadi asas ini tidak membedakan-bedakan keturunan-keturunan anak artinya bahwa setiap WNI berhak memilik hak atas tanah. Asas gotong royong Bahwa segala usaha bersama dalam lapangan agrarian didasarkan atas kepentingan bersama dalam rangka kepentingan nasional, dalam bentuk koperasi atau dalam bentuk-bentuk gotong royong lainnya, Negara dapat bersama-sama dengan pihak lain menyelenggarakan usaha bersama dalam lapangan agraria (pasal 12 UUPA) Asas unifikasi Hukum agraria disatukan dalam satu UU yang diberlakukan bagi seluruh WNI, ini berarti hanya satu hukum agraria yang berlaku bagi seluruh WNI yaitu UUPA. Asas pemisahan horizontal (horizontale scheidings beginsel) Yaitu suatu asas yang memisahkan antara pemilikan hak atas tanah dengan benda-benda atau bangunan-bangunan yang ada diatasnya. Asas ini merupakan kebalikan dari asas vertical (verticale scheidings beginsel ) atau asas perlekatan yaitu suatu asas yang menyatakan segala apa yang melekat pada suatu benda atau yang merupakan satu tubuh dengan kebendaan itu dianggap menjadi satu dengan benda iu artnya dala sas ini tidak ada pemisahan antara pemilikan hak atas tanah dengan benda-benda atau bangunan-bangunan yang ada diatasnya. Hak-hak atas tanah Hak milik − Dasar hukum untuk pemilikan hak milik atas tanah yaitu pasal 20-27 UUPA − Mempunyai sufat turun temurun − Terkuat dan terpenuh − Mempunyai fungsi social − Dapat beralih atau dialihkan − Dibatasi oleh ketentan sharing (batas maksimal) dan dibatasi oleh jumlah penduduk − Batas waktu hak milik atas tanah adalah tidak ada batas waktu selama kepemilikan itu sah berdasar hukum − Subyek hukum hak milik atas tanah yaitu WNI asli atau keturunan, badan hukum tertentu Hak guna bangunan Hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai oleh Negara dalam jangka waktu tertentu sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 29 UUPA untuk perusahaan pertanian atau peternakan. − Jangka waktu 25 tahun dan perusahaan yang memerlukan waktu yang cukup lama bisa diberikan selama 35 tahun − Hak yang harus didaftarkan − Dapat beralih karena pewarisan − Obyek HGU yaitu tanah negara menurut pasal 28 UUPA jo pasal 4 ayat 2, PP 40/96 Apa bila tanah yang dijadikan obyek HGU tersebut merupakan kawasan hutan yang dapat dikonversi maka terhadap tanah tersebut perlu dimintakan dulu perlepasan kawasan hutan dari menteri kehutanan (pasal 4 ayat 2 UUPA, PP 40/96). Apabila tanah yang dijadikan obyek HGU adalah tanah yanh sah mempunyai hak maka hak tersebut harus dilepaskan dulu (pasal 4 ayat 3, PP 40/96) Dalam hal tanah yang dimohon terhadap tanaman dan atau bangunan milik orang lain yang keberadaannya atas hak ayang ada maka pemilik tanaman atau bangunan tersebut harus mendapat ganti rugi dari pemegang hak baru (pasal 4 ayat 4, PP 40/96) Pendaftaran Tanah Pendaftaran tanah adalah serangkaian kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus , berkesinambungan dan teratur meliputi pengumpulan , pengolahan, pembukuan dan pengujian serta pemeliharaan data fisik dan yuridis dalam bentuk peta dan daftar mengenai bidang-bidang tanah dan satuan satuan rumah susun termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya. Data fisik adalah keterangan atas letak, batas, luas, dan keterangan atas bangunan. Persil adalah nomor pokok wajib pajak. Korsil adalah klasifikasi atas tanah. Data yuridis adalah keterangan atas status hokum bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar pemegang haknya dan hak pihak lain serta beban lain yang membebaninya. Dasar hukum pendaftaran tanah : UUPA pasal 19, 23, 32, dan pasal 38. PP No 10/1997 tentang pendaftaran tanah dan dig anti dengan PP No 24/1997 Tujuan pendaftaran tanah sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 3 PP 24/1997 yaitu memberikan kepastian hukum atas hak-hak atas tanah meliputi : Kepastian hokum atas obyek atas atas tanahnya yitu letak, batas dan luas. Kepastian hokum atas subyek haknya yaitu siapa yang menjadi pemiliknya (perorangan dan badan hukum) Kepastian hokum atas jenis hak atas tanahnya (hak milik, HGU, HGB) Tujuan pendaftaran tanah (pasal 3 PP 24 Tahun 1997) Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang mudah terdaftar. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan. Rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam satu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian, yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama. Satuan rumah susun adalah rumah susun yang tujuan peruntukan utamanya digunakan secara terpisah sebagai tempat hunian, yang mempunyai sarana penghubung ke jalan umum. Bagian bersama adalah bagian rumah susun yang dimiliki secara tidak terpisah untuk pemakaian bersama dalam satuan-satuan rumah susun. Benda bersama adalah benda yang bukan merupakan bagian rumah susun, tetapi yang dimiliki bersama secara tidak terpisah untuk pemakaian bersama. Tanah bersama adalah sebidang tanah yang digunakan atas dasar hak bersama secara tidak terpisah yang diatasnya berdiri rumah susun dan ditetapkan batasnya dalam persyaratan izin Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan / atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan / atau kesejahteraan umum menurut syariah. Wakif adalah pihak yang mewakafkan harta benda miliknya. Nazhir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya. Tujuan wakaf (pasal 4 UU No. 41/2004) yaitu memanfaatkan harta benda wakaf sesuai dengan fungsinya Fungsi wakaf (pasal 5) yaitu mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum. o o o HUKUM PERUSAHAAN adalah semua peraturan hukum yang mengatur mengenai segala jenis usaha dan bentuk usaha. Perusahaan adalah segala bentuk usaha yang menjalankan setiap jenis usaha yang bersifat tetap, terus menerus, bekerja, berada dan didirikan di wilayah Negara Indonesia dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan atau laba. Ciri khas dari perusahaan adalah : ... - Bekerja terus menerus - Bersifat tetap - Terang-terangan - Mendapat keuntungan - Pembukuan. Badan Usaha. Perkumpulan : Dalam arti luas perkumpulan yang berbadan hukum dan tidak berbadan hukum. Dengan ciri-ciri sebagai berikut : - Adanya kepentingan terhadap sesuatu. - Adanya kehendak. - Adanya tujuan. - Adanya kerjasama untuk mencapai tujuan. Dalam arti sempit misalnya perkumpulan advokat seIndonesia (asosiasinya) tidak mendapat keuntungan. Unsur-unsur usaha yang dikatakan sebagai badan hukum : o Adanya harta kekayaan yang dipisahkan o Mempunyai tujuan tertentu o Mempunyai kepentingan sendiri o Adanya organisasi yang teratur o Proses pendiriannya mendapatkan pengesahan dari Menteri Kehakiman Perusahaan Dagang ( PD ) o Aturan perusahaan dagang Keputusan dari Menperindag No. 23/MPR/KEP/1998 tentang Lembaga-lembaga Usaha Perdagangan. o Pasal 1 ayat (3) tentang lembaga-lembaga usaha perdagangan, lembaga perdagangan adalah suatu instansi atau badan yang dapat membentuk perseorangan atau badan usaha. o Surat izin bisa didirikan asal mendapatkan izin dari pemerintahan setempat. Badan Usaha Milik Negara ( BUMN ) UU Nomor 19 Tahun 1969 tentang bentuk-bentuk BUMN PERJAN (Perusahaan jawatan) - Pabrik servis. - Merupakan bagian dari departemen - Mempunyai hubungan hukum publik. - Pimpinannya disebut Kepala. - Memperoleh fasilitas dari Negara. - Status pegawainya adalah Pegawai Negeri Sipil. PERUM (Perusahaan umum) - Makna usahanya disamping pabrik servis juga mendapatkan keuntungan. - Suatu berbadan hukum. - Bergerak dalam bidang yang penting. - Mempunyai nama dan kekayaan sendiri. - Dapat dituntut dan menuntut. - Dipimpin oleh Direksi. - Status kepegawaiannya dalam status kepegawaian Negara. PERSERO (Perusahaan perseorangan) Yaitu perusahaan dalam bentuk perseroan terbatas yang saham-sahamnya untuk sebagian atau seluruhnya (minimal 51 %) dimiliki oleh Negara. - Mencari keuntungan. - Statusnya badan hukum - Hubungan dalam usaha adalah berdasarkan hukum perdata. - Modal dipisahkan dari kekayaan Negara - Dipimpin oleh seorang Direksi. - Peran negara adalah tonggak saham. - Pegawainya perusahaan. - Organnya terdiri dari RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham), Direksi dan Komisaris. Sumber Hukum Perusahaan Sumber hukum perusahaan adalah setiap pihak yang menciptakan kaidah-kaidah mengenai hukum perusahaan, antara lain : o Badan Legislatif ( UU ) o Pihak-pihak yang mengadakan perjanjian untuk membuat kontrak o Hakim yang memutus perkara yang menciptakan yurisprudensi. o Masyarakat sendiri yang biasa menciptakan kopensi (dalam bidang usaha) Pasal 1319 KUH Perdata : yang menyatakan bahwa semua perjanjian baik bernama maupun tidak bernama tunduk pada ketentuan umum yang termuat dalam Bab ini. (Bab I) Bab I : Tentang perikatan pada umumnya. Bab II : Tentang perikatan yang timbul dari perjanjian. Pasal I KUHD : bahwa setiap undang-undang hukum perdata berlaku juga Bab perjanjian yang diatur dalam setiap undang-undang ini. Peraturan perundang-undangan lainnya yang dibentuk oleh pemerintah : - UU BUMN - UU Kekayaan Intelektual - Pengangkutan di darat, air dan udara. - Ketentuan mengenai perasuransian. - Perkoperasian - Pasar modal - Perseroan Terbatas, dsb. Kontrak Perusahaan. 1. Kontrak perusahaan merupakan sumber pertama kewajiban serta hak serta tanggung jawab para pihak. 2. Asas kebiasaan berkontrak yaitu pasal 1338 ayat (1) Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. 3. Dalam kontrak perusahaan sering melibatkan pihak ketiga dalam hal penyerahan barang (perusahaan ekspedisi), pergudangan, asuransi. 4. Dalam Yurisprudensi kewajiban dan hak yang telah ditetapkan oleh hakim di pandang dengan dasar yang adil untuk menyelesaikan sengketa dan hak para pihak Misalnya yurisprudensi : - Jual beli - Putusan perkara merk Nomor /341/PK PDT/1986 - Srnopi dan Stok Nomor 1272/1984 Kebiasaan Merupakan sumber hukum yang dapat diikuti oleh para pengusaha. Kriteria kebiasaan yang di pakai sebagai sumber hukum bagi pengusaha : - Perbuatan yang bersifat keperdataan - Mengenai kewajiban dan hak yang seharusnya di penuhi. - Tidak bertentangan dengan UU dan kepatutan - Diterima oleh para pihak secara sukarela karena dianggap hal yang lebih dan patut. - Menuju akibat hukum yang dikehendaki oleh para pihak. Perjanjian Baku yaitu dimana salah satu pihak telah menuangkan perjanjian tersebut didalam format formulir. PP Nomor 27 Tahun 1978 pasal (3) Pengambilalihan adalah perbuatan hukum atau badan hukum atau orang perorangan untuk mengambil alih baik seluruh atau sebagian besar saham perseroan yang dapat mengakibatkan beralihnya pengendalian terhadap perseroan tersebut. Akuisisi = Pengambilalihan (take over) - UU Nomor 1 Tahun 1995 : PT - UU Nomor 7 Tahun 1992 : Perbankan - PP Nomor 27 Tahun 1978 pasal (3) UU Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (pasal 103-105) Wewenang untuk mengakuisisi adalah RRPS Jeni-jenis Akuisisi : Ditinjau dari segi kekuasaan perseroan Akuisisi Internal yaitu akuisisi terhadap perseoan dalam kelompok atau group sendiri. Akuisisi Eksternal yaitu akuisisi terhadap perseroan luar atau group sendiri atau terhadap perseroan dari kelompok lain. Ditinjau dari segi keberadaan perseoan Akuisisi pinansial yaitu akusisi terhadap beberapa perseroan tertentu dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan pinansial memperbaiki kondisi perseroan-perseroan terakuisisi. Akusisi strategis yaitu akuisisi engan tujuan untuk menciptakan sinergi berdasarkan pertimbangan angka panjang. - Akuisisi Horizontal yaitu akuisisi perseroan yang memiliki produk dan jasa yang sejenis atau pesaing yang memiliki daerah kekuasaan yang sama dengan tujuan untuk memperluas pasar. - Akuisisi Vertical yaitu akuisisi terhadap beberapa perseroan yang memiliki produk atau ketentuan sejenis dengan tujuan untuk mengurangi mata rantai dari hulu sampai ke hilir. - Akuisisi Komkomerasi yaitu akuisisi bebrapa perseroan yang tidak mempunyai kaitan bisnis secara langsung dengan bisnis perseroan pengakuisisi dengan tujuan membentuk komlomerasi yag lebih besar. Keuntungan Akuisisi - Kelangsungan hidup perseroan terjamin karena makin kuat. - Pengaruh persaingan dapat dikurangi - Kedudukan atau keuangan erseroan bertambah kuat - Arus barang ke pasaran terjamin. - Perseroan yang rugi menjadi stabiii kerugiannya. - Kualitas atau mutu barang dapat di tingkatkan. Kerugian Akuisisi Pemegang saham royalitas makin terdesak oleh pemegang saham mayoritas Secara diam-diam akuisisi cenderung menuju pada pusat penguasaan ekonomi pada pusat penguasan tertentu dalam bentuk monopoli. Pemasukan pendapatan Negara disektor pajak akan berkurang karena daftar laba rugi menunjukan angka rendah bagi bayar pajaknya. Perseroan mengakuisisi dapat menguasai pasar dengan bebas sehingga menjadi pemegang monopoli dan dalam hal ini sulit di awali karena belum ada undang undang anti monopoli. Akuisisi Bank Diatur dalam PP Nomor 28 tahun 1999 dan Perbankan UU Nomor 10 tahun 1998 Dalam pasal 1 angka 4 : akuisisi pangambil alihan kepemilikan suatu bank yang mengakibatkan beralihnya pengendalian terhadap bank. Syarat Akuisisi Bank Mendapat izin dari Bank Indonesia (penting) karena Bank Indonesia sebagai pusat yang bertanggung jawab terhadap bank-bank yang ada di Indonesia. Tujuan Akuisisi Bank - Dapat mendorong kinerja bank dan system kinerja nasional - Tidak menimbulkan permusuhan kekuatan ekonomi pada suku cadang atau dalam bentuk monopoli yang merugikan masyarakat. - Tidak merugikan nasabah bank Akuisisi Akuisisi adalah tindakan pengambil alihan saham perusahaan secara sebagian atau secara keseluruhan guna menyelamatkan perusahaan dari kebangkrutan. Jadi bisa dikatakan,akuisisi bisa merupakan suatu langkah spekulasi dari suatu perusahaan dalam menyelamatkan perusahaanya dari suatu kebangkrutan,mengapa akuisisi bisa dikatakan sebagai suatu langkah spekulasi,karena tak jarang suatu perusahaan yang bangkrut dan memilih akuisisi sebagai penyelamatan akhirnya peran serta perusahaan setelah akuisisi menjadi kian menipis karena kebijakan pengakuisisi menjadi kebijakan yang paling dominan. Merger Akuisisi sebagai suatu pilihan dalam penyelamatan perusahaan tidak selalu merupakan hal yang absurd karena akusisi itu sendiri memiliki kekurangan tersendiri,katakanlah suatu perusahaan selamat dari kebangkrutan karena memilih akusisisi akan tetapi di sisi lain pesan serta perusahaan yang di akuisisi malah terpojok dengan kebijakan sang akuisitor. Pada merger cenderung bagaimana manajemen kedua perusahaan dapat menstabilkan setiap kebijakan karena dalam hal ini terjadi suatu penggabungan dua persuahaan menajadi satu perusahaan karena berbagai factor salah satunya,salah satu perusahaan mengalami kemunduran usaha. Pada dasarnya merger adalah suatu keputusan untuk mengkombinasikan atau menggabungkan dua atau lebih perusahaan menjadi satu perusahaan baru. Dalam konteks bisnis, merger adalah suatu transaksi yang menggabungkan beberapa unit ekonomi menjadi satu unit ekonomi yang baru. Proses merger umumnya memakan waktu yang cukup lama, karena masing-masing pihak perlu melakukan negosiasi, baik terhadap aspek-aspek permodalan maupun aspek manajemen, sumber daya manusia serta aspek hukum dari perusahaan yang baru tersebut. Oleh karena itu, penggabungan usaha tersebut dilakukan secara drastis yang dikenal dengan akuisisi atau pengambilalihan suatu perusahaan oleh perusahaan lain. Dilihat dari motifnya, perusahaan-perusahaan melakukan merger sebenarnya didasarkan atas pertimbangan ekonomis dan dalam rangka memenangkan persaingan dalam bisnis yang semakin kompetitif. Cost saving dapat dicapai karena dua atau lebih perusahaan yang memiliki kekuatan berbeda melakukan penggabungan, sehingga mereka dapat meningkatkan nilai perusahaan secara bersama-sama.Merger juga dimaksudkan untuk menghindarkan perusahaan dari bangkrut, dimana kondisi salah satu atau kedua perusahaan yang ingin bergabung sedang dalam ancaman bangkrut. Penyebabnya bisa karena missmanagement atau karena faktor-faktor lain seperti kehilangan pasar, keusangan teknologi dan/atau kalah bersaing dengan perusahaan-perusahaan lainnya. Melalui merger, kedua perusahaan tersebut akan bersama menciptakan strategi baru untuk menghindari risiko bangkrut. Alasan dan Tujuan penggabungan dan peleburan. - Memperbesar jumlah modal - Menyamakan jalur distribusi - Memperbesar sinergi perusahaan - Mengurangi persaingan Tujuan : - Kepentingan perseroan - Harus memperhatikan kepentingan masyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan usaha - Memperhatikan kepentingan kreditur o o o o HUKUM PERPAJAKAN Pajak merupakan lapangan hukum yang utama. Soal pajak adalah soal negara berarti bahwa menyangkut seluruh rakyat yang berada di wilayah Republik Indonesia. Hukum pajak belum lama menjelma menjadi suatu cabang ilmu pengetahuan tersendiri yang berarti bahwa hukum pajak itu menjadi sumber inspirasi baik yang bersifat ilmiah maupun yang bersifat popularitas. Sehubu...ngan dengan perubahan struktur masyarakat maka hukum perpajakan Indonesia mengalami perubahan-perubahan dan disesuaikan dengan jiwa baru atau jiwa reformasi dalam era globalisasi dunia, karena itu maka hukum perpajakan Indonesia bukan saja penting bagi pendidikan akan tetapi perlu mendapat perhatian khusus dari para pemimpin rakyat dan politisi. Arti hukum perpajakan Hukum pajak disebut juga hukum fiscal yang berarti adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang meliputi wewenang pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannya kembali kepada masyarakat melalui kas negara. Hukum perpajakan merupakan bagaian dari hukum public yang mengatur hubungan-hubungan antara negara dan orang-orang atau badan-badan hukum yang berkewajiban membayar pajak. Tugas hukum perpajakan Menelaah keadaan-keadaan dalam masyarakat yang dapat dihubungkan dengan pengenaan pajak, merumuskannya dalam peraturan-peraturan hukum dan menafsirkan peraturan-peraturan hukum itu. yang penting disini adalah tidak boleh diabaikan latar belakang ekonomis dari keadaan-keadaan dalam masyarakat. Luasnya hukum perpajakan erat hubungannya dengan klehidupan masyarakat terutama dibidang kehidupan ekonomi dalam masyarakat, maka peraturan-peraturan perpajakan sering berubah-ubah atau mengharuskan perubahan-perubahan peraturan pajaknya. Artinya cara pengatran pajak harus disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat sebagai reaksi dari perubahan dalam kehidupan ekonomi masyarakat itu. Devinisi hukum perpajakan Menurut Prof . Dr. Adriani Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terhutang oleh wajib pajak sesuai peraturan-peraturannya dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk serta kegunaannya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan. Kesimpulan yang dapat ditarik dari pengertian diatas tersebut adalah : Memasukkan pajak dianggapnya suatu keharusan dalam arti yang luas, disamping itu devinisi ini dititik beratkan pada fungsi budgetair sedangkan pajak masaih mempunyai fungsi lain yaitu fungsi mengatur. Yang dimaksud dengan tidak mendapat pretasi kembali dari negara adalah prestasi khusus yang erat hubungannya dengan pembayaran itu sendiri, prestasi seperti hak untuk mempergunakan jalan-jalan umum, perlindungan dan penjagaan dari pihak kepolisian dan TNI. Sudah barang tentu diperoleh dari para pembayar pajak itu, akan tetapi diperolehnya itu tidak secara individual dan tidak ada hubungannya langsung dengan pembayaran itu sendiri, buktinya orang yang tidak membayarpun dapat mengenyam kenikmatannya. Menurut Prof DR. Suparman Sumahamijaya Didalam desertasinya “Pajak Berdasarkan Azas Gotong Royong” yang dibuat di UNPAD pada tahun 1964 menyebutkan pajak adalah iuran wajib berupa uang atau barang yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menuntut biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum. Ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak dikesimpulkan yang dari pengertian diatas tersebut adalah : - Pajak dipungut berdasarkan atau dengan ketentuan undang-undang serta peraturan pelaksanannya - Dalam pembayaran pajak, tidak ada ketentuan untuk mendapatkan prestasi individu atau perorangan oleh pemerintah - Pajak dipungut oleh negara baik oleh pemerintah pusat maupun oleh pemerintah daerah - Pajak diperuntukan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintahan yang bila dari peasukannya masih terdapat surplus maka dipergunakan untuk membiayai kepentingan umum (public interest) - Pajak dapat pula mempunyai tujuan yang tidak budgetair yaitu mengatur bagaiman pajak itu dibayar. Prof.Dr.Rohmat Soemitro, S.H, didalam bukunya berjudul “Dasar-Dasar Hukum Pajak Dan Pajak Pendapatan” isinya sebagai berikut : Pajak adalah iuran rakyat kepada negara berdsarkan undang-undang (yang dipaksakan) dengan tidak mendapatkan kontra prestasi atau jasa timbal yang langsung,dapat digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Penjelasan tentang defenisi tersebut diatas adalah sbb: - Dapat dipaksakan artinya bila hutang itu tidak dibayar maka dapat ditagih dengan menggunakan kekerasan,melalui surat paksa dan surat sita serta dilakukan penyanderaan. Yang dimaksud dengan kontraprestasi berarti tidak mendapatkan prestasi dari pemerintah. - Pajak adalah pweralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya (kelebihannya) digunakan kepentingan public/persediaan untuk kepentingan public Prof. DR. Smeets Pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terhutang melalui norma-norma umum,yang dapat dipaksakan tanpa adanya kontra prestasi individual untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Dalam hal ini smets mengakui bahawa defenisinya hanya menonjolkan fungsi budgeter saja,dan kemudian ia menambahkan fungsi mengatur pada defenisinya. Sistem perpajakan yang lama tidak sesuai lagi dengan tingkat kehidupan sosial ekonomi masyarakat di Indonesia, baik dari segi kegotongroyongan nasional maupun dari laju pembangunan nasional, maka peran pajak sangat penting bagi subjek pajak karena penerimaan pajak dalam negeri sangat dibutuhkan guna mewujudkan kelangsungan dan peningkatan pembangunan nsaional. Oleh karena itu pemerintah mengundangkan Undang-undang Nomor 28 tahun 2007 sebagai pengganti Undang-undang Nomor 16 tahun 2000 tentang tata cara pemungutan pajak, dan juga Undnag-undang Nomor 17 tahun 2000 sebagai pengganti dari Undag-undang Nomor 10 tahun 1994 tentang PPh. Karakteristik dan prinsip dari pemungutan pajak adalah sbb: Pemungutan pajak merupakan perwujudan dan maupun peran serta warga negara dan angoota masyarakat (wajib pajak) untuk membiayai keperluan pemerintah dan pembangunan nasional. Anggoata masyarakat wajib pajak diberi kepercayaan sepenuhnya untuk mebayar dan melapor sendiri pajak yang terhutang (self assesment), sehingga melalui sistem ini pelaksanaan administrasi perpajakan diharapkan dapat dilaksanakn dengan lebih mudah,tertib dan terkendali. Tanggung jawab atas kewajiban pelaksanaan berada pada anggota masyarakat wajib pajak itu sendiri. Pemerintah dan pengawasan serta pemeriksaan terhadap pelaksanaan kewajiban perpajakan wajib pajak,berdasarkan ketentuan yang telah digariskan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan itu. Kesimpulan: Disimpulan, bahwa dalam sistem pemungutan pajak ini, fiskus memberi kepercayaan yang lebih besar kepada anggota masyarakat wajib pajak untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya. Selain itu jaminan dan kepastian hukum mengenai hakdan kewajiban perpajakan bagi masyarakat wajib pajak lebih diperhatikan, sehingga dapat merangsang peningakatan kesadaran dan tanggung jawab perpajakan di masyarakat. Pengertian-pengertian: Wajib pajak adalah orang atau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-unjdangan perpajakan di tentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan. Badan adalah perseroan terbatas,BUMN atau BUMD dalam bentuk apapun, persekutuan,perseroan atau perkukmpulan lainnya seperti: firma,kongsi,perkumpulan kopersasi,yayasan atau lembaga dan bentuk usaha yang lain yang tetap. Surat paksa adalah surat perintah membayar pajak dan tagihan yang berkaitan dengan pajak sesuai dengan UU No.19 tahun 2000 tentang penagihan pajak negara dengan surat paksa Masa pajak adalah jangka waktu tertentu yang digunakan sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang terhutang. Pada umumnya tahun pajak sama dengan tahun takwimatau tahun kalender. Wajib pajak dapat menggunakan tahun pajak yang tidak sama dengan tahun takwim selama 12 bulan hal ini harus dilaporkan kepada Dirjen pajak setempat. Ketentuan tersebut dapat dilaksanakan apabila telah disetujui oleh Dirjen pajak. Tahun pajak sama dengan tahun takwim atau sama dengan tahun kalender dimulai 1 Januari 2008 sampai dengan 31 Desember 2008, hal ini berarti pembukuan dimulai 1 anuari 2008 dan berakhir 31 Desemberd 2008 (disebut juga tahun pajak 2008). Tahun pajak tidak sama dengan tahun takwim - 1 uli 2008 sampai dengan 30 Juni 2009 Pembukuan dimulai dari 1 Juli 2008 dan berakhir pada 30 Juni 2009 karena 6 bulan pertama jatuh pada tahun 2008 maka disebut tahun pajak 2008 - 1 April 2008 sampai dengan 30 Maret 2008 Pembukuan dimulai 1 April 2008 dan berakhir pada 30 Maret 2009 disebut juga tahun pajak 2008 karena lebih dari 6 bulan jatuh pada tahun 2009 Hukum pajak termasuk hukum public Hukum pajak adalah sebagian dari hukum public dan meruakan bagian dari tata tertib hukum yang mengatur hubungangan antara penguasa dan warganya, artinya ketentuan yang memuat cara-cara, mengatur pemerintah. Yang termasuk kedalam hukum publik : - Hukum Tatat Negara - Hukum Pidana - Hukum Administratif Hukum pajak merupakan anak bagian dari hukum administrative, meskipun ada yang menghendaki agar hukum pajak diberikan tempat tersendiri disamping hukum adminuistratif yang diartikan sebagai otonomi hukum pajak karena hukum pajak mempunyai tugas yang bersifat lain daripada hukum administrative yaitu hukum pajak dipergunakan juga sebagai alat untuk menentukan politik perekonomian, selain itu hukum pajak pada umumnya mempunyai tata tertib dan istilah tersendiri untuk lapangan pekerjaannya. Hunungan hukum pajak dengan hukum perdata Hukum perdata adalah bagian dari keseluruhan hukum yang mengatur hubungan antar orang-orang pribadi, dimana hukum pajak banyak sekali sangkut pautnya, ini berarti bahwa kebanyakan hukum pajak mencari dasar pemungutannya atas kejadian-kejadian, keadaan-keadaan dan perbuatan-perbuatan hukum yang bergerak dalam lingkup perdata seperti: - Pendapatan - Kekayaan - Perjanjian atau penyerahan - Pemindahan hak karena warisan Penerimaan Negara BEA dan CUKAI Pada hakekatnya bea dan cukai termasuk pajak tidak langsung dan merupakan pungutan pemerintah pusat (Direktorat Jenderal Bea dan Cukai) BEA Bea masuk yaitu dipungut atas barang yang dimasukan kedalam daerah pabean berdasarkan harga nilai barang tersebut atau berdasarkan tariff yang sudah ditentukan. Bea keluar yaitu dikenakan atas sejumlah barang yang dikeluarkan keluar daerah pabean berdasarkan tariff yang sudah sitentukan bagi masing-masing golongan barang, bea ini sekarang sudah tidak dilaksanakan lagi dan sekarang diganti dengan “pajak export tambahan”. CUKAI Yaitu pungutan yang dikenakan atasa barang-barang tertetu berdasarkan tariff yang sudah ditetapkan untuk masing-masing jenis barang tertentu. Contoh : rokok, minuman keras, dsb. RETRIBUSI Yaitu pungutan yang dilakukan sehubungan dengan sesuatu jasa atau fasilitas yang diberikan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah secara langsung dan nyata kepada pembayar. Contoh : retribusi parker, retribusi jalan tol, dsb. IURAN Yaitu pungutan yang dilakukan sehubungan dengan sesuatu jasa atau fasilitas yang diberikan oleh pemerintah secara langsung dan nyata kepada kelompok atau golongan pembayar. Contoh : iuran sampah, iuran keamanan, dsb. “Dalam prakteknya tidak ada perbedaan yang tajam antara pemberian jasa atau fasilitas kepada individu atau kelompok sehingga terdapat istilah retribusi dan iuran”. SUMBANGAN Yaitu pungutanyang tidak termasuk kedalam retribusi dan iuran dengan demikian pungutan yang dilakukan tidak jelas nampak ada diberikan suatu balas jasa atau fasilitas sebagai imbalannya. Contoh ; sumbangan wajib. o o o ANEKA PERJANJIAN BAB I JUAL BELI Definisi ... Jual beli adalah suatu perjanjian bertimbal balik dalam mana ,pihak yang satu (si penjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedangkan pihak yang lainnya (si pembeli) berjanji untuk membayar harga yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut. Saat terjadinya perjanjian jual beli Unsur-unsur pokok dalam perjanian jual beli adalah barang dan harga, sesuai asas konsesualisme (kesepakatan) yang menjiwai hukum perjanjian maka perjanjian jual beli akan ada saat terjadinya atau tercapainya “sepakat” mengenai barang dan harga. Sifat konsesual dari jual beli tersebut ditegaskan dalam pasal 1458 BW yang berbunyi “jual beli sianggap sudah terjadi antara kedua belah pihak seketika setelah mereka mencapai sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar”.Sebagaimana diketahui hukum perjanjian dari BW menganut asas konsesualisme, artinya ialah bahwa untuk melahirkan perjanjian cukup dengan sepakat saja dan bahwa perjanjian itu sudah dilahirkan pada saat atau detik tercapainya konsesus sebagaimana dimaksud diatas. Kewajiban Penjual Bagi pihak penjual terdapat dua kewajiban utama dalam perjanjian jual beli, diantaranya yaitu : Menyerahkan hak milik atas barang yang diperjual belikan. Kewajiban menyerahkan hak milik meliputi segala perbuatan yang menurut hukum diperlukan untuk mengalihkan hak milik atas barang (barang bergerak, barang tetap maupun barang tak bertubuh atau piutang atau penagihan atau claim) yang diperjual belikan itu dari si penjual kepada pembeli Menanggung tenteram atas barang tersebut. Kewajiban untuk menanggung kenikmatan tenteram merupakan konsekuwensi dari pada jaminan yang oleh penjual diberikan kepada pembeli bahwa barang yang dijual dan dilever itu adalah sungguh-sungguh miliknya sendiri yang bebas dari sesuatu beban atau tuntutan dari sesuatu pihak. Kewajiban tersebut menemukan realisasinya dalam kewajiban untuk memberikan penggantian kerugian jika sampai terjadi si pembeli karena suatu gugatan pihak ke tiga. Kewajiban Pembeli Kewajiban pembeli adalah membayar harga pembelian pada waktu dan ditempat sebagaimana dietapkan menurut perjanjian. Jika pada waktu membuat perjanjian tidak ditetapkan tetang tempat dan waktu pembayaran maka si pembeli harus memmbayar ditempat dan pada waktu dimana penyerahan barangnya harus dilakukan (pasal 1514) Resiko dalam perjanjian jual beli Risiko adalah kewajiban memikul kerugian yang disebabkan oleh suatu kejadian (peristiwa) diluar kesalahan salah satu pihak. Dengan demikian maka persoalan tentang risiko itu merupakan buntut dari persoalan tentang keadan memaksa, suatu kejadian yang tak disengaja dan tak dapat diduga. Mengenai resiko dalam jual beli dalam BW disebutkan ada tiga peraturan yang terkait akan hal itu, yaitu : Mengenai barang tertentu (pasal 1460) Mengenai barang yang dijual menurut berat, jumlah atau ukuran (pasal 1461) Mengenai barang-barang yang dijual menurut tumpukan (pasal 1462) Namun perlu diingat bahwa selama belum dilever mengenai barang dari macam apa saja, resikonya masih harus dipikul oleh penjual, yang masih merupakan pemilik sampai pada saat barang itu secara yuridis diserahkan kepada pembeli. Jual beli dengan hak membeli kembali Kekuasaan untuk membeli kembali barang yang telah dijual (recht van wederinkoop, right to repurchase) diterbitkan dari suatu perjanjian dimana si penjual diberikan hak untuk mengambil kembali barangnya yang telah dijual, dengan mengembalikan harga pembelian yang telah diterimanya disertai semua biaya yang telah dikeluarkan (oleh si pembeli) untuk menyelenggarakan pembelian serta penyerahannya, begitu pula biaya-biaya yang perlu untuk pembetulan-pembetulan dan pengeluaran-pengeluaran yang menyebabkan barang yang dijual bertambah harganya. (pasal 1519 dan 1532) Jual beli piutang dan lain-lain hak takbertubuh Dalam pasal 1533 disebutkan bahwa penjualan suatu piutang meliputi segala sesuatu yang melekat padanya, seperti penangungan-penanggungan, hak-hak istimewa dan hipotik-hipotik. Kemudian dalam pasal 1534 disebutkan “barangsiapa yang menjual suatu piutang atau suatu hak takbertubuh lainnya, harus menanggung bahwa hak itu benar ada pada waktu diserahkannya, biarpun penjualan dilakukan tanpa janji penanggungan. Hak reklame (menuntut kembali) Dalam hal jual beli diadakan tanpa suatu janji bahwa harga barang boleh diangsur atau dicicil dan pembeli tidak membayar harga itu, maka selama barangnya masih berada ditangannya si pembeli, penjual dapat menuntut kembali barangnya asal penuntutan kembali itu dalam jangka waktu 30 hari. Dasar hukum pengaturan menganai hak reklame adalah terdapat dalam pasal 1145 BW. Selain itu juga dapat dijumpai dalam pasal 230 KUHD, akan tetapi dalam KUHD tersebut hanya berlaku dalam halnya si pembeli telah dinyatakan pailit. Syarat-syarat untuk melancarkan reklame dalam KUHD adalah lebih longgar dibandingkan dengan syarat-syarat yang ditetapkan dalam pasal 1145 BW, yaitu : Jual beli tidak usah jual beli tunai (kontan), jadi jual beli kreditpun boleh. Penuntutan kembali dapat dilakukan dalam jangka waktu 60 hari, jadi lebih lama dari jangka waktu yang diperkenankan oleh pasal 1145 BW Tuntutan reklame masih boleh dilancarkan meskipun barangnya sudah berada ditangan orang lain. Jual beli “barang orang lain” Pasal 1471 BW menggariskan “jual beli barang orang lain adalah batal dan dapat memberikan dasar untuk penggantian biaya, kerugian dan bunga, jika si pembeli tidak telah mengetahui bahwa barang itu kepunyaan orang lain” BAB II TUKAR MENUKAR Tukar-menukar adalah suatu perjanjian dengan mana kedua belah pihak mengikatkan dirinya untuk saling memberikan suatu barang secara bertimbal-balik sebagai gantinya suatu barang lain. Perjanjian ini juga dikenal dengan nama “barter”. Segala apa yang dapat dijual, dapat juga menjadi objek perjanjian tukar-menukar. Segala peraturan-peraturan tentang perjanjian jual-beli juga berlaku terhadap perjanjian tukar-menukar (pasal 1546) Resiko dalam perjanjian tukar-menukar diatur dalam pasal 1545 yang berbunyi : “jika suatu barangtertentu yang telah dijanjikan untuk ditukar, musnah diluar kesalahan pemiliknya, maka persetujuan dianggap sebagai gugur dan siapa yang dari pihaknya telah memenuhi persetujuan, dapat menuntut kembali barang yang ia telah berikan dalam tukar menukar”. BAB III SEWA MENYEWA Devinisi Sewa-menyewa adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lainnya kenikmatan dari suatu barang, selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran suatu hargayangoleh pihak yang tersebut terakhir itu disanggupi pembayarannya (pasal 1548 B.W) Sewa menyewa adalah suatu perjanjian konsensual.artinya ia sudah sah dan mengikat pada detik tercapainya sepakat mengenai unsure-unsur pokoknya, yaitu barang dan harga. Kewajiban pihak yang satu adalah menyerahkan barangnya untuk dinikmati oleh pihak yang lain, sedangkan kewajiban pihak yang terakhir ini adalah membayar “harga sewa”. Pasal 1579 berbunyi: “pihak yang menyewakan tidak dapat menghentikan sewanya dngan menyatakan hendak memaai sendiri barangnya yang disewakan, kecuali jika telah diperjanjikan sebelumnya”. Tentang harga sewa: kalau dalam jual beli harga harus berupa uang, karena kalau berupa barang perjanjianyabukan jual-beli lagi tetapi menjadi tukar-menukar, tetapi dalam sewa-menyewa tiadaklah menjadi keberatan bahwa harga sewa itu berupa barang atau jasa. Kewajiban-kewajiban pihak yang menyewakan Piahak yang menyewakan mempunyai kewajiban: Menyerahkan barang yangdisewakan kepada si penyewa Memelihara barang yangdisewakan sedemikian hingga itu dapat dipakai untuk keperluan yang dimaksudkan. Memberikan keapada si penyewa kenkmatan tenteram dari barang yang diseakan selama berlangsungnya persewaan. Kewajiban-kewajiban penyewa Bagi si penyewa ada dua kewajiban utama yaitu: Memakai barang yang disewa sebagai seorang “bapk rumah yang baik”, sesuai dengan tujuan yang diberikan kepada barang itu menurut perjanjian sewanya. Membayar harga sewa pada waktu-waktu yang telah ditentukan menurut pejanjian. Resiko dalam sewa pemnyewa Menurut pasal 1553, dalam sea-menyewa itu mengenai barang yangdipersewakan dipikul oleh si pemilik barang, yaitu pihak yang menyewakan. Gangguan dari piphak ketiga Apabila selama wakttu sewa, si penyewa dalam pemakaian barang yang disewakan diganggu oleh seorang pihak ketiga berdasar atas suatu hak yang dikemukakan oleh orang pihak ketiga aka dapatlah si penyewa menuntut dari pihak yang menyewakan supaya uang sewa dikurangi secara sepadan dengan sifat gangguan itu. Mengulang sewakan Si penyewa jika kapadanya tidak telah diperijinkan oleh pemilik barang, tidak diperbolehkan mengulang sewakan barang yang disewanya maupun melepas sewanya kepada orang lain. Kecuali kalau hal-hal itu diperjanjikan tetapi kalau menyewakan sebagian dari sebuah rumah tempat tinggal yang disewa adalah diperbolehkan kecuali kalau hal itu telah dilarang dalam perjanjian sewanya. Sewa tertulis dan sewa lisan Meskipun sewa menyewa adalah suatu perjanjian konsensual, namun oleh undang-undang diadakan perbedaan dalam akibat-akibatnya antara sewa tertulis dan sewa lisan. Jika sewa menyewa itu diadakan secara tertulis maka sewa menyewa berakhir demi hukum (otomatis) apabila waktu yang ditentukan sudah habis tanpa diperlukannya sesatu pemberitahuan pemberhantian untuk itu. Senaliknya jika sewa menyewa tidak dibuat dengan tertulis maka sewa itu tidak berahir pada waktu yang ditentukan. Perihal sewa menyewa secara tertulis diatur dalam pasal 1570 sedangkan perihal sewa menyewa yang tidak tertulis (lisan) diatur dalam pasal 1571. Jual beli tidak memutuskan sewa menyewa Dengan dijualnya barang yang disewa, suatu persewaan yang dibuat sebelumnya tidaklah diputuskan, kecuali apabila ia telah diperjanjikan pada waktu menyewakan barangnya (pasal 1576) Pandbeslag Merupakan hak utama yang diberikan oleh undang-undang atas barang-barang perabot rumah yang diakai untuk menghiasi rumah tersebut guna menjamin pembayaran tunggakkan uang sewa. Artinya dalam suatu eksekusi (lelang sita) atas barang-barang perabot rumah yang dipakai untuk menghiasi rumah tersebut, sipemilik rumah harus paling dahulu diberikan sejumlah yang cukup dari pendapatan lelangan untuk melunasi tunggakan uang sewa yang menjadi haknya, sebelum kreditu-kreditur lainnya menerima bagian mereka. 