Subthema: Kumpulan 50 Artikel Opini tentang Dialok Jakarta Papua Tahun 2001-2011
YOGYAKARTA, Selasa 20/06, siang tadi, Pemerintah Gubernur Yogyakarta Bapak SRI SULTAN HAMENGKU BUWONO X, rekan-rekan Pejabat, Dosen di berbagai Daerah di Indonesia, bersama peluncuran buku ANGKAT PENA BAGI DIALOG PAPUA Oleh Pastor Neles Tebai, dan mahasiswa/I bergagai daerah di Yogyakarta mengelar Diskusi Angkat Pena Demi Dialog Papua di Ruang seminar Univertitas kali jaga jogyakarta (UNJ), Diskusi ini Mulai Pada Pukul 09:00-13-30 siang tadi.
Dalam diskusi ini di bagai menjadi tiga bagian yaitu, yang pertama sebagai pengantar dari penulis buku berlangsung dengan pemberian buku secara simbolik kepada Sri Sultan, dan kepada kelima pembicara. yang kedua adalah pengantar dari Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan yang ketiga adalah diskusi panel.
Awal kata dan sebagai pembukaan dari penulis buku Bapak Pastor Nelis Kebadabi Tebay mengatakan versi bahasa papua, wa…wa…wa, artinya: Ekxpresi dari bangsa Papua atau sama dengan semakin dalam kegembiraan dan kehormatan.
Lanjutnya, saya menulis mengenai dialog Jakarta Papua karena pandangan saya dengan dialog itu menjadi suatu menuju perdamaian di bumi Indonesia terutama Papua.
Tambahannya, dengan melihatnya pandangan saya ini maka saya memberikan symbolik perdamaian kepada bapak gubernur DIY Bapak, Sri Sultan Hamingku Buwono X dan lima orang pejabat daerah sekaligus pembawa materinya pada pagi hari ini.
Kata Sultan, Dialog Jakarta Papua, Jalan Damai Tanpa Kekerasan Menuju Papua tanah damai. Indonesia yang modern adil dan beradab, bangsa perdamaian akan muncul ketika ada dialog resolusi pradaban budaya ini, Kata Gubernur Daerah Istimewa Jogyakarta di ruang seminar UIN selasa 20/6 siang tadi .
Lanjutnya, program dari pusat saat ini di Papua, pandangan saya tidak cukup kata Gubernur dengan tegas, misalnya:
1. UP4B yang sekarang sedang di tawarkan tidak cukup terulangnya, dan program ini terwujud ketika TNI/Polri Organik maupun non organic tarik dari papua atau dari bumi cendrawasih.
2. Dana otsus 28 triliun rupiah belum terwujut, jika kita melihat secara formal sebesar dana seperti ini secara ekonomi telah terwujud bagi Bangsa Papua di Papua. Namun terjadilah marjinalisasi dan diskriminasi disana.
Tambahannya, Kita Melihat Hal Semacam Ini Selalu Ada dan Tertidur Di Papua Saat Ini Karena:
1. Pelanggaran HAM dan Kekerasan Negara
2. Sejarah dan status politik harus dilihat
3. Tahun 1961harus dibahas secara jujur
4. Otsus papua melakukan lihat baik tapi di Papua paling miskin di Indonesia
5. Papua harus meneguhkan dan menghargai tanah adat budaya
6. Dialog sangat lakukan saat ini, karena itu merupakan sebuah media terbuka untuk terwujudnya perdamaian di Papua, dengan dialog maka pihak harus menghargai demi terwujudnya perdamaian.
Disini Dialog Bukan Bangsa Papua Merdeka, dan Bukan Juga Papua Dalam NKRI, Namun Terwujutnya Damai Di Negeri Ini, Kata Gubernur Yogyakarta, Sri Sultan ke x.
Lanjutnya, Mengenai Di Birokrasi Pemerintahan:
1. Pemerintah Harus Menghargai Rakyat Asli Papua
2. Harus Tinggikan Rekonsiliasi
3. Pemberdayaan invraktruktur dan supraktruktur yang bersifat menggerakan pembangunan
4. Tanah Papua harus menghormati sosial budaya yang ada dari sejak adanya pulau Papua, yaitu: Orang Papua di Papua, Orang Papua Di Luar Negeri, dan Oarang Pendatang di Papua kata kepala Daerah Privinsi Yogyakarta.
II. Diskusi Panel:
Pembicara Pertama, dari rector UNJ mengatakan, : Papua adalah salah satu masalah bukan karena pendekatan TNI/Polri Organic dan Non Organic di Papua yang menjatuhkan tetapi Negara inilah yang salah satu masalah.
