SANJAK AKU dan PANTUN TUA - Langkah-Ku Tanpa Alas Kaki

Langkah-Ku Tanpa  Alas Kaki

Langkah-Ku Tanpa Alas Kaki

test banner

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Minggu, 12 April 2015

SANJAK AKU dan PANTUN TUA


Ketika Yeri Melamar Pantung di Depan Rumagnya.

KINI Setelah Orang Makasar  dari Toraja dan Orang Jawa dari SBY (Surabaya), bagaimana kecakap-cakepan Orang Papua dengan contoh penyair Yeri Madai dari Papua. Dengan kreasi puisi berupa sajaknya berjudul “ Aku dan Pantun Tua”.
 
            Jika hendak disimak keperbedaanya, hal itu terutama terletak pada pilihan pengungkapan tema yang lebih kental pada paduan situasi-kondisi yang faktual lagi aktual. Dituturkan dengan luapan emosi yang semarak. Namun senantiasa menangis dalam simbolisasi atau metafora yang bernada irama dinamik puitik. Suatu osmosia – ramuan – yang harmonis tak terpadu.

Hingga mampu menggugah bahkan terkesankan menggugat kondisi kehidupan manusia. Khususnya rakyat pekerja. Dalam kegegap-gempitaan jejak juang menjalani kehidupan. Supaya kebenaran dan keadilan dijaga ditegakkan sekaligus!

Dengan kata lain sajak “Aku dan Pantun Tua” adalah ekspresi protes sosial dalam puisi. Suatu pertanda nyata akan naluri aspirasi manusia yang berhak dan mendasar: untuk mengenyam kehidupan di alam merdeka, adil makmur dan beradab. Suatu naluri aspirasi manusia yang sudah, sedang dan bisa akan terjadi di mana kapanpun juga adanya semacam politikus. 

            Dari sejumlah hasil aktivitas-krreativitasnya, Yeri Madai memang telah menandakan dengan nyata kepedulian seorang anak bangsa, seorang dari jurang kemiskina di papua sementara papua kaya raya.  Seorang penyair yang peduli akan kondisi hidup kehidupan di atas tanah tumpah darahnya. Papua kaya Raya yang megah, luas, kaya raya, indah, tapi sebagian besar rakyat masih belum bisa mengenyam kehidupan hidup dalam rumah gubuk. Kemerdekaan dalam makna yang luas dan yang hakiki. Kehidupan yang modern dan beradab.

 Apa yang dilukiskan oleh Yeri Madai  dengan “AKU dan PANTUN TUA” ini rupanya masih belum usai. Masih akan bersambung. Lantaran perjuangan itu sendiri memang belum selesai. Negeri Papua tetap Negeri Papua. Bumi papua selalu ada kekacauan sehingga pantun Tua mengirim sebuah pantun yang bernada bergelombang seperti air laut yang belum pernah damai.

Ini sebagai pengantar dan sebagian orang yang telah terdahulu ketika mereka  bersama titipan politik demi Papua yang selalu bicarakan di Nasional dan Internasional yang ada berjatuhan karena kena peluru alat negara, bagaikan kali Yawei menuju sungai mambramo yang selalu mengalir deras. dan itulah derai air mata Papua.

            Pantun Tua mengirim pantunnya melalui  angin yang beru-baru lewat di atas rumah gubuk menuju ruang politik, Namun  dasarnya politikus sedang bernyanyi di meja makan. dan bunyi nadanya demikian: berliku-liku jalan seperti yang dulu zama-zaman tidak kembali zaman, kapan kita pun pergi bersama zaman. Bumi Papua tetap menanti di kursi gelap hokum Indonesia. Maka titipan pantun demikian!!