10. Sewa menyewa perumahan Masalaha perumahan merupakan suatu masalah social yang sangat penting. Pasca Perang Dunia II banyak rumah-rumah gedung yang dikuasai oleh pemerintah untuk diatur penggunaan atau penghuninya. Pada masa sekarang pengaturan mengenai hal itu oleh pemerintah digariskan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1958 tentang urusan perumahan. Pelaksanaan mengenai urusan perumahan diserahkan kepada Kantor Urusan Perumahan, oleh karenanya untuk menmpati rumah tersebut harus ad surat iji penghuni (SIP) yang diberikan oleh Kantor Urusan Perumahan. BAB IV SEWA BELI Sewa beli sebenarnya adalah suat macam jual beli, setidak-tidaknya ia lebih mendekati jual beli daripada sewa menyewa, meskipun ia merupakan suatu campuran dari keduanya dan diberikan judul “sewa menyewa”. Hakekat dari sewa beli adalah suatu macam perjanjian jual beli dimana selama harga belum dibayar lunas maka si pembeli menjadi penyewa dahulu dari barang yang ingin dibelinya. BAB V PERJANJIAN UNTUK MELAKUKAN PEKERJAAN Undang-undnag membagi perjanjianuntuk melakukan pekerjaan dalam tiga macam, yaitu : Perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu Maksud dalam perjanjian ini yaitu suatu pihak menghendaki dari pihak lawannya dilakukannya pekerjaan untuk mencapai suatu tujuan, untuk mana ia bersedia membayar upah, sedangkan apa yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut sama sekali terserah kepada pihak lawannya itu. Termasuk dalam golongan ini lajimnya yaitu hubungan antara seorang pasien dengan dokter, hubungan antara seorang pengacara dengan kliennya yang minta diurusinya suatu perkra, hubungan antara seorang notaries dengan seorang yang dating kepadanya untuk dibuatkan suatu akte dan lain sebagainya. Perjanjian kerja atau perburuhan yaitu perjanjian antara seorang buruh dengan seorang majikan, perjanjian mana ditandai oleh ciri-ciri : - Adanya suatu uah atau gaji tertentu yang diperjanjikan - Adanya suatu “hubungan diperatas” atau “dienstverhouding” yaitu suatu hubungan berdasarkan mana pihak yang satu (majikan) berhak memberikan perintah-perintah yang harus ditaati oleh yang lain. Mengenai hal ini iatur dalam pasal 1601 – 1603 BW. Sedangkan untuk perjanjian kerja laut diatur dalam Bab IV dari Buku II KUHD. Perjanjian pemborongan kerja Yaitu suatu perjanjian antara seorang (pihak yang memborongkan pekerjaan) dengan seorang lain (pihak yang memborong pekerjaan) dimana pihak pertama menghendaki sesuatu hasil pekerjaan yang disanggupi oleh pihak lawan, atas pembayaran suatu jumlah uang sebagai harga pemborongan . BAB VI PENGANGKUTAN Perjanjian pengangkutan adalah suatu perjanjian dimana satu pihak menyanggupi untuk dengan aman membawa orang atau barang dari satu ke lain tempat, sedangkan pihak yang lainnya menyanggupi akan membayar ongkosnya. Perjanjian pengangkutan ini diatur dalam Buku III KUHPdt pasal 1235- 1243. Disamping perjanjian, undang-undang dan kebiasaan merupakan sumber hukum pengangkutan, karena merupakan sebuah sumber hukum didalam perjanjian pengangkutan selain apa yang tertulis dalam suatu undang-undang adalah perjanjian antara pihak pengirim dan pihak pengangkut juga kebiasaan yang berderajat undang-undang merupakan termasuk sumber hukum Perjanjian pengangkutan selalu diikuti dengan dokumen pengangkutan, karena dokumen pengangkutan atau surat muatan merupakan atau dapat dijadikan bukti tertulis antara pengirim dan pengangkut apabila suatu saat terjadi perkara atau peristiwa hukum. BAB VII PERSEKUTUAN Definisi Yang dimaksud dengan persekutuan adalah suatu perjanjian antara dua orang atau lebih untuk berusaha bersama-sama mencari keuntungan yang akan dicapai dengan jalan masing-masing memmasukkan sesuatu dalam suatu kekayaan bersama (Pasal 1618 BW). Hubungan antara para sekutu Undang-undang menetapkan bahwa sekutu yang hanya memasukkan tenaganya saja, mendapat bagian yang sama dari keutungan bersama seperti sekutu yang memasukkan “modal yang paling sedikit (pasal 1633 ayat 2). Hubungan antar para sekutu, dalam hal adanya pertetangan antara kepentingan sekutu dan kepentingan persekutuan, selalu memberikan prioritas kepada kepentingan persekutuan. Apabila persekutuan, sebagai akibat kesalahan seorang sekutu didalam mengerjakan sesuatu urusan, menderita kerugian maka sekutu tersebut harus mengganti kerugian itu tanpa dibolehkan mengkonpensasikan keuntungan-keuntungan yang diperolehnya bagi persekutuan dalam lain urusan (pasal 1630) Hubungan para sekutu dengan pihak ketiga Tanggung jawab para sekutu terhadap pihak keiga ditegaskandalam pasal 1643 dimana para sekutu dapat dituntut oleh siberpiutang dengan siapa mereka telah bertindak, masing-masing untuk suatu jumlah dan bagian yang sama, meskipun bagian sekutu yang satu dalam persekutuan adalah kuarang daripada bagiansekutu yang lainya kecuali apabila sewaktu hutang tersebut dibuatnya dengan tegas ditetapkan kewajiban para sekutu itu untuk membayar hutang tersebut menurut imbangan besarnya bagian masing-masing dalam persekutuan. Macam-macam cara berakhirnya persekutuan Menurut pasal 1646 B.W persekutuan berakhir - Dengan lewatnya waktu untuk mana persekutuan telah diadakan - Dengan musnahnya barang atau diselesaikannya perbuatan yang menjadi pokok persekutuan - Atas kehendak semata-mata dari beberapa atau seorang sekutu - Jika salah seorang sekutu meninggal atau ditaruh dibawah pengampunan atau dinyatakan pailit. BAB VIII PERKUMPULAN Yaitu beberapa orang yang hendak mencapai suatu tujuan dala bidang non-ekonomis (tidak untuk mencari keuntungan) bersepakat mengadakan suatu kerjasama yang bentuk dan caranya diletakan dalam apa yang dinamakan anggaran dasar atau reklemen atau statuten. Suatu perkumpulan dapat dimintakan pengakuan sebagai badan hukum dari menteri kehakiman menurut peraturan sebagaimana termaktuk dalam lembaran Negara tahun 1870 no. 64 BAB IX PENGHIBAHAN Devinisi dan Ketentuan-ketentuan umum Menurut pasal 1666 B.W penghibahan adalah suatu perjanjian dengan mana si penghibah, di waktu hidupnya, dengan Cuma-Cuma dan dengan tridak dapat di tarik kembali, menyerahkan sesuatu barang guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu. Penghibahan hanyalah dapat mengenai barang –barang yang sudah ada, jiak ia meliputi barang –barang yang baru akan ada di kemudian hari maka sekadar mengenai itu hibahnya adalah batal (pasal 1667) Kecakapan untuk member dan menerima hibah Untuk menghibahkan, seorang, selainnya bahwa ia harus sehat pikirannya, harus sudah dewasa. Untuk menerima suatu hibah, dibolehkan orang itu belum dewasa tetapi ia harus diwakili oleh orang tua atau wali. Cara menghibahkan sesuatu Pasal 1682 menetapkan tiada suatu hibah kecuali yang disebutkan dalam pasal 1687, dapat, atas ancaman batal, dilakukan selainnya dengan suatu akta notaries, yang aslinya disimpan oleh notaries itu. Dari pasal 1682 dan 1687 tersebut dapat kita lihat bahwa untuk penghibahan benda tak bergerak ditetapkan suatu formalitas dalam bentuk akte notaries tetapi untuk penghibahan barang bergerak yang bertuguh atau surat penagihan hutang atas tunjuk tidak diperlukan sesuatu formalitas dan dapat dilakukan secara sah dengan penyerahan barangnya begitu saja kepada sipenerima hibah atau kepada seoarang pihak ketiga yang menerima pemberian hibah atas namanya. Penarikan kembali dan penghapusan hibah Meskipun suatu penghibahan tidak dapat ditarik kembali secara sepihak tanpa persetujuan pihak lawan namun ditentukan oleh pasal 1688 bagi si penghibah untuk dalam hal-hal tertentu menarik kembali atau menghapuskan hibah yang elah diberikan pada seseoarang. Penarikan kembali atau penghapusan penghibahan dialkukan dengan menyatakan kehendaknya kepada si penerima hibah disetai penuntutan kembali barang-barang yang telah di hibahkan dan apabila itu tidak dipenuhi sefcara sukarela maka penuntutan kembali barang-barang itu di ajukan kepada pengadilan. BAB X PENITIPAN BARANG Penitipan pada umumnya dan berbagai macamnya Penitipan adalah terjadi apabila seseorang menerima sesuatu barang darinorang lain, dengan syaratbahwa ia akan menyimpannya dan mengembalikannya dalam wujud asalnya. Mengenai hal ini diatur dalam pasal 1694 B.W. menurut undang-undang ada dua macam penitipan barang yaitu penitipan yang sejati dan sekestrasi. Penitipan barang yang sejati Penitipan barang yangsejati dianggap dibuat dengan Cuma-Cuma, jika tidak diperjanjikan sebaliknya, sedangkan ia hanyandapat mengenai barang barang yang bergerak (psal 1696). Sipenerima titipan barang tiadak diperbolehkan memakai barnang yang dititipkan untuk keperluan sendiri tanpa izinnya orang yang menitipkan barang , yang dinyatakan dengan tegs atau dipersangkakan, atas ancaman penggantian biaya, kerugian dan bunga jika ada alas an untuk itu (pasal 1712) Sekestrasi Adalah penitipan barang tentang mana ada perselisihan, di tangannya seorang pihak ketiga yang mengikatkan diri untuk, setelah perselisihan itu diputus, mengembalikan barang itu kepada siapa yang akan dinyatakan berhak, beserta hasil-hasilnya. Penitipan ini ada yang terjadi dengan persetujuan dan ada pula yang dilakukan atas perintah hakim atau pengadilan. Mengenai hal ini diatur dalam pasal 1730 – 1734 BAB XI PINJAM PAKAI Defenisi dan Ketentuan-ketentuan umum Pinjam pakai adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan suatu barang kepada pihak yagn lainnya untukdipakai dengan cuma-Cuma, dengan syarat bahwa yang menerima barang ini, setelah memakainya atau setelah lewatnya suatu waktu tertentu, akan mengembalikannya (pasal 1740). Dalam pinjam pakai, pihak yang meminjamkan tetap menjadi pemilik dari barang yang dipinjamkan (pasal 1741). Segala apa yang dapat dipakai orang dan tidak musnah karena pemakaian, dapat menjadi bahan perjanjian pinjam-pakai (pasal 1742). Kewajiban peminjam Peminjam diwajibkan menyimpan dan memelihara barang pinjaman itu sebagai seorang bapak rumah yang baik dan tidak boleh memakainya guna suatu keperluan yang lain. Jika ia memakai barangnya pinjaman guna suatu keperluan lain atau lebih lama dari yang diperbolehkan, maka selain dari pada itu ia adalah bertanggung jawab atas musnahnya barangnyasekalipun musnahnya barang itu disebabkan karena suatu kejadian yang sama sekali tidak di sengaja (pasal 1744). Jiak barangnya pada waktu dipinjamkan, telah ditaksir harganya, maka musnahnya barang itu, biarpun ini terjadi karena suatu kejadian yang tidak disengaja, adalah atas tanggungan si peminjam, kecuali apabila telah diperjanjikan sebalknya(pasal 1746) Kewajiban orang yang meminjamkan Orang yang meminjamkan tidak boleh meminta kembali barang yang dipinjamkan selainnya setelah lewatnya waktu yang ditentukan, atau jika tidak ada ketentuan yang demikian, setelah barangnya dipakai atau dapat dipakai untuk keperluan yang dimaksudkan (pasal 1750). BAB XII PINJAM MEMINJAM Defenisi dan Ketentuan-ketentuan umum Pinjam-meminjam adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barangbarang yangmenghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang terakhir ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari jenis dan mutu yang sama pula (pasal 1754). Berdasarkan perjanjian pinjam-meminjam, pihak yang menerima pinjaman menjadi pemilik dari barang yang dipinjam, dan jika barang itu musnah, dengan cara bagaimanapun, maka kemusnahan itu adalah atas tanggungannya (pasal 1755) Kewajban orang yang meminjamkan Orang yang meminjamkan tidak boleh meminta kembali apa yang telah dipinjamkannya sebelum lewatnya waktu yang telah di tentukan dalam perjanjian (pasal 1759) Kewajiban peminjam Orang menerima pinjaman sesuatu diwajibkan mengembalikannya dalam jumlah dan keadaan yang sama dan pada waktu yang ditentukan (pasal 1763). Jka sipeminjam tidak mampu mengembalikan barang yang dipinjamnya dalam jumalah dan keadaanyang sama maka ia diwajibkan membayar harganya, dalam hal mana harus diperhatikan waktu dan tempat dimana barangnya, menurut perjanjian, harus dikembalikan. Meminjamkan dengan bunga Dalam pasal 1765 menyatakan bahwa adalah diperbolehkan memperjanjikan bunga atas peminjaman uang atau lain barang yang menghabis karena pemakaian. BAB XIII PERJANJIAN UNTUNG-UNTUNGAN Devinisi Adalah suatu perbuatan yang hasilnya mengenai untung ruginya, baik bagi semua pihak maupun bagi sementara pihak, bergantung kepada suatu kejadian yang belum tentu. Termasuk didalam perjanjian untung-untungan yaitu : perjanjian pertanggungan, bunga cagak hidup, perjudian dan pertaruhan. Mengenai perjanjian pertanggungan diatur dalam pasal 1774. Bunga cagak-hidup Bunga cagak hidup dapat dilahirkan dengan suatu prjanjian atas beban, atau dengan suatu akte hibah. Ada juga bunga cagak hidup itu diperoleh dengan wasiat. Suatu perjanjian atas beban adalah perjanjian timbale balik dimana prestasi dari pihak yang satu adalah imbalan dari prestasi pihak yang lain. Perjudian dan pertaruhan Baik dalam perjudian dan pertaruhan hasil tentang untungatau rugi digantungkan pada suatu kejadian yang belum tentu. Perbedaannya adalah bahwa dalam prjudian tiap-tiap pihak mengambil bagian atau ikut serta dalam permainan yang hasilnya akan menetukan untung atau rugi tersebut sedangkan dalam pertaruhan mereka berada di luar permainan tersebut, malahan adakalanya tidak ada sesuatu yang dinamakan permainan tetapi hanya ada suatu kejadian saja. Selanjutnya dalam prjudian hasil dari prmainan tersebut selalu hamper seluruhnya tergantung pada nasib dan tidak pada kepandaian sedangkan dala pertaruhan tidak usah demikian. BAB XIV PEMBERIAN KUASA Definisi Adalah suatu perjanjian dengan mana seorang memberikan kekuasaan atau wewenang kepada seseorang lain, yang menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan (pasal 1792). Kewajiban si kuasa Si kuasa diwajibkan selama ia belum dibebaskan, melaksanakan kuasanya, dan ia menanggung segala biaya, kerugian, dan bunga yang sekiranya dapat timbul karena tidak dilaksanakannya kuasa tersebut. Si kuasa bertanggungjawab untuk orang yang telah ditunujuk olehnya sebagai penggantinya dalam melaksanakan kuasanya : - Jika tidak telah diberikan kekuasaan untuk menunjuk seorang lain sebagai penggantinya. - Jika kekuasaan itu telah diberikan kepadanya tanpa tanpa penyebutan seorang tertentu, sedangkan orang yang dipilihnya itu ternyata seorang yang tak cakap atau tak mampu. Kewajiban si pemberi kuasa Si pemberi kuasa diwajibkan memenuhi perikatan-perikatan yang diperbuat oleh si kuasa menurut kekuasaan yang ia telah berikan kepadanya. Ia tidak terikat pada apa yang telah diperbuat selebihnya dari pada itu, selainnya sekadar ia telah menyetujuinya secara tegas atau secara diam-diam (pasal 1807). Berakhirnya pemberian kuasa Pasal 1813 memberikan bermacam-macam cara berakhirnya pemberian kuasa, yaitu : - Dengan ditariknya kembali kuasanya si jurukuasa - Dengan pemberitahuan penghentian kuasanya oleh sijurukuasa - Dengan meninggalnya, pengampunannya atau pailitnya si pemberi kuasa maupun si penerima kuasa - Dengan perkawinan si perempuan yang memberikan atau menerima kuasa. BAB XV PENANGGUGAN UTANG Devinisi dan sifat-sifat penanggungan Adalah suatu perjanjian dengan mana seorang pihak ketiga, guna kepentingan si berpiutang, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatannya si berpiutang, manakala orang ini sendiri tidka memenuhinya (pasal 1820). Tiada penanggungan , jika tidak ada suatu perikatan pokok yang sah. Namun dapatlah seorang mengajukan diri sebagai penanggung untuk suatu perikatan, biarpun perikatan itu dapat dibatalkan dengan suatu tangkisan yang hanya mengenai dirinya pribadi di berutang, misalnya dalam hal kebelumdewasaan (pasal 1821). Menurut pasal 1827 mengatakan bahwa si berutang diawajibkan memberikan seorang penanggung, harus mengajukan seorang yang mempunyai kecakapan menurut hukum untuk mengikatkan dirinya, cukup mampu untuk memenuhi perikatannya dan berdiam di wilayah Indonesia. Akibat-akibat penanggungan antara kreditur dan penanggung Si penanggung tidaklah diwajibkan membayar kepada si berpiutang, selainnya jika siberutang lalai, sedangkan harta benda si berutang ini harus lebih dahulu di sita dan di jual untuk melunasi utangnya (pasal 1831). Sipenangguna tidak dapat menuntut supaya harat-benda si berutang terlebih dahulu di sita dan di lelang untuk melunasi utangnya, dalam hal: Apabila ia telah melepaskan hak istimewanya untuk enuntut dilakukannya lelang-sita lebih dahlu atas hartabenda si berutang. Apabila ia telah mengikatkan dirinya bersama-sama dengan si berutang utama secara tanggung menanggung. Jika si berutang dapat mengajukan suatu tangkisan yang hanya mengenai dirinya sendiri secarapribadi. Jika si berutang berada dalam keadaan pailit. Dalam halnya penanggungan yang di printahkan oleh hakim. Akibat-akibat penanggung antara si berutang dan si penanggung dan antara si penanggung sendiri Si penanggung da juga mempunyai hak menuntut penggantian biaya, rugi dan bunga, jika ada alasan untuk itu (pasal 1839). Sipenanggung dpat menuntut si berutang untuk diberikan ganti rugi atau untuk dibebaskan dari perikatannya, bahkan sebelum ia membayar utangnya : Apabila ia di gugat di muka hakim untuk membayar Apabila si berutang telah berjanji membebaskannya dari penanggungannya di dalam suatu waktu tertentu Apabila utangnya telah dapat di tagih karena lewatnya jangka waktu yang telah di tetapkan untuk pembayarannya Setelah lewatnya waktu sepuluh tahun jika perikatannya pokok tidak mengandung jangka waktu tertentu untuk pengakhirannya, kecuali apabila perikatannya pokok sedemikian sifatnya, hingga ia tidak dapat diakhiri sebelum lewatnya jangka waktu tertentu, sepertinya suatu perwalian (pasal 1843) Hapusnya penanggungan Perikatan yang diterbitkan dari penanggungan hapus karena sebab-sebab yang sama, sebagaimana yang menyebabkan berakhirnya perikatan-perikatan yang lainnya (pasal 1845). Adapun cara-cara berakhirnya perikatan-perikatan itu diatur dalam bab IV dari buku III B.W. (pasal 1381 dan selanjutnya). Si penanggung dibebaskan apabilla ia, karena kesalahan si berpiutang, tidak lagi dapat menggantikan hak-haknya, hiotik-hipotik dan hak-hak istimewanya si berpiutang (pasal 1848). BAB XVI PERDAMAIAN Perdamaian adalah suatu perjanjian denganmana kedua belah pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang,mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung atau mencegah timbulnya suatu perkara. Perjanjian ini tidaklah sah, melainkan jika dibuat secara tertulis (pasal 1851). Untuk mengadakan suatu perdamaian diperluikan bahwa seorang mempunyai kekuasaan untuk melepaskan haknya atas hal-hal yang termaksud dalam perdamaian itu. Tentang kepentingan-kepentingan keperdataan yang terbit dari suatu kejahatan atau pelanggaran, dapat diadakan perdamaian. Perdamaian initidak sekali-kali menghalangi pihak kejaksaan untuk menuntut perkaranya (pasal 1853). BAB XVII ARBITRASE Arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa perdata diluar peradilan umum yang di dasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Perjanjian Arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrrase yang tercantum dalam perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa. o o o o o o Fungsi dan Arti Perizinan Pembukaan UUD 1945 menetapkan dengan tegas tujan kehidupan bernegara yang berdasarkan hukum, hal ini berarti bahwa hukum merupakan supermasi atau tiada kekuasaan lain yang lebih tinggi selain hukum. Upaya merealisasi Negara berdasarkan hukum dan mewujudkan kehidupan bernegara maka hukum menjadi pengarah, perekayasa, dan perancang bagaimana bentuk masyar...akat hukum untuk mencapai keadilan. Berkaitan dengan hal tersebut perlu adanya pembentukan peraturan dimana harus disesuaikan dengan perkembangan masyarakat serta tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengertian izin menurut devinisi yaitu perkenan atau pernyataan mengabulkan. Sedangkan istilah mengizinkan mempunyai arti memperkenankan, memperbolehkan, tidak melarang. Secara garis besar hukum perizinan adalah hukum yang mengatur hubungan masyarakat dengan Negara dalam hal adanya masyarakat yang memohon izin. Hukum perizinan berkaitan dengan Hukum Publik Prinsip izin terkait dalam hukum publik oleh karena berkaitan dengan perundang-undangan pengecualiannya apabila ada aspek perdata yang berupa persetujuan seperti halnya dalam pemberian izin khusus. Izin merupakan perbuatan Hukum Administrasi Negara bersegi satu yang diaplikasikan dalam peraturan berdasarkan persyaratan dan prosedur sebagaimana ketentuan perundang-undangan. Pengertian izin menurut devinisi yaitu perkenan atau pernyataan mengabulkan. Sedangkan istilah mengizinkan mempunyai arti memperkenankan, memperbolehkan, tidak melarang. Secara garis besar hukum perizinan adalah hukum yang mengatur hubungan masyarakat dengan Negara dalam hal adanya masyarakat yang memohon izin. Izin menurut Prof. Bagirmanan Yaitu merupakan persetujuan dari penguasa berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk memperuraikan tindakan atau perbuatan tertentu yang secara umum dilarang. Izin khusus Yaitu persetujuan dimana disini terlihat adanya kombinasi antara hukum publik dengan hukum prifat, dengan kata lain izin khusus adalah penyimpamgan dari sesuatu yang dilarang. Izin yang dimaksud yaitu : Dispensi adalah merupakan penetapan yang bersifat deklaratoir, menyatakan bahwa suatu perundang-undangan tidak berlaku bagi kasus sebagaimana diajukan oleh seorang pemohon. Linsesi adalah izin untuk melukakn suatu yang bersifat komersial serta mendatangkan laba dan keuntungan. Konsesi adalah suatu penetapan administrasi negara yang secara yuridis dan kompleks, oleh karena merpuakan seperangkat dispensasi-dispensasi, jiin-ijin, serta lisensi-lisensi disertai dengan pemberian semcam wewenang pemerintah terbatas pada konsensionaris. Konsesi tidak mudah diberikan oleh karena banyak bahaya penyelundupan, kekayaan bumi dan kekayaan alam negara dan kadang-kadang merugikan masyarakat yang bersangkutan. Wewenang pemerintah diberikan kepada konsensionaris walupun terbatas dapat menimbulkan masalah pilitik dan social yang cukup rumit, oleh karena perusahaan pemegang konsesi tersebut dapat memindahkan kampong, dapat membuat jaringan jalan, listrik dan telepon, membentuk barisan keamanan, mendirikan rumah sakit dan segala sarana laiannya. W.F Prins yang diterjemaahkan oleh Kosim Adi Saputra Bahwa istilah izin dapat diartikan tampaknya dalam arti memberikan dispensasi dari sebuah larangan dan pemakaiannya dalam arti itu pula. Uthrecht Bilamana pembuatan peraturan tidak umunya melarang suatu perbuatan tetapi masih juga memperkenankannya asal saja diadakan secara yang ditentukan untuk masing-masing hal konkrit maka perbuatan administrasi Negara memperkenankan perbuatan tersebut bersifat suatu izin (vergunning). Prajyudi Atmosoedirdjo Suatu penetapan yang merupakan dispensasi dari suatu larangan oleh undang-undang yang kemudian larangan tersebut diikuti dengan perincian dari pada syarat-syarat , criteria dan lainnya yang perlu dipenuhi oleh pemohon untuk memperoleh dispensasi dari larangan tersebut disertai denganpenetapan prosedur dan juklak (petunjuk pelaksanaan) kepada pejabat-pejabat administrasi negara yang bersangkutan. Sjachran Basah Perbuatan hukum Negara yang bersegi satu yang mengaplikasikan peraturan dalam hal konkreto berdasarkan persyaratan dan prosedur sebagaimana diteapakan oleh ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Ateng Syafruddin Merupakan bagian dari hubungan hukum antara pemerintah administrasi dengan warga masyarakat dalam rangka menjaga keseimbangan kepentingan antara masyarakat dengan lingkungannya dan kepentingan individu serta upaya mewujudkan kepastian hukum bagi anggota masyarakat yang berkepentingan. Perbedaan prinsip antara Hukum Publik dengan Hukum Privat Hukum Publik Bersifat umum Bersifat ordonatif (sepihak) Diatur oleh perundang-undangan Sanksi sangat tegas Mengatur masyarakat Hukum Privat Bersifat individu Bersifat koordinatif (dua pihak) Berdasaran kesepakatan atau perjanjian Sanksi kurang tegas Mangatur individu dengan individu Fungsi lain dari izin Untuk memberikan kepastian hukum bagi pemohon dan masyarakat Sebagai tindakan preventif untuk menghadapi pihak-pihak yang mengganggu Sebagai pengaman secara hukum Proses pengeluaran izin Proses sentralisasi (pengaitan terhadap hukum-hukum yang berlaku) Proses disentralisasi Pengertian tentang izin dan kaitannya dengan penetapan Alasan mengapa di negara berkembang segala sesuatu diperlukan izin dikarenakan di negara berkembang seperti Indonesia terdapat unsur pembinaan dan pemerintah melakukan pembinaan melalui pengawasan prepentif. Hukum Administrasi Negara (HAN) HAN Matriel Bersifat umum Bersifat abstrak Berkelanjutan Dapat dijadikan landasan kerja bagi pejabat Administrasi Negara yang mengembangkan tugas servis publik khususnya di bidang perdagangan, dalam melaksanakan tugas itu maka pejabata Administrasi Negara dapat melakuakan suatu perbuatan penetapan atau beschikkinghandeling yang dapat menghasilkan penetapan atau beschiking yang merupakan kongkrisitas dari peraturan perundang-undangan dalam HAN Matriel HAN Formal Bersifat pribadi Bersifat konkrit Final Berdasarkan teori HAN Formal di bagi menjdi : HAN Formal Non Kontentiosa Yaitu ketentuan hukum yang mengatur cara bagaimana suatu penetapan itu dibuat dan diterbitkan. HAN Formal Kontentiosa Yaitu ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur cara bagaimana menjelaskan sengketa TUN apabila merugikan individu atau badan hukum perdata. HAPTUN merupakan hukum formal, karena merupakan salah satu unsure dari peradilan demikian juga dengan hukum matrielnya. Oleh karena itu peratun tanpa hukum matriel akan lumpuh sebab tidak tahu apa yang akan dijelmakan, dan sebaliknya peradilan tanpa hukum formal akan liar sebab tidak ada batas yang jelas dalam melakukan kewenangannya. Hukum formal tanpa hukum matriel akan menimbulkan kesewenang-wenangan dan sebaliknya hukum matriel tanpa hukum formal hanya merupakan angan-angan belaka. Membuat konkrit (HAN formal) dari yang abstrak (HAN matriel) diperlukan suatu normativasi (merupakan proses yang membuat norma-norma dalam berbagai jenis yang bentuknya telah ditetapkan dalam hierarkis ketentuan perundang-undangan), prose situ berarti membuat individual-konkrit dari umum-abstrak. Pengertian Beschikking (penetapan) W.F PRINS Beschikking adalah suatu tindakan hukum sepihak dibidang pemerintahan, dilakukan oleh penguasa berdasarkan kewenangan khusus. E. UTRECIIT Beschikking adalah suatu perbuatan berdasarkan hukum publik yang bersegi satu, ialah dilakukan oleh alat-alat pemerinah berdsarkan sesuatu kekuasaan istimewa. VAN DER POT Beschikking adalah perbuatan hukum yang dilakukan alat-alat pemerintahan itu dalam menyelenggarakan hal khusus, dengan maksud mengadakan perubahan dalam lapangan bidang hukum. VAN POELJE Beschikking adalah pernyataan tertulis kehendak suatu alat perlengkapan pemerintah dari penguasa pusat yang sifatnya sepihak yang ditujukan keluar, berdasarkan kewenangan atas dasar suatu peraturan HTN atau hukum Tata Pemerintahan dan yang tujuannya ialah perubahan atau suatu pembatalan suatu hubungan hukum yang ada atau penetapan sesuatu hubungan hukum yang baru ataupun yang memuat suatu penolakan pemerintah penguasa terhadap hal-hal tersebut. CORNELIS VAN VOLLENHOVEN Beschikking adalah suatu penetapan atau keputusan yang bersifat legislatif yang mempunyai arti berlainan. Sumber Undang-Undang ( UU No . 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara ) Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan Hukum Tata Usaha Negara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bersifat konkrit, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. • o o o o o Hak Asasi Tersangka Untuk Mendapat Bantuan Hukum Dalam Sistem Peradilan Pidana A. Sistem Peradilan Pidana dan HAM Salah satu perkembangan yang menjadi isu Internasional ialah Penerapan Hak-hak Asasi Manusia, dan lazimnya Pelaksanaan Hak Asasi tersebut berkaitan erat dengan Proses Peradilan Pidana, atau juga penyalahgunaan kekuasaan dari suatu rejim Pemerintahan yang tidak lagi patuh atau dibatasi oleh hukum. Selain kekuasaan yang tak terbatas, yang menjadi perhatian pula adalah proses peradilan pidana dimanapun di dunia ini sering menjadi sorotan, baik oleh negara maju, negara berkembang ataupun suatu negara yang menganut prinsip-prinsip hukum modern, yakni hukum yang selalu mengikuti perkembangan masyarakat dan menghargai serta menjunjung tinggi harkat kemanusiaan. Sebagaimana tercantum dalam “Law and the Behavioral Sciences”, oleh Lawrence M. Friedman dan Stewart Macaulay, halaman 122, yang berjudul: The Practice of Law as Confidence Game: Organization Coopation of a Prefession, oleh Abraham S. Blumberg, dikatakan bahwa, suatu keputusan pengadilan mungkin berlandaskan dasar pemikiran hukum, namun pada saat yang sama keputusan itu mungkin merupakan penipuan diri melalui kemungkinan-kemungkinan yang dibebankan oleh aspek-aspek dari realitas sosial dimana pembuat hukumpun tidak menyadari. Dalam hal perbaikan kondisi seperti ini, proses peradilan pidana yang seharusnya tidak boleh berpihak pada lembaga, atau siapapun selain keadilan, maka dalam proses pidana diharapkan peran serta lembaga bantuan hukum untuk ikut serta menegakkan keadilan. Lembaga pengadilan menentukan peran bagi pengacara atau pembela dalam suatu kasus kriminil yang sangat berbeda dengan yang digambarkan secara tradisional. Para sosiolog antara lain telah memusatkan perhatian mereka pada pencabutan hak-hak dan ketidak mampuan sosial seperti ras, kesukuan, dan kelas sosial sebagai sumber dari kesalahan seorang tertuduh dalam suatu peradilan pidana. Yang lebih banyak diabaikan adalah variabel dari organisasi pengadilan itu sendiri. Organisasi itu berdasarkan nilai-nilai pragmatis, prioritas birokrasi dan administrasi. Tujuan dan disiplin organisasi membebankan serangkaian tuntutan dan kondisi praktek pada profesi masing-masing dalam peradilan pidana, dimana mereka menanggapi dengan melepaskan ideologi dan komitmen profesional mereka terhadap terdakwa yang menjadi klien mereka dalam melaksanakan tuntutan-tuntutan yang lebih tinggi dari organisasi pengadilan. Semua personel pengadilan, termasuk pengacara terdakwa cenderung dipilih menjadi “agent-mediator” yang membantu terdakwa menentukan kembali situasinya dan menyusun kembali persepsinya sejalan dengan kesalahan. B. Lembaga Peradilan dan Peran Pengacara Abraham S. Blumberg dalam “Law and the Behavioral Science (1967) menyatakan, bahwa lembaga peradilan memberi peran bagi lembaga bantuan hukum atau para pengacara pembela dalam suatu kasus kriminal. Dan para pengacara ini diberikan status khusus dan kewajibannya selain sebagai “Agent Mediator” yang membantu terdakwa menyusun kembali persepsinya sejalan dengan kesalahan. Dari penelitian yang dilakukan bahwa para pengacara ini umumnya dibagi dua, yakni Pengacara Tetap dan pengacara Tidak Tetap. Pengacara tidak tetap kehadirannya sesuai dengan kepentingan para kliennya saja. Sedangkan pengacara yang tetap ini selalu hadir dan menjaga hubungan yang baik kepada semua tingkat personal di pengadilan sebagai upaya untuk memelihara dan membangun prakteknya. Hubungan informalnya itu juga sebagai upaya untuk merundingkan permohonan dan hukuman. Kunci untuk memahami peran pengacara dikemukakan oleh Abraham S. Blumberg dalam kasus kriminal, ialah penetapan biaya yang ditentukan, dan pekerjaan yang berhubungan dengan hukum tidak dapat diraba karena berupa jasa sehingga seolah-olah akan tampak bahwa profesi itu tidak pantas untuk mendapat bayaran. Tentang jumlah pembayaran merupakan suatu fungsi dari nilai suatu kejahatan, oleh sebab itu para pengacara selalu mempertahankan ketegangan dari kliennya untuk terus membangkitkan kecemasan mereka. Dengan demikian maka akan terdorong untuk segera membayar. Sehingga berakibat bahwa hubungan antara pengacara, klien dan pengacara lawannya diwarnai dengan suatu sifat permusuhan, rasa curiga, ketergantungan dan penghasutan. Para pengacara sering pula dituduh menyebabkan jalannya perkara menjadi rumit, dan sering mereka hanya mencari kepentingan pribadi dari kliennya, dan para pengacara inipun sering menjadi agen rangkap dari klien dan juga peradilan, kemudian sebagai agen rangkap pengacara pembela melakukan misi yang benar-benar penting bagi organisai peradilan dan tertuduh. Kedua prinsip ini dimaksudkan untuk menghindari jalannya perkara, dalam hal ini hakim akan bekerjasama dengan Pengacara dalam beberapa hal penting, misalnya menangguhkan kasus terdakwa di penjara, dan menunggu pembelaan atau hukum jika pengacara meminta terdakwa yang demikian. Dengan cara ini hakim memberi kesempatan untuk agar pengacara memperoleh bayarannya. Pengacara juga bisa minta penangguhan kepada hakim. Jadi tujuan akhir dari adegan ini adalah untuk melindungi bayaran pengacara. Bahkan hakim akan menolong pengacara ini dengan meminjamkan kantor dan ruangan pengadilan (Abraham S. Blumberg, 1967: 122 – 123). Dalam kenyataannya peran pengacara ini sangat dominan dan diperlakukan istimewa kehadirannya, suka atau tidak suka, terlebih lagi pada negara-negara yang masih mengalamii sela-sela kelemahan hukum itu. Biasanya para pengacara kebanyakan meminta bayaran di muka sebagai biaya operasional. Dan juga selalu mengatakan pada kliennya untuk bersiap-siap menerima kekalahan setelah mendapatkan bayaran tersebut. C. Beberapa Model dalam Proses Peradilan Pidana Herbert L. Packer dalam bukunya yang terkenal “The Limits of the Criminal Sanction (1968); mengemukakan bahwa ada dua model dalam Sistem Peradilan Pidana, yaitu Crime Control Model (CCM), dan Due Process Model (DPM). Kedua model tersebut di atas yang disoroti adalah sebuah usaha yang memberi petunjuk operasional terhadap kompleksnyanilai-nilai yang mendasarinya. Hukum pidana sebagaimana disarankan oleh Packer adalah untuk menentukan dua sistem nilai yang berlawanan, yakni suatu ketegangan dari yang terlibat dalam hal ini, yaitu para pembuat undang-undang, hakim polisi, pengacara dan penuntut umum, dimana masing-masing nilai menjadi gambaran bagi pihak yang terlibat dan selalu bertentangan pada setiap gerak sesuai dengan waktu dan tokoh yang diwakili pada tiap proses kriminal itu. Adapun nilai-nilai tersebut merupakan suatu alat bantu analisis dan pertentangan kedua model itu tidak absolut dan merupakan abstraksi dari masyarakat Amerika, serta merupakan suatu cara pemeriksaan tentang bagaimana suatu perundang-undangan itu berjalan atau diterapkan dalam Peradilan Pidana di Amerika (Packer, 1968: 197). Kedua model tersebut di atas oleh Packer bukanlah label dari Das Sollen dan Das Sein, tetapi diartikan sebagai suatu hal yang mana baik dan tidak baik atau ideal, kedua model ini sebagai cara untuk memudahkan, bila membicarakan tentang tata kerja suatu proses yang dalam pelaksanaan sehari-hari melibatkan suatu rangkaian yang terjadi dalam proses peradilan pidana. Adapun nilai dasar dari kedua model itu yakni bahwa peraturan perundang-undangan itu harus ada terlebih dahulu perumusannya sebagai suatu tindak pidana yang diancam dengan pidana setiap pelanggarannya. Dan sebelum seseorang dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana, maka peraturan perundang-undangan yang dibuat itu menjadi dasar utama bagi penegak hukum dalam penerapannya. Jika ternyata terjadi pelanggaran terhadap ketentuan Perundang-undangan itu, maka pelaku tindak pidana harus diproses oleh pejabat yang diberi kewenangan untuk mengabil tindakan hukum sejak tahap pengangkatan, penahanan, sampai diadakan penuntutan di pengadilan. Kemudian dari kewenangan yang diberikan itu oleh Perundang-undangan, maka aparat penegak hukum dalam mengabil tindakannya terhadap tersangka harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku tersebut. Hak tersangka harus dihormati dan perlakuan terhadapnya tidak boleh sewenang-wenang. Hal yang penting dikemukakan oleh Packer selain beberapa asas dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana, yaitu tersangka tidak dibenarkan untuk dijadikan sebagai obyek pemeriksaan semata-mata, oleh karenanya Jaksa mempunyai kewajiban untuk membuktikan kesalahan terdakwa, karena berkenaan dengan posisinya sebagai Penuntut Umum. Adapun ciri khas dari crime control model itu ialah sangat mengandalkan “Profesionalisme” untuk mencapai effisiensi yang tinggi. Penanganannya dengan memakai atau menggunakan Assembly Line (ban berjalan). Karena profesional yang merupakan sifatnya, maka peraturan yang bersifat formal sering dilanggar, dan kadang-kadang untuk mendapatkan barang bukti, para profesionalis ini memaksakan cara-cara illegal untuk tujuan cepat dan effisiensi. Sehingga untuk menghindari hambatan dari proses pidana itu maka kewenangn kebijakan dari penegak hukum itu seringkali diperluas. Dan dalam kenyataannya bahwa Crime Control Model ini sering dipertentangkan sebagai kurang manusiawi dan tidak menghormati hak asasi manusia. Kemudian model yang kedua yakni Due Process Model dengan ciri-ciri selalu menganggap penting adanya refresif kejahatan, yaitu tahap ajudicatif (dalam sidang pengadilan harus ditentukan salah tidaknya tersangka), atas dasar legal guilt. Kemudian selalu mengadakan chek and recheck (obstacle couse) dan hal ini harus diuji menurut peraturan. Ciri berikutnya adalah menghormati undang—undang. Kemudian menempatkan kedudukan yang sama bagi setiap orang di depan hukum (Quality Control). Sehingga model ini dikatakan orang lebih manusiawi dan menghormati hak asasi manusia. Pada Due Process Model, sangat diperlukan peranan Bantuan Hukum yang dalam hal ini ialah pengacara untuk mendampingi tersangka sejak di tingkat penahanan, penangkapan, maupun tentunya di pengadilan. Sehingga para tersangka merasa tenang dalam pemeriksaan dan terhindar dari segala bentuk tekanan, paksaan dan penyiksaan. Walaupun disadari bahwa kehadiran bantuan hukum itu mengakibatkan biaya bertambah mahal