Lanjutnya, Kita ada disini bukan karena kita satukan melalui bahasa yang mengatakan dari sabang sampai merauke adalah bangsa Indonesia, dan juga bukan karena Indonesia adalah satu bahas bahasa Indonesia, sementara kita melihat papua adalah 2050 bahasa, itukan kita tidak bisa dikatakan satu tetapi kita ada disini karena kita adalah manusia yang berbudaya,maka kita posisi yang pas untuk kita bicara peluncuran buku ANGKAT PENA DEMI DIALOG PAPUA.
Ada ketidak percayaan antara Jakarta dan Papua sementara Susilo Bambang Yhudoyono (SBY) membuat Tanah Zona Damai, bagimana jika tidak melalui dialog?, dengan tegas.
Tambahannya, Papua adalah rumah Papua, dan Jakarta membuat masyarakat papua menjerat dipinggirkan, budaya juga membuat marginalisasi, sementara manusia papua membutuhkan manusia berbuadaya.
Pembicara Kedua:, Bahas Indonesia yang membuat Bangsa Papua di jajah, kata rector UNII ini, contohnya adalah: saya menyuruh penelitian di Sentani Jayapura Papua salah seorang mahasiswa Jawa, sebelum ke Papua turun lapangan penelitian iya harus belajar bahasa sentani, karena masyarakat sentani tahu bahasa sentani bukan tahu bahasa Indonesia, jika tidak tahu bahasa sentani dan turun ke lapangan berarti “inilah bentuk penjajahnya Orang papua”.
Kita melihat berbagi penjajahan diberbagai jalur maka berlakulah Otonomi khusus di Papua pada sejak 2001 tahun yang lalu, sementara masyarakat papua tidak butuh otonomi khusus pada saat itu, katanya.
Lanjutnya, Otonomi khusus untuk sebagai jembatan menyelesaikan masalah-masalah Papua jalur budaya, maka terbentuklah MRP untuk mengangkat budaya dasar DI PAPUA.
Sementara ini saya melihat MRP di Papua membisu. MRP membisu bukan karena tidak mau melihat budayanya. Namun tetapi karena kondisi yang membuat mereka sedang dalam membisu pada saat ini, jelasnya.
Pembicara Ketiga, dari, Organisasi Masa Indonesia (ORMASI) Islam Indonesia, iya mengatakan, Jakarta tidak hargai Jakarta, Jakarta tidak hargai jogyakarta maka Jakarta juga tidak hargai papua.
Lanjutnya, Jakarta makan Jakarta maka Jakarta harus makan jogyakart, dan Jakarta juga harus makan Papua, tegasnya.
Papua perlu membuat pengingat HAM, karena Papua sedang dalam pelanggaran HAM berat, saya mengatakan demikian karena di jerman ada kantor pengingat HAM seperti saya katakana diatas tadi, tandasnya.
Pembicara Keempat:, dari lipi, dialog, jalan menuju perdamaian tanpa kekerasan, sebuah perjuangan antara realitas fakta kemanusiaan dan kepentingan politik ekonomi (Prespektif dan usul konkrit seorang peneliti, “Papua Road mop”.)
Tambahannya, disini saya bicara mengenai dua hal yang pertama mengenai kondisi saat ini di Papua, kedua mengenai peluncuran buku angkat pena demi dialok Papua.
Lanjutnya, Kekerasan di papua Nampak ketika konggres ketiga di Papua 1 Desember 2011 di jayapura Papua. Kekerasan ini belum normal kembali sampai saat ini namu saat ini yang paling meningkat pelanggaran HAM di Papua.
Pelanggaran HAM berat yang terjadi di Papua ini terjadi karena, ketidak pahaman antara Papua dan Jakarta, masyarakat papua dan pemerintah daerah, pemerintah daerah dan pemerintah pusat dan pemerintah pusat dan masyarakat Papua, tandasnya.
Hal-hal semacam ini terjadi sehingga terjadilah berbagai macam marginalisasi di Papua. masalah-masalah ini sedang berjalan serius di Papua, sementara pemerintah menambahkan masalah baru UP4B saat ini. Program UP4B adalah bukan solusi utama menyelesaikan masalah Papua tuturnya.
Kata penutup dari Pastor Neles K Tebay, adalah “Masyarakat Yogyakarta dan Masyarakat Papua Adalah Bukan Masyarakat “Masa” tetapi Masyarakat biasa, karena secara arafiah masyarakat Papua tetap masyarakat Papua masyarakat Yogyakarta tetap masyarkat Yogyakarta, bukan masyarakat Papua dan masyarakat Yogyakarta adalah masyarakat NKRI. (Yegema).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar