Jakarta Sosok Joko
Widodo atau akrab disapa Jokowi bak magnet. Dengan gaya kepemimpinan
barunya sebagai Gubernur DKI Jakarta 2012-2017, tentu menjadi sorotan
publik akhir-akhir ini. Sederhana dan merakyat.
Ketua Forum Studi Kebudayaan Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB, Acep Iwan Saidi, memiliki penilain sendiri terhadap sosok berbadan kurus dan suka dengan musik cadas itu. Acep yang juga dosen FSRD ini menilai apa yang dilakukan Jokowi adalah menjalankan apa yang dia ucapkan dalam kampanyenya saat bertarung di bursa pemilihan Gubernur DKI Jakarta beberapa waktu lalu.
"Apa yang dilakukan saat ini menandakan dia mau bekerja, menindak keras, tidak mau kerja tanpa protokol. Pada titik itu Jokowi masih memberikan harapan kepada masyarakat atas apa yang diucapkannya saat kampanye," ujar seniman yang bertitel doktor, saat berbincang dengan detikcom, Selasa (23/10/2012) via telepon.
Namun, sang gubernur tetap harus memperhitungkan kondisi wilayah yang kini dihadapinya berbeda dengan kondisi dimana dia dulu memimpin. Di Solo, kata Acep, perputaran waktu relatif lambat sehingga Jokowi bisa leluasa bekerja dan mengambil langkah kompromi dengan masyarakat yang dihadapinya.
"Berbeda dengan Jakarta yang perputaran waktunya cepat, mekanik, kompetitif, dan terkadang banyak pertimbangan-pertimbangan," ujar Acep yang mengenyam ilmu kebudayaan di Universitas Indonesia.
"Konsep lu-lu gua-gua bisa bisa diartikan kalau lu tidak memberikan apa yang dapat menguntungkan masyarakat maka lu gua tinggalkan. Di Jakarta secara psikologis dan kultur hawanya lebih tinggi dari Solo karena itulah karakteristik kota urban," imbuhnya.
Dalam konteks kemenanangan Pilgub DKI, jelas Acep, Jokowi berhasil menarik simpati masyarakat Jakarta dengan polanya yang 'Memanusiakan Manusia'. Tentunya, sambung Acep, konsep ini mau tidak mau juga harus diterapkan di Jakarta.
"Dalam konteks kampanye Jokowi berhasil membawa Solo ke Jakarta," tutur pria kelahiran Bogor tahun 1969 ini.
Faktor lain yang membawa kemenangan bagi Jokowi adalah penerjemahan yang berhasil dilakukan Jokowi dalam melihat realita yang ada di masyarakat.
"Konsep to say dia berhasil mengatakan suatu realita kepada masyarakat, to explain dia mampu menjelaskan realita itu dan mudah dicerna masyarakat, to translate Jokowi berhasil menerjemahkannya," papar Acep.
Contoh dari tiga konsep itu dilakukan Jokowi dengan membawa selembar kartu jaminan kesehatan untuk masyarakat tidak mampu yang mampu dia jalankan di Solo. "Padahal itu cuma selembar kertas, tapi itulah strateginya dan dia berhasil," ujarnya.
Lalu, apakah mampu strategi kemenangan Jokowi di Solo diadopsi ke Jakarta?
"Jokowi harus cepat membangun tim yang solid dengan banyak kaki-tangan. Ingat janji dia ke masyarakat. Dia harus mampu menggerakan konsepnya," kata Acep.
Membangun tim yang solid dan banyak kaki-kaki adalah agar sang gubernur ini tidak terlalu kelelahan dalam mengejar janji yang pernah disampaikannya. "Kalau tidak ada tim solid, maka dia akan kelelahan," jelasnya.
Konsekuensi terburuk bila sang gubernur tidak kosnsisten dalam pelaksanaan, ujar Acep, orang bisa berbalik dan meninggalkan sosok Jokowi.
"Orang bisa berbalik dan dia bisa ditinggalkan apabila tidak konsisten dia melaksanakan dari apa yang disampaikan saat kampanye. Dan itu sama saja menggali kubur sendiri di Jakarta," ucapnya.
Acep menambahkan, dalam sejarah kepemimpinan Jakarta dibutuhkan sosok pimpinan yang tegas, seperti Ali Sadikin dan Sutiyoso. Contoh pimpinan seperti ini dalam banyak hal tidak mengenal kompromi
"Dia (Jokowi) butuh persiapan mental seperti itu, satu sisi dia kelelahan sisi lain masyarakat menuntut, dia harus mengambil sikap tegas, keputusan yang memberikan effort pada masyarakat, kalau tidak dia bisa ditinggalkan," ujarnya.
Acep mengingatkan, Jokowi harus tetap menjalankan penafsiran atas realita yang ada di masyarakat. Tentunya dengan pembentukan tim yang solid supaya sang gubernur tidak kelelahan dalam menjalankan janjinya membawa perubahan.