dan jalannya suatu perkara menjadi agak lama. Namun di pihak lain dapat pula menjamin hak asasi manusia. Pada model lain dari proses peradilan pidana dikemukakan oleh John Griffith dalam “The Third Model of Criminal Process” (1970, dengan terlebih dahulu mengadakan telaah dari kedua model yang dikemukakan oleh packer. Maka menurutnya bahwa kedua model itu tidak membawa pada pemahaman yang tepat mengenai masalah-masalah hukumacara pidana. Ia mengatakan bahwa Family Model itu tersebut juga sebagai model pertempuran, dengan dasar utamanya ialah untuk mendamaikan kepentingan-kepentingan yang sama. Family Model ini sangat banyak mengakui harkat dan martabat manusia dan hal itu tidak dikaitkan dengan asas Presumption of Innocent, dan pada model inipun memerlukan peran pengacara. Pada bagian lain Griffith mengemukakan suatukasus Armstead, dimana persoalannya adalah seseorang yang belum dipidana belum dinyatakan bersalah, meskipun seseorang itu dinyatakan bersalah namun harus tetap dihormati, semua orang meski berhak untuk diperlakukan baik. Di sini ada suatu perwujudan hak asasi manusia (Griffith, 1970: 359 – 383). Untuk Indonesia yang mengakui dan melindungi hak-hak asasi manusia, termasuk hak asasi dari mereka yang disangka atau didakwa telah melalukan suatu tindak pidana. Dalam bidang hukum acara pidana yang berlaku, perlindungan terhadap hak asasi manusia itu telah diberikan oleh negara, misalnya dalam bentuk hak-hak-hak yang dimiliki oleh tersangka/terdakwa selama proses penyelesaian perkara pidana. D. Penutup Pemberian beberapa hak-hak tertentu kepada tersangka dalam proses penyelesaian perkara pidana merupakan salah satu inovasi dalam KUHAP sebagai ketentuan hukum acara pidana. Inovasi tersebut dapat bersumber kepada Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, yaitu tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang seperti diketahui, tidak saja mengandung restorasi terhadap kekuasaan kehakiman yang bebas, tetapi juga mengandung kerangka umum atau general framework dari lingkungan peradilan yang ada dengan Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi dan asas-asas mengenai Hukum Acara Pidana (Oemar Seno Adji, 1985: 31). Salah satu hak yang diberikan kepada tersangka terdakwa dalam proses penyelesaian perkara pidana adalah hak untuk mendapatkan bantuan hukum, di samping beberapa hak lainnya seperti mendapat pemeriksaan, hak untuk diberitahukan kesalahannya, hak untuk segara diajukan ke pengadilan, hak untuk mendapatkan putusan hakim yang seadil-adilnya, hak untuk mendapat kunjungan keluarga dan lain-lain. Bila dilihat sejarah hukum acara pidana di Indonesia, dapat diketahui bahwa hak mendapatkan bantuan hukum bagi tersangka/terdakwa itu telah mendapatkan pengaturannya dalam ketentuan hukum acara pidana yang lama, yaitu HIR atau yang lazim juga disebut dengan Reglemen Indonesia yang dibarui (Rbg). Dalam peraturan ini hak tersebut diatur dalam Pasal 250 dan 254, yang memberikan hak tersebut pada tersangka yang diancam dengan pidana mati serta hak tersangka untuk menghubungi pembelanya setelah berkasnya dilimpahkan ke Pengadilan Negeri. Hak untuk mendapatkan bantuan hukum bagi tersangka/terdakwa itu juga mendapatkan pengaturannya di dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang kemudian dicabut dan diganti dengan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 (Pasal 35, 36 dan 37) dan selanjutnya diatur dalam Pasal 69 – 74 KUHAP. Tentang Bantuan Hukum tersebut dikatakan dalam Pasal 69 antara lain adalah: “Penasehat hukum berhak menghubungi tersangka sejak saat ditangkap atau ditahan pada semua tingkat pemeriksaan menurut tata cara yang ditentukan dalam Undang-undang”. Dalam menciptakan suatu Undang-undang tentunya dilandasi sejumlah pemikiran dasar. Dan sering terjadi bahwa pemikiran dasar yang menjadi landasan diciptakannya suatu Undang-undang tidak tampak dalam pelaksanaan dari Undang-undang tersebut (Loebby Loqman, 1990: 10).Begitu pula dengan pengaturan beberapa lembaga tertentu di dalam Hukum Acara Pidana, termasuk pengaturan hak tersangka untuk mendapatkan bantuan hukum dalam proses penyelesaian perkara pidana. Bila diperhatikan lebih jauh ketentuan acara pidana yang pernah berlaku, terdapat perbedaan mendasar antara HIR dengan peraturan-peraturan lain, khususnya dalam hal mengatur hak mendapatkan bantuan hukum. Di dalam HIR hak tersebut baru diperoleh seorang tersangka setelah perkaranya sampai ke Pengadilan. Sementara dalam proses penyidikan hak tersebut tidak dapat dinikmati oleh tersangka. Tidak diaturnya hak mendapatkan bantuan hukum bagi tersangka dalam proses penyidikan itu, dalam praktek sering menimbulkan akses yang tidak baik, seperti penggunaan kekerasan oleh aparat penegak hukum mengejar pengakuan tersangka. Apabila di dalam HIR pengakuan tersangka adalah bukti yang utama, karena diletakkan pada urutan pertama dari alat-alat bukti yang lain. Untuk mendapatkan pengakuan tersebut maka penegak hukum akan melakukan tindakan apapun, tanpa takut dikenal sanksi karena sistem pemeriksaannya adalah sistem tertutup, dimana tersangka tidak didampingi oleh penasehat hukumnya. Mengantisipasi akses tersebut serta karena ketentuan Hukum Acara Pidana kita kemudian lebih berorientasi kepada hak-hak asasi manusia, maka di dalam ketentuan-ketentuan sesudahnya hak mendapatkan bantuan hukum itu kemudian diberikan kepada tersangka sejak permulaan pemeriksaan perkaranya. Dalam arti bahwa sejak pemeriksaan tahap penyidikan, seorang tersangka berhak untuk didampingi seorang penasehat hukum. DAFTAR PUSTAKA Blumberg, Abraham. S. 1967, The Practice of Law as Confidence Game: Organizational Cooptation of a Profession. University of New York. Friedman, Wolfgang, 1949. Legal Theory. London: Stevens & sons Limited Friedman, Lawrence M & Stewart Maculay. 1969. Law and Behavioral Science. Indianapolis : The Boobs Merrill Company Inc. Griffith, John. 1970. The Third Model of Criminal Process. Hamzah, Andi dan Siti Rahayu. 1983. Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan di Indonesia. Jakarta : Akademika Pressiondo. Seno Adji, Oemar, 1994, KUHAP Sekarang, Jakarta, Erlangga. Hullsman, H.C. 1984. Sistem Peradilan Pidana dalam Perspektif Perbandingan Hukum Pidana. Penyadur: Soedjono Disdjosisworo. Jakarta : Rejawali Pers. Packer, Herbert. L. 1968. The Limits of the Criminal Sanction. California: Stanford University Press. • o o o o o o o Etika dan Tanggungjawab Profesi Hukum TINJAUAN YURIDIS ETIKA DAN TANGGUNGJAWAB PROFESI HUKUM TERHADAP JAKSA URIP TRI GUNAWAN TERSANGKA KASUS SUAP BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1991 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DIHUBUNGKAN DENGAN DOKTRIN KEJAKSAN REPUBLIK INDONESIA TRI KARMA ADHYAKSA BAB I KASUS POSISI DAN PERMASALAHAN HUKUM A. Kasus Posisi ... Jaksa yang bertugas di Kejagung, Urip Tri Gunawan, ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Koordinator jaksa penyelidik kasus BLBI Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) milik obligor Grup Gadjah Tunggal Sjamsul Nursalim telah tertangkap basah bersama barang bukti berupa uang senilai US$ 660 ribu atau Rp 6 miliar. Urip Tri Gunawan adalah salah satu dari 35 jaksa daerah terbaik di Indonesia dan pernah menjadi Kepala Kejaksaan Negeri di Klungkung, Bali. Dia dipergoki sedang menerima suap dari Artalyta Suryani yang diduga terkait penghentian penyelidikan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia di Gedung Bundar, Kejaksaan Agung (Kejagung). Jaksa yang pernah menuntut mati Amrozi dan Imam Samudra dan sekarang menangani kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang menjerat Sjamsul Nursalim itu tertangkap tangan ketika menerima suap dari Artalyta Suryani di kediaman obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia Sjamsul Nursalim pada hari Jumat tanggal 29 Februari 2008 di kawasan Jakarta Selatan sekitar pukul 16.30 WIB. Tertangkapnya ketua tim jaksa penyelidik kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia merupakan bukti proses penyelidikan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia tersebut bermasalah. Sebab sebelum adanya insiden itu, penyelidikan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia dihentikan.. Hal tersebut dapat diduga ada kaitannya dengan penghentian kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia Sjamsul Nursalim. Oleh karena itu, kemudian Kejaksaan Agung pun didesak untuk mempertimbangkan kembali penghentian pidana kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang sudah dihentikan penyelidikannya oleh Tim 35 Kejagung yang diketuai oleh Jaksa Urip Tri Gunawan dengan alasan karena tidak ada perbuatan melawan hukum.. B. Permasalahan Hukum Berdasarkan kasus posisi yang telah diuraikan tersebut diatas, maka penulis dengan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan yang dimulai dengan analisa terhadap permasalahan yang ditulis dalam penyusunan tugas ini serta melakukan inventarisasi hukum positif guna penanganan dan penanggulangannya, mengidentifikasi beberapa permasalahan hukum yang berkaitan dengan penulisan tugas dalam mata kuliah Hukum Etika dan Tanggungjawab Profesi Hukum ini, yaitu sebagai berikut : Bagaimana pertanggungjawaban Jaksa Urip Tri Gunawan yang diduga telah menerima suap berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia ? Bagaimana pertanggungjawaban Jaksa Urip Tri Gunawan yang diduga telah menerima suap jka dihubungkan dengan Doktrin Tri Karma Adhyaksa sebagai doktrin Kejaksaan Republik Indonesia ? BAB II PEMERIKSAAN DOKUMEN Undang-undang Nomor 5 Tahun 1995 tentang Kejaksaan Republik Indonesia : Pasal 1 Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh Undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Hukum Acara Pidana dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh Hakim di sidang pengadilan. Jabatan fungsional jaksa adalah jabatan yang bersifat keahlian teknis dalam organisasi kejaksaan yang karena fungsinya memungkinkan kelancaran pelaksanaan tugas kejaksaan. Pasal 12 Jaksa diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena : Permintaan sendiri; atau Sakit jasmani atau rohani terus-menerus; atau Telah berumur 58 (lima puluh delapan) tahun dan 60 (enam puluh) tahun bagi kepala kejaksaan tinggi dan wakil kepala kejaksaan tinggi alau jabatan yang dipersamakan dengan kepala kejaksaan tinggi dan wakil kepala kejaksaan tinggi; atau Ternyata tidak cakap menjalankan tugas; atau Meninggal dunia. Pasal 13 (1) Jaksa diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya dengan alasan : Dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan; atau Terus menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas/ pekerjaannya; atau Melanggar larangan yang dimaksud dalam pasal 11; atau Melanggar sumpah atau janji jabatan; atau Melakukan perbuatan tercela. Pasal 15 (1) Apabila terhadap seorang jaksa ada perintah penangkapan yang diikuti dengan penahanan, dengan sendirinya jaksa tersebut diberhentikan sementara dari jabatannya oleh Jaksa Agung. (2) Pemberhentian sementara dapat dilakukan oleh Jaksa Agung dalam hal jaksa dituntut di muka pengadilan dalam perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tanpa ditahan. Pasal 27 (1) Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang : Melakukan penuntutan dalam perkara pidana ; Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan, Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan keputusanlepas bersyarat; Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik. (2) Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah. (3) Dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum, kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan : Peningkatan kesadaran hukum masyarakat Pengamanan kebijakan penegakan hukum Pengamanan peredaran barang cetakan Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama Penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal. Pasal 32 Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang : Menetapkan serta mengendalikan kebijakan penegakan hukum dan keadilan dalam ruang lingkup tugas dan wewenang kejaksaan Mengkoordinasikan penanganan perkara pidana tertentu dengan instansi terkait berdasarkan undang-undang yang pelaksanaan koordinasinya ditetapkan oleh Presiden Menyampingkan perkara demi kepentingan umum Mengajukan kasasi demi kepentingan hukum kepada mahkamah agung dalam perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara Mengajukan pertimbangan teknis hukum kepada mahkamah agung dalam pemeriksaan kasasi perkara pidana Menyampaikan pertimbangan kepada presiden mengenai permohonan grasi dalam hal pidana mati Mencegah atau melarang orang-orang tertentu untuk masuk ke dalam atau meninggalkan wilayah kekuasaan negara republik indonesia karena keterlibatannya dalam perkara pidana. BAB III PENDAPAT HUKUM 1. Pertanggungjawaban Jaksa Urip Tri Gunawan yang diduga telah menerima suap berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Pembaharuan undang-undang kejaksaan Republik Indonesia diarahkan dan dimaksudkan untuk memantapkan kedudukan dan peran kejaksaan agar lebih mampu dan berwibawa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya di dalam negara hukum yang berdasarkan Pancasila yang sedang membangun. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, kejaksaan harus mempu mewujudkan kepastian hukum, ketertiban hukum, keadilan dan kebenaran berdasarkan hukum dan mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan dan kesusilaan serta wajib menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum dan keadilan yang hidup didalam masyarakat. Kejaksaan juga berkewajiban untuk turut menjaga dan menegakkan kewibawaanpemerintah dan negara serta meluindungi kepentingan rakyat melalui penegakkan hukum. Berdasarkan kasus posisi yang telah dijelaskan sebelumnya, dimana Jaksa yang bertugas di Kejagung, Urip Tri Gunawan, ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Koordinator jaksa penyelidik kasus BLBI Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) milik obligor Grup Gadjah Tunggal Sjamsul Nursalim telah tertangkap basah bersama barang bukti berupa uang senilai US$ 660 ribu atau Rp 6 miliar, nampaknya perilaku jaksa yang bersangkutan tersebut sangatlah tidak seperti apa yang diharapkan dari pembaharuan undang-undang kejaksaan Republik Indonesia tersebut. Etika jaksa tersebut tidaklah mencerminkan apa yang seharusnya dimiliki oleh para jaksa sebagai subsistem penegak hukum di Indonesia. Akan tetapi sanksi bagi Jaksa Urip itu sendiri sangat tergantung pada proses hukum pidana yang bakal dijatuhkan. Kalau dia sendiri bisa dipecat setelah ada keputusan hakim yang memiliki keputusan hukum tetap. Bagaimana dia diberhentikan sementara, proses administrasinya, nanti Jamwas ada aturan-aturannya. Berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang kejaksaan Republik Indonesia maka terhadap jaksa Urip Tri Gunawan yang tertangkap tangan telah mau disuap oleh Artalyta Suryani tersebut selain dapat diberikan sanksi pidana juga tidak menutup kemungkinan diberikan pula sanksi administratif kepada jaksa Urip Tri Gunawan berupa diberhentikan sementara dari jabatannya oleh Jaksa Agung. Sebagaimana hal tersebut terdapat pengaturannya dalam Pasal 13 ayat (2) yang menentukan bahwa Jaksa diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya dengan alasan : Dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan; atau Terus menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas/ pekerjaannya; atau Melanggar larangan yang dimaksud dalam pasal 11; atau Melanggar sumpah atau janji jabatan; atau Melakukan perbuatan tercela. Kemudian lebih lanjut lagi dijelaskan dalam Pasal 15 ayat (1) dan (2) undang-undang tentang kejaksaan, yang selengkapnya berbunyi : (1) Apabila terhadap seorang jaksa ada perintah penangkapan yang diikuti dengan penahanan, dengan sendirinya jaksa tersebut diberhentikan sementara dari jabatannya oleh Jaksa Agung. (2) Pemberhentian sementara dapat dilakukan oleh Jaksa Agung dalam hal jaksa dituntut di muka pengadilan dalam perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tanpa ditahan. 2. Pertanggungjawaban Jaksa Urip Tri Gunawan yang diduga telah menerima suap jka dihubungkan dengan Doktrin Tri Karma Adhyaksa sebagai doktrin Kejaksaan Republik Indonesia. Kejaksan adalah pejabat yang diberwi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak atas nama negara dibidang penuntutan, sehingga untuk dapat mengemban tugasnya dengan baik dibutuhkan kualifikasi tersendiri. Agar kejaksaan dapat mengemban tugasnya dengan baik maka berdasarkan keputusan Jaksa Agung Nomor Kep-052/J.A/8.1979 ditetapkan pula tentang Doktrin Adhyaksa Tri Karma adhyaksa, dimana doktrin tersebut berunsurkan : Catur Asana, merupakan empat landasan yang mendasari eksistensi, peranan, wewenang dan tindakan kejaksaan dalam mengemban tugasnya baik dibidang yustisial, nonyustisial, yudikatif maupun eksekutif. Tri Atmaka, merupakan tiga sifat hakiki kejaksaan yaitu tunggal, mandiri dan mumpuni. Tri Krama Adhyaksa, adalah sikap mental yang baik dan terpuji yang harus dimiliki oleh setiap jajaran kejaksaan yang meliputi sifat satya, adi dan wicaksana. Dengan demikian, maka perilaku Jaksa Urip Tri Gunawan yang dipergoki sedang menerima suap dari Artalyta Suryani yang diduga terkait penghentian penyelidikan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia tersebut sangat tidak mencerminkan hal-hal yang harus dipenuhi oleh seseorang yang sudah diberikan kewenangan oleh negara untuk dapat menegakkan hukum tanpa adanya diskriminasi dengan tidak meentingkan kepentingan pribadi ataupun golongan melainkan mementingkan kepentingan masyarakat banyak disertai rasa keadilan sosial. Seorang jaksa yang seharusnya memiliki sifat satya, kesetiaan yang bersumber pada rasa jujur baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, terhadap diri pribadi dan keluarga maupun kepada semua manusia, dimana kesemuanya itu diartikan juga jujur terhadap tugas, akan tetapi dengan dia mau menerima uang suap hal itu dapat diartikan bahwa dia sudah tidak mau jujur dan tidak dapat dibenarkan dengan alasan apapun. BAB IV KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan Dari pembahasan tersebut diatas maka dapat dikesimpulkan beberapa hal, diantaranya yaitu : Berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang kejaksaan Republik Indonesia maka terhadap jaksa Urip Tri Gunawan yang tertangkap tangan telah mau disuap oleh Artalyta Suryani tersebut selain dapat diberikan sanksi pidana juga kemungkinan diberikan pula sanksi administratif kepada jaksa Urip Tri Gunawan berupa diberhentikan dari jabatannya oleh Jaksa Agung. Perilaku Jaksa Urip Tri Gunawan yang dipergoki sedang menerima suap dari Artalyta Suryani yang diduga terkait penghentian penyelidikan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia tersebut sangat tidak mencerminkan hal-hal yang harus dipenuhi oleh seseorang yang sudah diberikan kewenangan oleh negara untuk dapat menegakkan hukum tanpa adanya diskriminasi dengan tidak meentingkan kepentingan pribadi ataupun golongan