Pantun Tua Mengirim Pantunnya
Di genangan bumi Papua
Ku dengar suara merdu
Berkesiur potret wajah rakyat
Bergelantung di perasingan langkah

Aku  Pun Langsung Membalas
Mamatung senja wajah mudah
Terkapar di peraduan zaman
Membuncahkan seluruh tanah air
Seraya mengungsi jiwa

Kemudian Pantun Tua Pun Membalasnya
Tersuguh lelap atas kekuasaan sang politik
Dalam rumah pertiwi akan menyanyi
Anak watan berbaring meramaikan
Jalan massa berburam

Aku Pun Langsung Membalas
Di samping jalan ada tertidur nyamuk
Melengking nafas bersanding derita
Derita mewadahi tanah air
Berselimut kabut tertelan waktu

Kemudian Pantun Tua Pun Membalasnya
Orang-orang miskin menangis dijalan
Berkerumun selaput rampung di pedesaan
Menapak ladang di tanah leluhur
Bercucuran keringat mengalir

Aku Pun Langsung Membalas
Bermuara dalam peperangan waktu
Namun di balik gedung tertinggi
Politik sedang mengupas suap menyuap
Pandangan tentang rupiah

Kemudian Pantun Tua Pun Membalasnya
Rakyat mendengung peraduan
Bersanding merunduk ranum jiwa
Membasuh dibalik harapan
Di negri yang tak berwajah

Aku pun Langsung Membalas
Lalu bersanding merengku mimpi
Dalam pengadaian hidup bersatu
Dalam mimbar berbagai perkataan
Tuan-tuan sedang rapat

Pantun Tua Pun Langsung Membalas
Berbicara tentang renovasi gedung
Melindap bersilancar mengemas rupiah
Berteriak seraya membangun negri ini
Menumbuh keadilan di kerawang pertiwi

Aku pun Langsung Membalas
Tuan lihatlah dengan mata hati
Kaum pejuang muda menderas derita
Menyebrang jembatan maut
Mendayu endapkan jiwa

Pantun Tua Pun Langsung Membalas
Demi massa depan untuk memperkokoh bangsa papua
Melandasi bangsa retorika kukuh Tuan
Masihkah kau tidur terlelap dengan kekuasaanmu
Coba Tuan bangunlah dalam tidur

Aku Pun Langsung Membalas
Di luar sana batu di bungkus massa
Darah terus mengalir membasahi tanah Leluhur
Tuan tinggal menanti
Lihatlah dengan mata hati

Pantun Tua Pun Langsung Membalasnya
Kaum wanita menangis pilu
Menderai-deraikan nafas
Yang terkuntum ditanah haram
Menggendong daging atas perbudakan

Aku Pun Langsung Membalas
Menggendong daging atas perbudakan
Ratapi sangkar musnah jiwa
Tak ada lagi harga diri
Apa Yang tercantum di negri ini

Pantun Tua pun Langsung Membalas
Lihatlah tuhan dengan mata hati
Masih ingatkah Tuan peristiwa dermaga sana
Di sana telah di tumpahkan darah yang bercecer
Di sudut pelabuhan

Aku pun Langsung Membalas
Tuan-tuan Untuk apa Tuan?
Pejuang muda kau teror
Dalam dinding garis air mata kehidupan
Bebalut serapah menantang hukum

Pantun Tua Pun Langsung Membalas
Atas penindasanmu ku tidur
Para koruptor kau bebaskan dengan uang dan uang
Di mana kau letakkan keadilan !
Jangan kau bernyanyi di meja pengadilan

Aku pun Langsung Membalas
Nyanyian busuk titipan bawah meja
Membusukan nyanyian bangsa kemerdekaan
Sungguh engkau telah mematikan negri
Tuturkan katamu membuat negri bernyanyi

Pantun Tua Pun Langsung Membalas
Nyanyian telah merobekkan tubuh negeri
Sejuta janji sejuta sumpah
Di layar dunia potret wajahmu
Hampir mengkibarkan seluruh negri papua

Aku Pun Langsung Membalas
Lalu seraya berkata negri ini akan damai dan sejahteraan
Namun pernyataan itu kau menghianatinya
Demikian untukmu dijadikan opjek derita
Untuk apa kita bicara, bicara Cuma omong saja.

Pantun ini, Ku inspirasi ketika saya makan Ubi Bakar di sebuah Kampung Kecil Dagokebo, Jika Hukum Indonesia seperti begini bagimana esok hari ? Biar Sidah sambil menanti yang punya kuasa kapan datang?. jika hukum ini seperti begini dan Indonesia Seperti Begitu?....By, Yeri Madai.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Bottom Ad

Responsive Ads Here