"Jangan sampai cara tafsir yang dia lakukan itu menjadi kerja pencitraan, (Yegema
Ketua Forum Studi Kebudayaan Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB, Acep Iwan Saidi, memiliki penilain sendiri terhadap sosok berbadan kurus dan suka dengan musik cadas itu. Acep yang juga dosen FSRD ini menilai apa yang dilakukan Jokowi adalah menjalankan apa yang dia ucapkan dalam kampanyenya saat bertarung di bursa pemilihan Gubernur DKI Jakarta beberapa waktu lalu.
"Apa yang dilakukan saat ini menandakan dia mau bekerja, menindak keras, tidak mau kerja tanpa protokol. Pada titik itu Jokowi masih memberikan harapan kepada masyarakat atas apa yang diucapkannya saat kampanye," ujar seniman yang bertitel doktor, saat berbincang dengan detikcom, Selasa (23/10/2012) via telepon.
Namun, sang gubernur tetap harus memperhitungkan kondisi wilayah yang kini dihadapinya berbeda dengan kondisi dimana dia dulu memimpin. Di Solo, kata Acep, perputaran waktu relatif lambat sehingga Jokowi bisa leluasa bekerja dan mengambil langkah kompromi dengan masyarakat yang dihadapinya.
"Berbeda dengan Jakarta yang perputaran waktunya cepat, mekanik, kompetitif, dan terkadang banyak pertimbangan-pertimbangan," ujar Acep yang mengenyam ilmu kebudayaan di Universitas Indonesia.
"Konsep lu-lu gua-gua bisa bisa diartikan kalau lu tidak memberikan apa yang dapat menguntungkan masyarakat maka lu gua tinggalkan. Di Jakarta secara psikologis dan kultur hawanya lebih tinggi dari Solo karena itulah karakteristik kota urban," imbuhnya.
Dalam konteks kemenanangan Pilgub DKI, jelas Acep, Jokowi berhasil menarik simpati masyarakat Jakarta dengan polanya yang 'Memanusiakan Manusia'. Tentunya, sambung Acep, konsep ini mau tidak mau juga harus diterapkan di Jakarta.
"Dalam konteks kampanye Jokowi berhasil membawa Solo ke Jakarta," tutur pria kelahiran Bogor tahun 1969 ini.
Faktor lain yang membawa kemenangan bagi Jokowi adalah penerjemahan yang berhasil dilakukan Jokowi dalam melihat realita yang ada di masyarakat.
"Konsep to say dia berhasil mengatakan suatu realita kepada masyarakat, to explain dia mampu menjelaskan realita itu dan mudah dicerna masyarakat, to translate Jokowi berhasil menerjemahkannya," papar Acep.
Contoh dari tiga konsep itu dilakukan Jokowi dengan membawa selembar kartu jaminan kesehatan untuk masyarakat tidak mampu yang mampu dia jalankan di Solo. "Padahal itu cuma selembar kertas, tapi itulah strateginya dan dia berhasil," ujarnya.
Lalu, apakah mampu strategi kemenangan Jokowi di Solo diadopsi ke Jakarta?
"Jokowi harus cepat membangun tim yang solid dengan banyak kaki-tangan. Ingat janji dia ke masyarakat. Dia harus mampu menggerakan konsepnya," kata Acep.
Membangun tim yang solid dan banyak kaki-kaki adalah agar sang gubernur ini tidak terlalu kelelahan dalam mengejar janji yang pernah disampaikannya. "Kalau tidak ada tim solid, maka dia akan kelelahan," jelasnya.
Konsekuensi terburuk bila sang gubernur tidak kosnsisten dalam pelaksanaan, ujar Acep, orang bisa berbalik dan meninggalkan sosok Jokowi.
"Orang bisa berbalik dan dia bisa ditinggalkan apabila tidak konsisten dia melaksanakan dari apa yang disampaikan saat kampanye. Dan itu sama saja menggali kubur sendiri di Jakarta," ucapnya.
Acep menambahkan, dalam sejarah kepemimpinan Jakarta dibutuhkan sosok pimpinan yang tegas, seperti Ali Sadikin dan Sutiyoso. Contoh pimpinan seperti ini dalam banyak hal tidak mengenal kompromi
"Dia (Jokowi) butuh persiapan mental seperti itu, satu sisi dia kelelahan sisi lain masyarakat menuntut, dia harus mengambil sikap tegas, keputusan yang memberikan effort pada masyarakat, kalau tidak dia bisa ditinggalkan," ujarnya.
Acep mengingatkan, Jokowi harus tetap menjalankan penafsiran atas realita yang ada di masyarakat. Tentunya dengan pembentukan tim yang solid supaya sang gubernur tidak kelelahan dalam menjalankan janjinya membawa perubahan.
"Jangan sampai cara tafsir yang dia lakukan itu menjadi kerja pencitraan, (Yegema
Tidak ada komentar:
Posting Komentar