melainkan mementingkan kepentingan masyarakat banyak disertai rasa keadilan sosial seperti apa yang dikehendaki Doktrin Adhyaksa Tri Karma adhyaksa, dimana doktrin tersebut berunsurkan Catur Asana, Tri Atmaka, dan Tri Krama Adhyaksa. B. Rekomendasi Sebagai rekomendasi atas pokok permasalahan yang telah dibahas dalam penulisan tugas ini, maka penulis mengemukakan hal-hal yaitu kepada Jaksa Urip Tri Gunawan jika nanti dia terbukti bersalah karena telah mau menerima uang suap, maka kepadanya untuk diberikan sanksi pidana yang lebih berat karena kedudukan dia sebagai penegak hukum yang fungsional harusnya bisa bersikap jujur. Selain hal tersebut diberikan pula sanksi administratif yang berat kepada Jaksa Urip Tri Gunawan berupa pemecatan dengan tidak hormat, karena perilakunya tersebut sudah mencoreng nama baik penegak hukum (korps Kejaksaan Republik Indonesia), dimana dampak dari semua itu mengakibatkan timbulnya ketidak percayaan masyarakat terhadap hukum dan penegak hukumnya itu sendiri. • o o o Eksistensi Pengadilan Niaga dan Perkembangannya Dalam Era Globalisasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Globalisasi ditandai dengan berakhirnya perang dingin, peningkatan perdagangan internasional, revolusi teknologi komunikasi, kemajuan bidang transportasi, dan meningkatnya kreativitas perekonomian dengan menggunakan komputer dan internet. Lebih dari itu sistem yang berlaku akan ber...ubah lebih efisien dan produktif. Peradilan juga akan terkena dampak globalisasi. Hal ini diungkapkan Hilario G. Davide Jr. (Chief Justices of the Court of the Republic of the Philipines), “Globalisasi adalah pergerakan ekonomi dari masa depan. Dunia Global menyodorkan banyak kesempatan untuk mencapai peradilan yang independen. Dalam kalimat yang senapas, hal itu juga mengandung jebakan riil yang akan mengikis independensi peradilan itu sendiri.” Banyak negara, khususnya negara berkembang, harus menyesuaikan diri dan memperbaharui sistem peradilan mereka, karena desakan kebutuhan internasional, yakni masuknya perusahaan-perusahaan asing (multinasional). Kondisi ini ditenggarai sebagai salah satu faktor pendorong perbaikan instrumen badan peradilan di negara berkembang, termasuk di Indonesia. Gejolak moneter pada pertengahan tahun 1997 menimbulkan kesulitan besar bagi perekonomian nasional, terlebih lagi muncul kondisi sebagian pelaku usaha atau debitor tidak mampu memenuhi kewajiban pembayaran utang kepada para lembaga pembiayaan/kreditor. Hal ini merupakan akibat ekspansi usaha yang mereka lakukan. Untuk mengatasi persoalan tersebut, pada 22 April 1998 pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Nomor 1 tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Kepailitan yang kemudian disahkan menjadi Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan (selanjutnya UUK) pada 24 Juli 1998. UUK merupakan penyempurnaan dari Failissement Verordening Staatsblad tahun 1905 Nomor 217 jo. Staatsblad tahun 1906 No. 384. UUK diharapkan menjadi sarana efektif yang dapat digunakan secara cepat sebagai landasan penyelesaian utang-piutang. Salah satu soal penting setelah penyempurnaan aturan kepailitan adalah pembentukan Pengadilan Niaga sebagai pengadilan khusus dalam lingkungan Peradilan Umum. Pengadilan Niaga yang pertama dibentuk adalah Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Selanjutnya berdasarkan Keppres Nomor 97 tahun 1999, 18 Agustus 1998, didirikan Pengadilan Niaga di Makassar, Surabaya, Medan, dan Semarang. Pengadilan Niaga sangat diperlukan untuk menyelesaikan sengketa-sengketa niaga secara cepat; juga menyelesaikan aneka masalah kepailitan, seperti masalah pembuktian, verifikasi utang, actio pauliana, dan lain sebagainya. Di sinilah kadang terjadi persimpangan dengan kompetensi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam hal pemeriksaan perkara, teruama perkara-perkara yang bersifat perdata. Melalui UUK, kewenangan mutlak (kompetensi absolut) Pengadilan Umum untuk memeriksa permohonan pailit dialihkan ke Pengadilan Niaga. Belakangan ini eksistensi Pengadilan Niaga disorot kuat, antara lain karena terjadi penurunan jumlah perkara yang masuk. Penurunan ini mencemaskan, mengingat Pengadilan Niaga juga ditujukan untuk menyelesaikan masalah lain di bidang perniagaan lainnya. Artinya, sejak awal Pengadilan Niaga dirancang untuk diperluas kompetensinya. Saat ini perluasan kompetensi itu mencakup kewenangan untuk memeriksa masalah-masalah yang terkait dengan Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI), yang meliputi kewenangan memeriksa sengketa merek, paten, desain industri, dan desain tata letak sirkuit terpadu. Namun pengakuan atas keberadaan dan eksistensi Pengadilan Niaga dalam masing-masing UU tersebut belum bersifat integratif dan koordinatif. Hal ini antara lain terlihat dari pengaturan prosedur beracara, atau hukum acara perkara niaga di luar masalah kepailitan. Hukum acara yang selama ini digunakan dalam pemeriksaan perkara kepailitan di Pengadilan Niaga masih menggunakan ketentuan Herziene Indonesisch Reglement/Rechtsreglement Buitengewesten (HIR/R.BG). Suatu perkara di Pengadilan seyogianya harus mengkombinasikan tiga hal secara simultan, yaitu kepastian hukum, kemanfaatan hukum, dan keadilan hukum. Untuk itu, perluasan pengembangan Pengadilan Niaga akan mendasarkan pada ketiga poin tersebut dengan melihat dari eksistensi Pengadilan Niaga saat ini dalam kaitannya sebagai pengadilan yang memutus perkara-perkara kepailitan/Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dan HaKI. B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan tersebut diatas, maka penulis mengidentifikasi permasalahan hukum yang akan dikaji berkaitan dengan penulisan tugas dalam mata kuliah Hukum Acara Peradilan Niaga ini yaitu sebagai berikut : Bagaimanakah hukum acara dan pembuktian perkara kepailitan di Pengadilan Niaga ? Bagaimanakah hukum acara dan pembuktian perkara Hak atas Kekayaan Intelektual di Pengadilan Niaga ? BAB II HASIL KAJIAN A. Hukum Acara Dan Pembuktian Perkara Kepailitan Di Pengadilan Niaga 1. Hukum Acara Perkara Kepailitan di Pengadilan Niaga Pasal 284 UUK menyebutkan bahwa sepanjang tidak ditentukan dalam undang-undang ini, maka yang berlaku adalah hukum acara perdata (HIR/RBg). Pengaturan tentang kekhususan hukum acara Pengadilan Niaga sampai saat ini belum dilakukan secara tegas dan khusus. Hukum acara Pengadilan Niaga yang ada saat ini terpisah-pisah sesuai dengan obyek sengketa yang diajukan. Sampai saat ini, ada dua masalah dan dua UU yang mengatur tentang penunjukan Pengadilan Niaga sebagai lembaga penyelesaian sengketa, yaitu UU tentang Kepailitandan paket UU tentang HaKI. Kekhususan Pengadilan Niaga dalam perkara kepailitan adalah: 1) pengadilan ini tidak mengenal banding, sehingga jika ada pihak yang merasa tidak puas dapatmengajukan upaya hokum dengan cara kasasi ke Mahkamah Agung; 2) jangka waktu proses pendaftaran, pemeriksaan dan penjatuhan putusan pada tingkat Pengadilan Niaga diatur secara tegas, yaitu 30 hari 3) jangka waktu Kasasi di Mahkamah Agung adalah selama 34 hari. Dalam hukum acara perkara kepailitan terdapat terobosan waktu berperkara yang sangat cepat. Dari waktu yang biasanya dua sampai dengan empat tahun berperkara melalui Pengadilan Negeri (dari gugatan di Pengadilan Negeri sampai dengan upaya khusus Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung), turun drastis menjadi 154 hari. Dengan perincian; maksimal waktu 30 hari untuk memutuskan ermohonan kepailitan di tingkat Pengadilan Niaga; maksimal waktu 30 hari untuk memutuskan permohonan Kasasi di tingkat Kasasi; dan maksimal 30 hari untuk memutuskan permohonan upaya hukum khusus Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung. Selebihnya adalah perhitungan waktu pendaftaran permohonan Kasasi dan Peninjauan Kembali. Namun dalam beberapa kasus, para hakim niaga, khususnya majelis hakim tingkat Mahkamah Agung tampaknya kurang memperhatikan jangka waktu tersebut, seperti dalam beberapa putusan, majelis hakim kasasi ataupun Peninjauan Kembali memberikan putusan pailit melebihi jangka waktu yang telah ditetapkan, tanpa akibat hukum apapun. Contohnya adalah kasus Bank Niaga Tbk. Cs lawan Dharmala Agrifood Tbk. No. 7/K/N/1998. Dalam perkara ini Majelis Hakim Kasasi memutuskan permohonan kasasi tersebut dalam waktu 40 hari. Jawaban majelis hakim terhadap keberatan yang diajukan pemohon kasasi terhadap ketidakdisiplinan waktu tersebut adalah: “Bahwa keberatan ini tidak dapat dibenarkan karena tidak ada sanksi hukum yang menentukan bahwa putusan menjadi tidak sah, batal atau dapat dibatalkan apabila putusan kasasi diucapkan melampaui jangka waktu 30 hari…” Tentu saja ketidakpatuhan terhadap ketentuan tersebut yang esungguhnya diperintahkan UUK terhadap status pailit suatu debitor yang berupa Perseroan Terbatas akan mempengaruhi perdagangan sahamnya di Bursa Efek, baik Bursa Efek Jakarta maupun Surabaya. Sebab, saham perusahaan debitor yang dipailitkan tersebut, sampai saat jatuhnya putusan masih diperdagangkan di kedua Bursa Efek tersebut. Dapat dikatakan bahwa sebagian besar isi UUK adalah khusus mengenai hokum acara Kepailitan. Untuk itu, perlu kejelasan mengenai ketentuan-ketentuan Hukum Acara tersebut, apakah harus diatur tersendiri, ataukah Bab ketiga tentang Pengadilan Niaga harus dikeluarkan dari sistematika UUK. Hal ini berkaitan erat dengan amanat perluasan kompetensi Pengadilan Niaga sebagaimana tercantum dalam pasal 280 ayat 2 UUK. 2. Pembuktian untuk Perkara Kepailitan di Pengadilan Niaga Lebih cepatnya waktu pemeriksaan perkara di Pengadilan Niaga antara lain dipengaruhi oleh sistem pembuktian yang dianut, yaitu bersifat sederhana. Untuk membuktikan adanya utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih Pengadilan Niaga mendasarkan pada ketentuan pasal 1 ayat 1 UUK, yang menyatakan bahwa debitor dapat dinyatakan pailit apabila telah terbukti bahwa debitor tersebut mempunyai paling tidak satu kreditor yang tagihannya telah jatuh tempo dan dapat ditagih, juga mempunyai minimal satu kreditor lainnya. Sifat pembuktian yang sederhana dapat digunakan hakim niaga sebagai alas an untuk menolak permohonan pailit yang diajukan kepadanya. Hakim dapat menyatakan bahwa perkara yang diajukan itu adalah perkara perdata biasa. Jika suatu perkara dikategorikan hakim niaga sebagai perkara yang pembuktiannya berbelit-belit, maka hakim dapat menyatakan bahwa kasus itu bukan kewenangan Pengadilan Niaga, melainkan Pengadilan Perdata. Sistem pembuktian yang sederhana pada perkara kepailitan dirasakan tidak dapat diterapkan pada Pengadilan Niaga yang memeriksa sengketa HaKI, sehingga jangka waktunya diperpanjang. Namun dalam kenyataannya, untuk beberapa kasus perkara kepailitan yang diajukan ke Pengadilan Niaga, pembuktiannya pun tidak sesederhana seperti yang seharusnya. Pada perkara kepailitan, yang dibuktikan hanyalah kebenaran tentang ada atau tidaknya suatu “utang” yang dapat dijadikan dasar untuk mengabulkan atau menolak permohonan pailit yang diajukan ke Pengadilan Niaga. Pada praktiknya, kebenaran yang akan dibuktikan pada beberapa kasus kepailitan adalah kebenaran tentang hubungan hukum yang menyebabkan terjadinya permasalahan hukum yang perlu diselesaikan secara adil, bukan untuk dipailitkan. B. Pengadilan Niaga Sebagai Penyelesai Sengketa Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) 1. Hukum Acara untuk Perkara HaKI di Pengadilan Niaga Sejauh ini perluasan kewenangan Pengadilan Niaga baru menyentuh masalah HaKI. Soal HaKI memang sangat diperhatikan pemerintah dan pihak asing/luar negeri. HaKI merupakan hak yang dihasilkan dari kegiatan pikiran manusia di bidang industri, ilmu pengetahuan, kesusasteraan atau seni. Beberapa Undang-undang mengenai HaKI telah dibuat. Tahun 2000 diundangkan UU No. 31 tahun 2000 mengenai Desain Industri, dan UU No 32 tahun 2000 mengenai Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, yang mengalokasikan sebagian proses beracara kepada Pengadilan Niaga. Sebelumnya, masalah paten, merek dan hak cipta diurus Pengadilan Negeri. Namun UU No. 14 tahun 2001 mengenai Paten dan UU No. 15 Tahun 2001 mengenai Merek, serta UU No. 19 Tahun 2002 mengenai Hak Cipta menyatakan bahwa penyelesaian HaKI dilakukan oleh Pengadilan Niaga. Hukum acara dalam perkara gugatan HaKI di Pengadilan Niaga secara umum adalah sebagai berikut : Gugatan pembatalan pendaftaran haki diajukan kepada Ketua Pengadilan Niaga dalam wilayah hukum tempat tinggal tergugat; Dalam hal tergugat bertempat tinggal di luar wilayah Indonesia, gugatan diajukan kepada Pengadilan Negeri/Niaga Jakarta Pusat; Panitera mendaftarkan gugatan pembatalan pada tanggal gugatan yang bersangkutan diajukan dan kepada penggugat diberikan tanda terima tertulis yang ditandatangani panitera dengan tanggal yang sama dengan tanggal pendaftaran gugatan; Panitera menyampaikan gugatan pembatalan kepada Ketua Pengadilan Niaga dalam jangka waktu paling lama dua hari sejak gugatan didaftarkan; Dalam waktu paling lama tiga hari terhitung mulai tanggal gugatan pembatalan didaftarkan, Pengadilan Niaga mempelajari gugatan dan menetapkan hari sidang; sedangkan untuk perkara paten, Pengadilan Niaga menetapkan hari sidang paling lama 14 hari setelah pendaftaran gugatan; Pemanggilan para pihak yang bersengketa dilakukan juru sita paling lama tujuh hari setelah gugatan didaftarkan; Sidang pemeriksaan atas gugatan pembatalan diselenggarakan dalam jangka waktu paling lama 60 hari setelah gugatan didaftarkan; Putusan atas gugatan pembatalan harus diucapkan paling lama 90 hari setelah gugatan pendaftaran dan dapat diperpanjang paling lama 30 hari atas persetujuan Ketua Mahkamah Agung. Sedang gugatan di bidang paten harus diucapkan paling lama 180 hari terhitung setelah tanggal gugatan didaftarkan; Putusan atas gugatan pembatalan harus memuat secara lengkap pertimbangan hukum yang mendasari putusan tersebut dan harus diucapkan pada sidang terbuka untuk umum. Putusan dapat dijalankan terlebih dahulu, meskipun terhadap putusan tersebut diajukan suatu upaya hukum, kecuali dalam sengketa paten; Putusan Pengadilan Niaga wajib disampaikan oleh juru sita kepada para pihak paling lama 14 hari setelah gugatan pembatalan diucapkan; Terhadap putusan Pengadilan Niaga hanya dapat diajukan kasasi; Khusus mengenai paten, kewajiban pembuktian terhadap pelanggaran atas paten proses sebagaimana dimaksud dibebankan kepada tergugat. Dalam paket UU HaKI tersebut terlihat perubahan hukum acara menjadi prosedur yang sederhana, sehingga tidak memakan waktu yang lama dibanding proses pengadilan umum. Prosedur banding dihilangkan. Upaya hukum yang diperbolehkan hanya kasasi, dan ada kerangka waktu (time frame) terhadap prosedur putusan perkara. Yang menarik, perubahan ini juga dibarengi pembentukan prosedur yang bersifat lex spesialis dari prosedur perdata biasa, maupun prosedur Pengadilan Niaga pada proses kepailitan. UU HaKI mempreskripsikan suatu prosedur beracara sendiri, tanpa mengatur prosedur untuk merujuk kembali pada Hukum Acara Perdata biasa. Hal ini tentu dapat menimbulkan kesulitan, terutama apabila ternyata UU tersebut tidak mengatur hal-hal yang mungkin saja terjadi dalam praktik persidangan. 2. Pembuktian untuk Perkara HaKI di Pengadilan Niaga Kini terdapat lima UU HaKI yang mengatur gugatan pembatalan pendaftaran yang harus diajukan kepada Ketua Pengadilan Niaga dalam wilayah hukum tempat tinggal tergugat. Namun dalam lima UU tersebut, tidak ada satu pasalpun yang mengatur pembuktian seperti yang terdapat pada HIR dan RBg. Dalam hukum acara tertulis, setelah replik dan duplik diterima, hendaknya majelis hakim mempertimbangkan untuk menerima atau tidak gugatan tersebut, kemudian mengeluarkan putusan akhir. Namun apabila masih belum jelas dan perlu ada pembuktian, maka para pihak yang bersengketa diberi kesempatan untuk mengajukan alat bukti. Dalam penyelesaian perkara HaKI di Pengadilan Niaga, peraturan-peraturan tersebut tidak berlaku. Hal ini mengakibatkan timbulnya ketidakjelasan, sehubungan dengan adanya bukti yang berbentuk faksimile, mikro film, internet, multi media lain dan sebagainya. Penetapan sementara merupakan mekanisme baru dalam paket UU HaKI, sebagai pelaksanaan dari Article Trade Related Intelectual Property TRIPs), yang dikenal dengan istilah “injunction”. Sebagai contoh, jika ada pihak yang merasa Hak Desain Industrinya dilanggar, maka sebelum perkaranya disidangkan di pengadilan, yang bersangkutan dapat meminta hakim melarang barang yang dianggap mengandung unsure pelanggaran tersebut memasuki pasar. Dalam hal ini, hakim dalam waktu 30 hari harus mengambil keputusan, apakah telah terjadi pelanggaran hak atau tidak. Kalau hakim berpendapat telah terjadi pelanggaran hak, maka hakim menetapkan larangan terhadap barang tersebut untuk memasuki pasar. Sebaliknya, atas permintaan penetapan sementara yang ternyata tidak terbukti terjadi pelanggaran hak, pihak yang merasa dirugikan dapat menuntut ganti rugi. Namun ketentuan tentang penetapan sementara ini tidak mengatur upaya hokum yang dapat dilakukan oleh pihak yang terkena tindakan penetapan sementara. Pasal 126 Undang-undang Paten No. 14 Tahun 2001 menyebutkan bahwa: “Dalam hal penetapan sementara tersebut telah dilakukan, para pihak harus segera diberi tahu mengenai hal itu, termasuk mengenai hak untuk didengar bagi pihak yang dikenai penetapan sementara tersebut”. Sebenarnya keterangan yang diberikan oleh pihak yang terkena tindakan penetapan sementara sebagaimana tersebut di atas dapat diartikan pula bahwa pihak tersebut diberi kesempatan untuk mengajukan bantahan (verzet) terhadap penetapan sementara dimaksud. Berkenaan dengan ketentuan tersebut, maka dalam hal penetapan sementara dibatalkan, termohon dapat menuntut ganti rugi kepada pihak yang meminta penetapan sementara tersebut. Dengan mengacu pada ketentuan tersebut, maka menunjukkan bahwa proses bantahan atau perlawanan (verzet) secara implisit diatur pula di dalam ketentuan Undang-undang HaKI. BAB III PENUTUP Penurunan jumlah perkara yang masuk ke Pengadilan Niaga dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain faktor ekonomi, sosial dan yuridis. Dari aspek ekonomi, para pelaku ekonomi telah menyadari bahwa belum saatnya memohon kepailitan, karena pada saat yang bersamaan daya beli masyarakat (market price) masih rendah. Masyarakat masih kesulitan membeli aset perusahaan pailit yang dilelang. Sedangkan dari aspek sosial beberapa kreditor bersikap hati-hati menghadapi dampak sosial kepailitan yang dapat menimbulkan pengangguran massal. Sementara itu dari aspek yuridis penanganan sengketa kepailitan terkesan masih lamban dan sulit diperkirakan. Sementara pada saat yang bersamaan terdapat sarana/lembaga public lainnya yang dapat menangani asset recovery akibat wanprestasi tersebut (misal: PUPN, BPPN, Jakarta Initiative). Dengan kata lain, dari segi yuridis, penurunan jumlah perkara yang masuk ke Pengadilan Niaga disebabkan oleh ketidakpuasan para pencari keadilan akan kinerja lembaga tersebut. Menurut survei yang dilakukan tim peneliti, kemungkinan terbesar yang penyebabkan turunnya jumlah perkara yang ditangani Pengadilan Niaga adalah ketidakpuasan terhadap hasil putusan dan adanya hasil putusan yang tidak mencerminkan asas keadilan. Kemungkinan terkecil adalah akan dipilihnya Pengadilan Negeri sebagai pengganti Pengadilan Niaga. Kemungkinan yang terakhir ini kecil karena perkara kepailitan dan HaKI merupakan wewenang penuh Pengadilan Niaga. Selain itu masih ada ketidakpercayaan yang cukup besar dari responden terhadap kinerja Pengadilan Negeri. Sumber: Diolah dari hasil survey penelitian mengenai pengadilan niaga, kerjasama Komisi Hukum Nasional dan Universitas Andalas, Tahun 2002 Terlepas dari masalah di atas, Pengadilan Niaga telah berhasil melaksanakan terobosan waktu penyelesaian perkara. Perubahan besar dalam asas kecepatan penanganan perkara, yang didukung oleh transparansi penggunaan waktu yang sangat ketat, menunjukkan bahwa Pengadilan Indonesia telah berhasil melakukan perubahan ke arah yang lebih baik. • o beberapa Cara Penyelesaian Sengketa Perburuhan Pendahuluan Sejalan dengan perkembangan zama era globalisasi sudah barang tentu tuntutan perkembangan penyelesaian sengketa perburuhan juga memerlukan payung dalam berbagai produk perundang-undangan yang dapat mengantisifasinya. Sebelum Reformasi dalam pembaharuan perundang-undangan perburuhan dan ketenaga kerjaan masalah penyelesaian sengketa buruh masih memakai undang-undang lama antara lain : Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 lembaran Negara No.42 Tahun 1957 tentang penyelesaian perselisihan perburuhan. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964 Lembaga Negara No.93 Tahun 1964 tentang pemutusan hubungan kerja di perusahaan swasta. Didalam kedua produk Perundang-undangan ini memberikan jalan penyelesaian sengketa buruh lebih di titik beratkan pada musyawarah mufakat antara buruh dan majikan melalui Lembaga Bepartie, dan bila tidak terselesaikan dapat dilanjutkan ke Lembaga Tripartie, dan seterusnya dapat dilanjutkan ke Pengadilan P4D dan P4P. Akan tetapi pada zaman sekarang ini dimana semakin kompleksnya permasalahan perburuhan Undang-undang lama tersebut tidak dapat lagi memberikan jalan keluar dalam menyelesaikan sengketa perburuhan, sehingga di undangkanlah Undang-undang lain seperti Undang-undang Hak Azasi Manusia Nomor 39 Tahun 1999, Undang-undang Serikat Pekerja Nomor 21 Tahun 2000, dan Undang-undang penyelesaian perselisihan Industrial Nomor 2 Tahun 2004. Penyelesaian Sengketa Buruh Melalui Komisi Nasional Hak Azasi Manusia Undang-undang Hak Azasi Manusia Nomor 39 Tahun 1999 memberi peluang bagi Buruh dan Tenaga Kerja dalam menyelesaikan sengketa buruh. Walaupun banyak kaum awam belum paham tentang tata cara penyelesaian sengketa Buruh melalui Komisi Nasional Hak Azasi Manusia, Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 memberi peluang sengketa buruh dapat diselesaikan melalui Komisi Hak Azasi Manusia. Pada pasal 89 ayat 3 sub h, dikemukakan Komnas HAM dapat menyelesaikan dan memberi pendapat atas sengketa publik, baik terhadap perkara buruh yang sudah disidangkan maupun yang belum disidangkan. Penjelasan Undang-undang tersebut mengatakan sengketa publik yang dimaksud di dalam Undang-undang Hak Azasi Manusia tersebut termasuk 3 (tiga) golongan sengketa besar, antara lain sengketa pertanahan, sengketa ketenaga kerjaan dan sengketa lingkungan hidup. Sengketa ketenaga kerjaan tergolong sengketa publik dapat mengganggu ketertiban umum dan stabilitas Nasional, maka peluang pengaduan pelanggaran Hak-hak Buruh tersebut dapat disalurkan ke Komisi Nasional Hak Azasi Manusia sesuai dengan isi Pasal 90 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 yang berbunyi pada ayat 1 “ Setiap orang atau kelompok orang yang memiliki alasan kuat bahwa Hak Azasinya telah dilanggar dapat memajukan laporan dan pengaduan lisan atau tertulis pada Komisi Nasional Hak Azasi Manusia”. Kemudian dikuatkan lagi dalam Bab VIII Pasal 101 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tersebut Lembaga Komnas HAM dapat menampung seluruh laporan masyarakat tentang terjadinya pelanggaran Hak Azasi Manusia. Penyelesaian Sengketa Buruh Di Luar Pengadilan Penyelesaian perselisihan Hubungan Industrial dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial memungkinkan penyelesaian sengketa buruh/Tenaga Kerja diluar pengadilan. Penyelesaian Melalui Bipartie Pasal 6 dan Pasal 7 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial memberi jalan penyelesaian sengketa Buruh dan Tenaga Kerja berdasarkan musyawarah mufakat dengan mengadakan azas kekeluargaan antara buruh dan majikan. Bila terdapat kesepakatan antara buruh dan majikan atau antara serikat pekerja dengan majikan, maka dapat dituangkan dalam perjanjian kesepakatan kedua belah pihak yang disebut dengan perjanjian bersama. Dalam perjanjian bersama atau kesepakatan tersebut harus ditandatagani kedua belah pihak sebagai dokumen bersama dan merupakan perjanjian perdamaian. Penyelesaian Melalui Mediasi Pemerintah dapat mengangkat seorang Mediator yang bertugas melakukan Mediasi atau Juru Damai yang dapat menjadi penengah dalam menyelesaikan sengketa antara Buruh dan Majikan. Seorang Mediator yang diangkat tersebut mempunyai syarat-syarat sebagaimana dituangkan dalam Pasal 9 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dan minimal berpendidikan S-1. Dalam waktu 7 (tujuh) hari setiap menerima pengaduan si Buruh, Mediator telah mengadakan duduk perkara sengketa yang akan diadakan dalam pertemuan Mediasi antara para pihak tersebut. Pengangkatan dan akomodasi mediator ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja. Bila telah tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan melalui Mediator tersebut dibuatkan perjanjian bersama yang ditandatangani para pihak dan mediator tersebut, kemudian perjanjian tersebut didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat. Penyelesaian Melalui Konsiliasi Penyelesaian melalui Konsiliator yaitu pejabat Konsiliasi yang diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Tenaga Kerja berdasarkan saran organisasi serikat pekerja atau Serikat Buruh. Segala persyaratan menjadi pejabat Konsiliator tersebut didalam pasal 19 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Dimana tugas terpenting dari Kosiliator adalah memangil para saksi atau para pihak terkait dalam tempo selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak menerima penyelesaian Konsiliator tersebut. Pejabat Konsiliator dapat memanggil para pihak yang bersengketa dan membuat perjanjian bersama apabila kesepakatan telah tercapai. Pendaftaran perjanjian bersama yang diprakarsai oleh Konsiliator tersebut dapat didaftarkan didepan pengadilan Negeri setempat. Demikian juga eksekusinya dapat dijalankan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat tesebut. Penyelesaian Melalui Arbitrase Undang-undang dapat menyelesaikan perselisihan melalui arbitrase meliputi perselisihan kepentingan dan perselisihan antar Serikat Pekerja dan Majikan didalam suatu perusahaan. Untuk ditetapkan sebagai seorang Arbiter sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) berbunyi : Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa Cakap melakukan tindakan hukum Warga negara Indonesia Berumur sekurang-kurangnya 45 (empat puluh lima) tahun Pendidikan sekurang-kurangnya Starata Satu (S-1) Berbadan sehat sesuai dengan surat keterangan dokter Menguasai peraturan perundang-undangan dibidang ketenaga kerjaan yang dibuktikan dengan sertifikat atau bukti kelulusan telah mengikuti ujian arbitrase dan Memiliki pengalaman dibidang hubungan industrial sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun. Pengangkatan arbiter berdasarkan keputusan Menteri Ketenagakerjaan. Para pihak yang bersengketa dapat memilih Arbiter yang mereka sukai seperti yang ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja. Putusan Arbiter yang menimbulkan keraguan dapat dimajukan tuntutan ingkar kepada Pengadilan Negeri setempat dengan mencantumkan alasan-alasan otentik yang menimbulkan keraguan tersebut. Putusan Pengadilan Negeri dalam Pasal 38 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, dapat membuat putusan mengenai alasan ingkar dan dimana tidak dapat diajukan perlawanan lagi. Bila tercapai perdamaian, maka menurut isi Pasal 44 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, seorang arbiter harus membuat Akte Perdamaian yang ditandatangani oleh kedua belah pihak dengan disaksikan seorang Arbiter atau Majelis Arbiter. Penetapan Akte Perdamaian tersebut didaftarkan dimuka pengadilan, dan dapat pula di exekusi oleh Pengadilan atau putusan tersebut, sebagaimana lazimnya. Putusan Kesepakatan Arbiter tersebut dibuat rangkap 3 (tiga) dan diberikan kepada masing-masing pihak satu rangkap, serta didaftarkan didepan Pengadilan Hubungan Industrial terhadap putusan tersebut yang telah berkekuatan hukum tidak dapat dimajukan lagi atau sengketa yang sama tersebut tidak dapat dimajukan lagi ke Pengadilan Hubungan Industrial. Penyelesaian Perselisihan Melalui Pengadilan Sebelum keluarnya Undang-undang Hubungan Industrial penyelesaian sengketa perburuhan diatur didalam Undang-undang Nomor 22 tahun 1957 melalui peradilan P4D dan P4P. Untuk mengantisipasi penyelesaian dan penyaluran sengketa Buruh dan Tenaga Kerja sejalan dengan tuntutan kemajuan zaman dibuat dan di undangkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial sebagai wadah peradilan Hubungan Industrial disamping peradilan umum. Dalam Pasal 56 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial mengatakan Pengadilan hubungan industrial bertugas dan berwenang memeriksa dan memutuskan : Di tingkat pertama mengenai perselisihan hak Di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan Di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja Di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan. Adapun susunan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri terdiri dari : Hakim Hakim ad Hoc Panitera Muda, dan Panitera Pengganti. Untuk Pengadilan Kasasi di Mahkamah Agung terdiri dari : Hakim Agung Hakim ad Hoc pada Mahkamah Agung ; dan Panitera Syarat-syarat untuk dapat diangkat menjadi Hakim Ad Hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial dan Hakim Ad Hoc pada Mahkamah Agung RI harus mempunyai syarat-syarat sebagai berikut : Warga negara Indonesia Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa Setia kepada Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun Berbadan sehat sesuai dengan keterangan dokter Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela Berpendidikan serendah-rendahnya Starata Satu (S-1) kecuali bagi Hakim Ad Hoc pada Mahkamah Agung, syarat pendidikan Sarjana Hukum, dan Berpengalaman dibidang hubungan industrial minimal 5 (lima) tahun. Pengangkatan dan penunjukan Hakim Ad Hoc tersebut pad pengadilan Hubungan Industrial berdasarkan SK. Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia. Sebelum memangku jabatan Hakim Ad Hoc wajib disumpah atau memberikan janji menurut agama dan kepercayaannya masing-masing serta Hakim Ad Hoc tersebut tidak boleh merangkap Jabatan sebagaimana dituangkan dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Hukum acara yang dipakai untuk mengadili sengketa perburuan tersebut adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku dilingkungan Pengadilan Umum, kecuali di atur secara khusus oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial serta menuggu keputusan Presiden untuk menentukan Tata Cara pengangkatan Hakim Ad Hoc Ketenaga Kerjaan. Sebelum Undang-Undang ini berlaku secara effektif didalam masyarakat dalam penyelesaian pemutusan Hubungan Kerja masih memakai KEP/MEN/150 Tahun 2000 dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, tentang Undang-Undang Ketenagakerjaan . DAFTAR PUSTAKA Lalu Husni SH.M.Hum. Penyelesaian Perselisian Hubungan Industrial Melalui Pengadilan dan Diluar Pengadilan, Penerbit PT. Raja Grafindo Parsada, Jakarta 2004. —————- Undang-undang Pengadilan Hak Azasi Manusia, 2000 dan Undang-undang HAM 1999, Penerbit Citra Umbara, Bandung, 2001. —————- Depnaker RI, Undang-undang No.2 Tahun 2004 Tentang Perselisihan Hubungan Industrial, Penerbit Dewan Pimpinan Pusat Konfidrasi SPSI dan Depnaker, 2004. —————- Undang-undang RI No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Beserta penjelasannya, Penerbit Citra Umbara, Bandung, 2004. —————- Komisi Nasional Hak Azasi Manusia, Jurnal HAM Vol.1 No.1, Oktober 2003, Penerbit Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2003. • o Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Indonesia Abstrak Konflik, sengketa, pelanggaran atau pertikaian antara atau terkait dua individu atau lebih dewasa ini telah dan akan terus menjadi fenomena biasa dalam masyarakat. Situasi itu akan semakin merepotkan dunia hukum dan peradilan apabila semua konflik, sengketa atau pertikaian itu diproses secara hukum oleh peradilan. Dalam kaitan itu diperlukan mekanisme penyelesaian sengketa alternatif atau alternative dispute resolution yang tidak membuat masyarakat tergantung pada dunia hukum yang terbatas kapasitasnya, namun tetap dapat menghadirkan rasa keadilan dan penyelesaian masalah. Mekanisme tersebut sebenarnya telah memiliki dasar hukum dan telah memiliki preseden serta pernah dipraktikkan di Indonesia walau jarang disadari. Mekanisme tersebut juga memiliki potensi untuk semakin dikembangkan di Indonesia. Pendahuluan Saat membicarakan hukum dan institusi negara yang melaksanakan hukum, maka kita kerap mengaitkannya dengan wacana tentang “keadilan formal” (formal justice) yang dijalankan dan dihasilkan oleh hukum maupun proses hukum yang juga formal. Mengapa dikatakan “formal”, mengingat proses hukum yang dilaksanakan oleh institusi negara di bidang hukum itu didasarkan pada hukum yang tertulis dan terkodifikasikan, dilakukan oleh aparat resmi negara yang diberi kewenangan, serta membutuhkan proses beracara yang juga standar dan mengabadi. Namun demikian, wajah lain dari hukum dan proses hukum yang formal tadi adalah terdapatnya fakta bahwa keadilan formal tadi, sekurang-kurangnya di Indonesia, ternyata mahal, berkepanjangan, melelahkan, tidak menyelesaikan masalah dan, yang lebih parah lagi, penuh dengan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme. Salahsatu dari berbagai masalah yang menjadikan bentuk keadilan ini terlihat problematik adalah, mengingat terdapatnya dan dilakukannya satu proses yang sama bagi semua jenis masalah (one for all mechanism). Inilah yang mengakibatkan mulai berpalingnya banyak pihak guna mencari alternatif penyelesaian atas masalahnya. Bila dikaitkan dengan cita-cita mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia guna membentuk Negara Hukum (recht staat), dan bukan Negara Kekuasaan (macht staat), maka salahsatu indikator capaiannya adalah terbentuknya kondisi dan kemampuan warga negara atau masyarakat untuk patuh hukum (citizen who abides the law), atau bahkan masyarakat yang patuh hukum (law abiding citizen). Dalam situasi tersebut, proses penegakan hukum tidak seyogyanya sepenuhnya atau selamanya dilakukan dengan mempergunakan metode keadilan formal, yang salahsatunya berupa tindakan kepolisian represif dan dilanjutkan dengan proses hukum litigatif (law enforcement process). Sebagaimana disadari, tindakan formal litigatif tersebut banyak bergantung pada upaya paksa dan kewenangan petugas hukum yang melakukannya. Selanjutnya, kalaupun muncul suatu hasil, maka umumnya akan berakhir dengan situasi “kalah-kalah” (lost-lost) atau “menang-kalah” (win-lost)[1]. Memang, tidak terlalu tepat untuk mengatakan yang sebaliknya, bahwa dalam suatu negara kekuasaan atau macht staat tadi, yang cenderung dilakukan adalah proses penegakan hukum formal via litigasi. Dalam kenyataannya, di negara-negara seperti itu, kalaupun dilakukan suatu proses penegakan hukum terhadap suatu perbuatan melanggar hukum, yang sering terjadi adalah suatu formalitas hukum atau bahkan pengenyampingan hukum sama sekali. Adalah kooptasi besar-besaran pada elemen-elemen negara bidang hukum itulah (contoh terjelas adalah terhadap peradilan), sehingga mampu menghasilkan putusan yang tidak hanya bias dan diskriminatif tetapi justru malah tidak adil[2]. Dalam konteks kehadiran masyarakat yang mau untuk patuh pada hukum ataupun yang telah patuh hukum dalam suatu negara kesatuan tersebut, maka semangat yang muncul dewasa ini adalah juga semangat pengenyampingan untuk tidak mempergunakan proses penegakan hukum via litigasi tersebut. Namun bedanya adalah, dalam konteks ini, pengenyampingan dilakukan guna mencapai suatu situasi “menang-menang” (win-win) antara pihak-pihak terkait, yang diperkirakan juga akan lebih menyembuhkan (healing) terkait para pihak yang terlibat (khususnya korban), serta lebih resolutif (sebagai suatu kata bentukan “re-solusi” yang dapat diartikan sebagai “tercapainya kembali solusi yang sebelumnya tidak lagi diperoleh”). Minimal, pengakhiran konflik atau sengketa bisa dilakukan tanpa ada pihak yang kehilangan muka atau elegant solution[3]. Alternatif terkait pengenyampingan tersebut adalah, bahwa diperkirakan akan lebih tepat apabila dalam kondisi, alasan dan atau perbuatan tertentu, bisa dilakukan mekanisme penyelesaian sengketa alternatif atau alternative dispute resolutions (selanjutnya disebut dengan ADR). Makalah ini untuk selanjutnya menguraikan pertama-tama tentang mekanisme penyelesaian sengketa alternatif itu sendiri sebagai suatu kajian yang telah berkembang, dilanjutkan dengan pembahasan tentang posisinya dalam sistem hukum Indonesia dan potensi pengembangan masa depan. Dalam sub Penutup, akan diajukan sejumlah rekomendasi terkait aplikasinya di Indonesia. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Alternatif Yang pertama-tama perlu ditekankan adalah bahwa istilah “penyelesaian diluar pengadilan” tidak sama dengan istilah ADR, meskipun terdapat kesamaan dimana suatu perkara pelanggaran pidana tidak diajukan ke pengadilan.[4] Apabila ADR merupakan lembaga yang diakui secara hukum sebagai lembaga penyelesai perkara yang sah dan diatur dalam peraturan perundang-undangan melalui mekanisme mediasi, arbitrase, negosiasi atau rekonsiliasi, tidak demikian halnya dengan penyelesaian perkara di luar pengadilan. Untuk yang kedua ini, umumnya dikenal sebagai kebijakan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum yang memiliki wewenang untuk melakukan beberapa hal sebagai berikut: sebagai penentu keluaran akhir dari suatu kasus sengketa, konflik, pertikaian atau pelanggaran, namun juga memiliki wewenang melakukan diskresi/pengenyampingan perkara pidana yang dilakukan oleh pihak tertentu, sekaligus (tidak dalam semua hal) dilanjutkan dengan permintaan kepada pelaku/pelanggar agar mengakomodasi kerugian korban. Istilah umum yang populer adalah dilakukannya “perdamaian” dalam perkara pelanggaran hukum pidana. Keuntungan utama dari penggunaan ADR dalam menyelesaikan kasus-kasus pidana adalah bahwa pilihan penyelesaian pada umumnya diserahkan kepada pihak pelaku dan korban. Keuntungan lain yang juga amat menonjol adalah biaya yang murah. Sebagai suatu bentuk pengganti sanksi, pihak pelaku dapat menawarkan kompensasi yang dirundingkan/disepakati dengan pihak korban. Dengan demikian, keadilan menjadi buah dari kesepakatan bersama antar para pihak sendiri, yaitu pihak korban dan pelaku, bukan berdasarkan kalkulasi jaksa dan putusan hakim. Sebelumnya perlu dikemukakan beberapa alasan bagi dilakukannya penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan pidana sebagai berikut[5]: Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori delik aduan, baik aduan yang bersifat absolut maupun aduan yang bersifat relatif Pelanggaran hukum pidana tersebut memiliki pidana denda sebagai ancaman pidana dan pelanggar telah membayar denda tersebut (Pasal 80 KUHP) Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori “pelanggaran”, bukan “kejahatan”, yang hanya diancam dengan pidana denda 4. pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk tindak pidana di bidang hukum administrasi yang menempatkan sanksi pidana sebagai ultimum remedium Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori ringan/serba ringan dan aparat penegak hukum menggunakan wewenangnya untuk melakukan diskresi Pelanggaran hukum pidana biasa yang dihentikan atau tidak diproses ke pengadilan (deponir) oleh Jaksa Agung sesuai dengan wewenang hukum yang dimilikinya Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori pelanggaran hukum pidana adat yang diselesaikan melalui lembaga adat Sedangkan kelemahan dari penggunaan sistem ini adalah, dapatnya menjadi sumber penyalahgunaan wewenang dari para penegak hukum, khususnya apabila diskresi dibelokkan menjadi ”komoditi”. Ketidakmauan menghukum juga dapat dipersepsi sebagai melunaknya hukum dimata para pelaku kejahatan atau pelanggar aturan. Terakhir, juga tidak semua kalangan setuju bahwa ADR dalam konteks pidana pada dasarnya sederajat atau ekuivalen satu sama lain. Salahsatu persoalan penting yang menjadi pertanyaan adalah, bagimana hubungan antara ADR dan Restorative Justice (selanjutnya disebut dengan RJ). RJ merupakan salahsatu model ADR dimana lebih ditujukan pada kejahatan terhadap sesama individu/ anggota masyarakat daripada kejahatan terhadap negara. Dalam RJ, pihak-pihak yang terlibat lebih diutamakan untuk menyelesaikan masalahnya bukan semata-mata melalui penyelesaian hukum, tetapi memberikan kesempatan kepada para pihak yang terlibat untuk menentukan solusi, membangun rekonsiliasi demikian pula membangun hubungan yang baik antara korban dan pelaku. Hubungan baik ini berguna untuk, salahsatunya, menekan residivisme[6]. Dalam hal ini, korban memainkan peran yang utama dalam proses penyelesaian masalah dan dapat mengajukan tuntutan sebagai kompensasi kepada pelaku[7]. Singkatnya, RJ menekankan pendekatan yang seimbang antara kepentingan pelaku, korban dan masyarakat dimana terdapat tanggungjawab bersama antar para pihak dalam membangun kembali sistem sosial di masyarakat. Posisi Dalam Sistem Hukum Pemerintah, khususnya melalui Presiden Megawati Soekarnoputri, menurut Gayus Lumbuun, sesungguhnya telah memperkenalkan ADR dalam sistem hukum pidana, yakni melalui Inpres No. 8 Tahun 2002 tentang pemberian Jaminan Kepastian Hukum kepada Debitur yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya atau Tindakan Hukum kepada Debitur yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham. Inpres ini ditujukan kepada beberapa menteri/kepala lembaga pemerintahan, antara lain Menteri Kehakiman dan HAM, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional[8]. Dalam diktum pertama angka 4 Inpres No. 8 Tahun 2002 tersebut dinyatakan bahwa, “dalam hal pemberian kepastian hukum sebagaimana dimaksud dalam angka 1 menyangkut pembebasan debitur dari aspek pidana yang terkait langsung dengan program Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham, yang masih dalam tahap penyelidikan, penyidikan dan/atau penuntutan oleh instansi penegak hukum, maka sekaligus juga dilakukan dengan proses penghentian penanganan aspek pidananya, yang pelaksanaannya tetap dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Masih menurut Gayus Lumbuun, sebagai suatu kebijakan, maka kelemahan dari kebijakan release and discharge (R &D) ini terlihat dari kurang kuatnya landasan hukum pelaksanaan R & D itu sendiri. Seharusnya, kebijakan R & D dituangkan dalam undang-undang dan diatur secara komprehensif menjadi suatu bentuk alternatif penyelesaian perkara-perkara non-pidana. Betapapun demikian, secara substantif, konsep R & D merupakan langkah maju dalam sistem hukum pidana yang mengarah kepada alternative dispute resolution system. Terkait dengan kepolisian, sebagai elemen awal dalam sistem peradilan pidana Indonesia, maka dapat disebutkan bahwa dalam Naskah Akademis mengenai Court Dispute Resolution dari Mahkamah Agung Republik Indonesia pada tahun 2003, dalam salahsatu kesimpulan terakhirnya antara lain disebutkan bahwa mediasi, sebagai salahsatu bentuk ADR, seyogyanya bersifat wajib untuk perkara kecil baik perdata maupun pidana. Itulah yang menjadikan penanganan masalah secara alternatif ini relevan untuk dikaitkan dengan proses penegakan hukum Polri, khususnya menyangkut perkara pidana yang ringan. Hal ini penting untuk ditekankan mengingat konstruksi hukum pidana Indonesia sebenarnya tidak mengenal model penyelesaian perkara pidana melalui ADR. Sebagaimana dapat terlihat, dalam hal perkara perselisihan yang termasuk bidang hukum non-hukum pidana sekalipun, model ADR ditempatkan sebagai alternatif terakhir. Selanjutnya, di tingkat peradilan, ADR tidak terlepas dari pasal 130 HIR/154 Rbg yang memberi dasar hukum adanya Court Annexed Mediation (lembaga mediasi di pengadilan). Karena pasal 130 HIR/154 Rbg kurang jelas baik prosedur, tahapan dan acaranya, maka Mahkamah Agung RI pada tanggal 11 September 2003 mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 02 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Perma yang terdiri dari 18 pasal itu antara lain berdasarkan pertimbangan bahwa institusionalisasi proses mediasi ke dalam sistem peradilan dapat memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam penyelesaian sengketa di samping proses pengadilan yang bersifat memutus (ajudikatif)[9]. Maka, hakim dalam hal ini berperan aktif untuk mendamaikan para pihak yang bersengketa dalam waktu 22 hari. Di Mahkamah Agung dewasa ini, telah sejak beberapa lama dibentuk Pusat Mediasi Nasional yang berfungsi untuk menyebarluaskan kemampuan (skill) khususnya bagi para hakim dalam rangka melakukan mediasi antar para pihak dalam kasus yang memungkinkan hal itu terjadi. Selanjutnya, dorongan melakukan mediasi terkait penyelesaian kasus juga dilakukan oleh berbagai pihak di berbagai tingkatan kewilayahan. Salahsatunya adalah yang hingga kini ditumbuhkembangkan LP3S melalui program Balai Mediasi Desa di Nusa Tenggara Barat[10]. Secara yuridis pula, menurut Artidjo Alkostar, ADR diluar pengadilan telah diatur dalam UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dalam hubungan ini telah terdapat beberapa lembaga pendorong metode ADR, antara lain BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) yang memfokuskan diri pada dunia perdagangan dan ADR dalam penyelesaian sengketa jasa konstruksi (UU No. 18 Tahun 1999 jo UU No.m 29 Tahun 2000 jo PP No. 29 Tahun 2000) dengan yurisdiksi bidang keperdataan. Begitu pula terdapat ADR-ADR yang lain, seperti menyangkut masalah hak cipta dan karya intelektual, perburuhan, persaingan usaha, konsumen, lingkungan hidup dan lain-lain. Di pihak lain, terdapat pula rencana Pemerintah untuk melakukan amandemen terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Rencana ini telah tertunda sekian lama, yang salahsatu penyebabnya adalah adanya debat tak berkesudahan antara ahli hukum yang berperspektif legal-konvensional dan yang berperspektif legal-sosiologis. Khususnya diantara mereka yang berperspektif legal sosiologis, telah cukup lama terpengaruh oleh model berpikir liberal dalam rangka proses peradilan pidana, yang kemudian banyak dikenal dengan due process liberal model. Adapun beberapa prinsip utama dari model berpikir ini sebagai berikut [11]: Titik berat adalah pada kualitas kasus, bukan kuantitasnya. Sumber daya perlu dikerahkan guna mengungkap kasus secara tuntas dan, olehkarenanya, tidak perlu mengejar jumlah Amat memelihara hak-hak individual dan juga memperhatikan situasi individual tersangka. Selanjutnya, model ini juga menekankan pentingnya memperhatikan hak-hak korban. Jika hukum dianggap memperburuk situasi tersangka serta korban, demikian pula diprediksikan tidak akan memperbaiki hubungan dengan korban, maka sebaiknya tidak atau jangan dipergunakan Potensi Pengembangan Pertama-tama perlu dijelaskan bahwa kasus-kasus hukum yang memiliki preferensi untuk diselesaikan melalui ADR adalah sebagai berikut: Pertama, kasus-kasus yang pelaku (atau tersangka pelaku) tidak melibatkan negara. Atau, dapat pula diprioritaskan untuk tindak pidana yang termasuk kategori delik aduan sebagaimana telah dijelaskan di atas. Disamping itu, ADR juga dapat diperluas mencakup tindak pidana yang korbannya adalah masyarakat atau warga negara sehingga mereka sendiri yang mengungkapkan tingkat kerugian yang dialaminya. Kedua, tindakan pidana yang walaupun melibatkan negara (sebagai tersangka pelaku), tetapi memerlukan penyelesaian mengingat berdampak langsung kepada masyarakat. Misalnya, untuk tindak pidana di bidang ekonomi dimana negara mengharapkan adanya pengembalian dana negara dalam kasus-kasus korupsi[12]. Dalam kaitan itu, maka tak terhindarkan apabila pemanfaatan ADR dalam perspektif ini lebih dirasakan pentingnya untuk dikembangkan oleh kepolisian ketimbang kejaksaan ataupun pengadilan, mengingat peran kepolisian sebagai gerbang awal dari sistem peradilan pidana. Dapat diperkirakan bahwa suatu kasus yang telah dimulai secara ADR, katakanlah demikian, akan lebih mungkin untuk diteruskan dan berakhir dengan cara ADR pula ketimbang ADR dimunculkan di tengah (ketika perkara ditangani kejaksaan) atau diakhir proses peradilan pidana (maksudnya diputus oleh pengadilan). Dalam konteks kepolisian tersebut, maka isyunya adalah sebagai berikut: Terkait sistem peradilan pidana Indonesia, maka pada dasarnya proses yang harus dilalui dan berkas yang perlu dilengkapi terkait perkara besar atau kecil, sebenarnya sama saja. Dalam kaitan itu, perkara kecil seyogyanya diselesaikan dengan cara lain guna menghindari tumpukan perkara (congestion). Adapun yang dimaksud dengan perkara kecil atau ringan mencakup sebagai berikut: - Pelanggaran sebagaimana diatur dalam buku ketiga KUHP - Tindak pidana ringan yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 7.500 (tujuh ribu lima ratus rupiah) - Kejahatan ringan (lichte musjdriven) sebagaimana diatur dalam KUHP sebagai berikut: - Pasal 302 tentang penganiayaan ringan terhadap hewan - Pasal 352 tentang penganiayaan ringan terhadap manusia - Pasal 364 tentang pencurian ringan - Pasal 373 tentang penggelapan ringan - Pasal 379 tentang penipuan ringan - Pasal 482 tentang penadahan ringan - Pasal 315 tentang penghinaan ringan Kembali pada perkara kecil atau ringan tersebut, maka masyarakat (khususnya tingkat lokal) sebenarnya memiliki kapasitas tersendiri untuk menyelesaikan permasalahan perilaku seseorang atau beberapa orang warganya yang dianggap menyimpang atau melanggar pidana. Kapasitas itulah yang kita kenal dengan sebutan ”peradilan adat” atau village justice (dorpsrechtspraak) yang pada dasarnya merupakan upaya penduduk secara sukarela untuk menyelesaikan permasalahannya kepada suatu badan yang diketuai oleh kepala desa, tetua atau badan lain yang diakui dalam masyarakat. Setiap masyarakat, diyakini bahkan oleh ahli seperti teer Haar (1948) sebagai dimiliki oleh setiap masyarakat lokal dan dimanfaatkan untuk menyelesaikan konflik atau sengketa yang mereka hadapi[13]. Sayangnya, kapital sosial ini telah sejak beberapa lama tertinggal atau bahkan dilupakan pengembangannya. Salahsatu yang tertinggal adalah lembaga sosial Pecalang di Bali[14]. Kebijakan untuk tidak lekas-lekas membawa kasus yang kecil ke jalur penyidikan, juga selaras dengan model kegiatan kepolisian ”perpolisian komunitas” (terjemahan bebas dari community policing) yang dalam konteks Polri dikembangkan dengan dua elemen minimal (dari berbagai elemen yang secara teoritik dianjurkan oleh community policing) saja yakni kemitraan (partnership) dan pemecahan masalah (problem solving). Hal itu tercermin dalam Surat Keputusan Kapolri no 737/X/2005[15]. Dengan kata lain, justru dewasa ini hendak dipacu inisiatif maupun kemampuan masyarakat yang dibantu kepolisian setempat guna mengupayakan terjadinya pemecahan masalah terkait kasus-kasus lokal dan bersifat ringan. Selain diskresi (sebagai suatu pengenyampingan hukum atas masalah hukum) maupun ADR (penggunaan cara lain atas masalah hukum), maka sebenarnya masih terdapat satu lagi mekanisme bernuansa ADR dalam kepolisian. Mekanisme itu sering disebut dengan diversi (atau pembelokan non-penal oleh) polisi atau police diversion[16]. Seperti juga dikresi dan ADR, maka diversi polisi juga sebenarnya telah sering dilakukan namun kerap tidak disadari oleh kepolisian sendiri. Adapun jenis-jenisnya mencakup mulai dari pengabaian pidana atau pelanggaran yang telah terjadi (offence ignored), pemberian peringatan secara informal (informal warning), pemberian peringatan formal (formal warning), pemberitahuan bersifat pembatasan (infringement notice) hingga perintah kepolisian untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu (public address) Penutup Telah diperlihatkan berbagai penjelasan maupun perkembangan situasi terkait ADR sebagai suatu mekanisme terobosan dalam hukum dan perkembangannya di Indonesia. Hampir semuanya menjanjikan masa depan yang cerah guna mengatasi problem hukum itu sendiri, terutama dari sisi proses yang belum bisa menjanjikan kecepatan putusan, akurasi penanganan serta biaya yang murah sekaligus. Ke depan, diharapkan akan ada lebih banyak lagi terobosan yang dilakukan para pimpinan lembaga-lembaga hukum guna memungkinkan hidupnya ADR. ADR tentu saja tidak seyogyanya dilihat sebagai kompetitor, tetapi justru penyaring atau filter agar kasus yang benar-benar kompleks-lah yang kemudian ditangani para profesional di bidang hukum seperti kepolisian, kejaksaan dan peradilan. === Daftar Pustaka Alkostar, A., “Alternative Dispute Resolution Sebagai Salahsatu Bentuk Mekanisme Pemecahan dan Penanganan Masalah dalam Proses Penegakan Hukum Polri”, makalah, Jakarta, 2007 Kapolri, Kebijakan dan Strategi Penerapan Model Perpolisian Masyarakat dalam Penyelenggaraan Tugas Polri, Surat Keputusan, November 2005 LP3ES, Program Penguatan Balai Mediasi Desa, naskah proposal, Jakarta, 2005 Lumbuun, T.G.., ”Alternative Dispute Resolution Di Dalam Sistem Peradilan Pidana”, makalah, Jakarta, 2007 Meliala, A., ”Adakah Model-Model Resolusi Konflik”, artikel, Koran Tempo, 2001 Meliala, A. et. al, Restorative Justice: Sistem Pembinaan Narapidana untuk Pencegahan Residivisme, laporan, AusAID & Departemen Kriminologi FISIP UI, 2004 Meliala, A., ”Dampak Proses ADR dalam Penegakan Hukum Polri”, makalah, Jakarta, 2007 Mudzakkir, “Alternative Dispute Resolution (ADR): Penyelesaian Perkara Pidana Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia”, makalah, Jakarta, 2007 Nordholt, H.S., Bali: an open fortress, draft buku, KITLV-Leiden Soedarsono, T., “Sosialisasi Penanganan Perkara Melalui Proses Alternative Dispute Resolutions Sebagai Tindak Lanjut Dalam Mewujudkan Strategi Community Policing dan Kultur Polisi Sipil Dalam Proses Reformasi Polri”, makalah, Jakarta, 2006 teer Haar, B., Adat Law in Indonesia, New York: Institute of Pacific Relations, 1948 Santosa, M.A & Wiwiek A., ”Alternative Dispute Resolution (Negosiasi & Mediasi)”, naskah presentasi, Jakarta, tanpa tahun Bahan Internet Suffolk University, College of Arts & Sciences, Center for Restorative Justice, Wikipedia ================================= Adrianus Meliala, Drs. MSi. MSc. Ph.D Prof. [1] Pikiran ini berasal dari buah pikir Irjen Pol. DR. Teguh Soedarsono, Kadiv Binkum Polri, dalam presentasi mengenai ”Sosialisasi Penanganan Perkara Melalui Proses Alternative Dispute Resolutions Sebagai Tindak Lanjut Dalam Mewujudkan Strategi Community Policing dan Kultur Polisi Sipil Dalam Proses Reformasi Polri”, Jakarta, Mabes Polri, Desember 2006 [2] Adrianus Meliala, Adakah Model-Model Resolusi Konflik, artikel, Koran Tempo, 10 April 2001 [3] Mas Achmad Santosa & Wiwiek Awiati, Alternative Dispute Resolution (Negosiasi & Mediasi), naskah presentasi, ICEL, Jakarta, tanpa tahun [4] Mudzakkir, “Alternative Dispute Resolution (ADR) : Penyelesaian Perkara Pidana Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, makalah workshop, Jakarta, 18 Januari 2007 [5] Mudzakkir, “Alternative Dispute Resolution (ADR): Penyelesaian Perkara Pidana Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, makalah workshop, Jakarta, 18 Januari 2007 [6] Adrianus Meliala, Mamiek Sri Supatmi, Santi Kusumaningrum, Kisnu Widagso dan Fikri Somyadewi, Restorative Justice: Sistem Pembinaan Narapidana untuk Pencegahan Residivisme, laporan, AusAID & Departemen Kriminologi FISIP UI, 2004 [7] Kutipan bebas dari materi yang terdapat dalam Suffolk University, College of Arts & Sciences, Center for Restorative Justice, Wikipedia [8] T. Gayus Lumbuun, Alternative Dispute Resolution Di Dalam Sistem Peradilan Pidana, makalah workshop, 18 Januari 2007 [9] Artidjo Alkostar, “Alternative Dispute Resolution Sebagai Salahsatu Bentuk Mekanisme Pemecahan dan Penanganan Masalah dalam Proses Penegakan Hukum Polri”, makalah seminar, Jakarta, 28 Februari 2007 [10] LP3ES, Program Penguatan Balai Mediasi Desa, naskah proposal yang dibuat dalam rangka pencarian pendanaan, Jakarta, 2005 [11] Adrianus Meliala, Dampak Proses ADR Dalam Penegakan Hukum Polri, makalah seminar, Jakarta, 28 Februari 2007 [12] T. Gayus Lumbuun, Alternative Dispute Resolution Di Dalam Sistem Peradilan Pidana, makalah workshop, Jakarta, 18 Januari 2007 [13] Lihat studi B teer Haar, Adat Law in Indonesia, New York: Institute of Pacific Relations, 1948, hal 2 [14] Pecalang dikaji secara khusus dalam draft buku karya Henk Schulte Nordholt, Bali: an open fortress, KITLV-Leiden, belum diterbitkan [15] Surat Keputusan Kapolri tentang Kebijakan dan Strategi Penerapan Model Perpolisian Masyarakat dalam Penyelenggaraan Tugas Polri. Surat Keputusan ini kemudian telah melahirkan 3 Surat Keputusan terkait dengan implementasi model perpolisian tersebut

1 komentar:

  1. Good articles, Have you heard of LFDS (Le_Meridian Funding Service, Email: lfdsloans@outlook.com --WhatsApp Contact:+1-9893943740--lfdsloans@lemeridianfds.com) is as USA/UK funding service they grant me loan of $95,000.00 to launch my business and I have been paying them annually for two years now and I still have 2 years left although I enjoy working with them because they are genuine Loan lender who can give you any kind of loan.

    BalasHapus

Post Bottom Ad

Responsive Ads Here