Ketika Yeri Melamar Pantung di Depan Rumagnya. |
KINI Setelah Orang Makasar
dari Toraja dan Orang Jawa dari SBY (Surabaya),
bagaimana kecakap-cakepan Orang Papua dengan contoh penyair Yeri Madai dari Papua. Dengan kreasi
puisi berupa sajaknya berjudul “ Aku dan
Pantun Tua”.
Jika
hendak disimak keperbedaanya, hal itu terutama terletak pada pilihan
pengungkapan tema yang lebih kental pada paduan situasi-kondisi yang faktual
lagi aktual. Dituturkan dengan luapan emosi yang semarak. Namun senantiasa
menangis dalam simbolisasi atau metafora yang bernada irama dinamik puitik.
Suatu osmosia – ramuan – yang harmonis tak terpadu.
Hingga mampu menggugah bahkan
terkesankan menggugat kondisi kehidupan manusia. Khususnya rakyat pekerja.
Dalam kegegap-gempitaan jejak juang menjalani kehidupan. Supaya kebenaran dan
keadilan dijaga ditegakkan sekaligus!
Dengan kata lain sajak “Aku dan Pantun Tua” adalah ekspresi
protes sosial dalam puisi. Suatu pertanda nyata akan naluri aspirasi manusia
yang berhak dan mendasar: untuk mengenyam kehidupan di alam merdeka, adil
makmur dan beradab. Suatu naluri aspirasi manusia yang sudah, sedang dan bisa
akan terjadi di mana kapanpun juga adanya semacam politikus.
Dari sejumlah hasil aktivitas-krreativitasnya,
Yeri Madai memang telah menandakan
dengan nyata kepedulian seorang anak bangsa, seorang dari jurang kemiskina di
papua sementara papua kaya raya. Seorang penyair yang peduli akan kondisi
hidup kehidupan di atas tanah tumpah darahnya. Papua kaya Raya yang megah,
luas, kaya raya, indah, tapi sebagian besar rakyat masih belum bisa mengenyam
kehidupan hidup dalam rumah gubuk. Kemerdekaan dalam makna yang luas dan yang
hakiki. Kehidupan yang modern dan beradab.
Apa yang dilukiskan
oleh Yeri Madai dengan “AKU
dan PANTUN TUA” ini rupanya masih belum usai. Masih akan bersambung.
Lantaran perjuangan itu sendiri memang belum selesai. Negeri Papua tetap Negeri
Papua.
Bumi papua selalu ada kekacauan sehingga pantun Tua mengirim sebuah pantun yang
bernada bergelombang seperti air laut yang belum pernah damai.
Ini sebagai
pengantar dan sebagian orang yang telah terdahulu ketika mereka bersama titipan politik demi Papua yang selalu
bicarakan di Nasional dan Internasional yang ada berjatuhan karena kena peluru
alat negara, bagaikan kali Yawei menuju sungai mambramo yang selalu mengalir
deras. dan itulah derai air mata Papua.
Pantun
Tua mengirim pantunnya melalui angin
yang beru-baru lewat di atas rumah gubuk menuju ruang politik, Namun dasarnya politikus sedang bernyanyi di meja
makan. dan bunyi nadanya demikian: berliku-liku jalan seperti yang dulu
zama-zaman tidak kembali zaman, kapan kita pun pergi bersama zaman. Bumi Papua tetap
menanti di kursi gelap hokum Indonesia. Maka titipan pantun demikian!!
Pantun Tua Mengirim Pantunnya
Di genangan bumi Papua
Ku dengar suara merdu
Berkesiur potret wajah
rakyat
Bergelantung di
perasingan langkah
Aku Pun Langsung Membalas
Mamatung senja wajah
mudah
Terkapar di peraduan
zaman
Membuncahkan seluruh
tanah air
Seraya mengungsi jiwa
Kemudian Pantun Tua Pun Membalasnya
Tersuguh lelap atas kekuasaan sang
politik
Dalam rumah pertiwi akan menyanyi
Anak watan berbaring meramaikan
Jalan massa berburam
Aku Pun Langsung Membalas
Di samping jalan ada tertidur nyamuk
Melengking nafas bersanding derita
Derita mewadahi tanah air
Berselimut kabut tertelan waktu
Kemudian Pantun Tua
Pun Membalasnya
Orang-orang miskin menangis dijalan
Berkerumun selaput rampung di pedesaan
Menapak ladang di tanah leluhur
Bercucuran keringat mengalir
Aku
Pun Langsung Membalas
Bermuara
dalam peperangan waktu
Namun
di balik gedung tertinggi
Politik
sedang mengupas suap menyuap
Pandangan
tentang rupiah
Kemudian Pantun Tua
Pun Membalasnya
Rakyat mendengung peraduan
Bersanding merunduk ranum jiwa
Membasuh dibalik harapan
Di negri yang tak berwajah
Aku pun Langsung
Membalas
Lalu bersanding merengku mimpi
Dalam pengadaian hidup bersatu
Dalam mimbar berbagai perkataan
Tuan-tuan sedang rapat
Pantun Tua Pun
Langsung Membalas
Berbicara tentang renovasi gedung
Melindap bersilancar mengemas rupiah
Berteriak seraya membangun negri ini
Menumbuh keadilan di kerawang pertiwi
Aku pun Langsung Membalas
Tuan lihatlah dengan mata hati
Kaum pejuang muda menderas derita
Menyebrang jembatan maut
Mendayu endapkan jiwa
Pantun Tua Pun Langsung Membalas
Demi massa depan untuk memperkokoh
bangsa papua
Melandasi bangsa retorika kukuh Tuan
Masihkah kau tidur terlelap dengan
kekuasaanmu
Coba Tuan bangunlah dalam tidur
Aku Pun Langsung Membalas
Di luar sana batu di bungkus massa
Darah terus mengalir membasahi tanah
Leluhur
Tuan tinggal menanti
Lihatlah dengan mata hati
Pantun Tua Pun Langsung Membalasnya
Kaum wanita menangis pilu
Menderai-deraikan nafas
Yang terkuntum ditanah haram
Menggendong daging atas perbudakan
Aku Pun Langsung
Membalas
Menggendong daging atas perbudakan
Ratapi sangkar musnah jiwa
Tak ada lagi harga diri
Apa Yang tercantum di negri ini
Pantun Tua pun Langsung Membalas
Lihatlah tuhan dengan mata hati
Masih ingatkah Tuan peristiwa dermaga
sana
Di sana telah di tumpahkan darah yang
bercecer
Di sudut pelabuhan
Aku pun Langsung
Membalas
Tuan-tuan Untuk apa Tuan?
Pejuang muda kau teror
Dalam dinding garis air mata kehidupan
Bebalut serapah menantang hukum
Pantun Tua Pun Langsung Membalas
Atas penindasanmu ku tidur
Para koruptor kau bebaskan dengan uang
dan uang
Di mana kau letakkan keadilan !
Jangan kau bernyanyi di meja pengadilan
Aku pun Langsung Membalas
Nyanyian busuk titipan bawah meja
Membusukan nyanyian bangsa kemerdekaan
Sungguh engkau telah mematikan negri
Tuturkan katamu membuat negri bernyanyi
Pantun Tua Pun
Langsung Membalas
Nyanyian telah merobekkan tubuh negeri
Sejuta janji sejuta sumpah
Di layar dunia potret wajahmu
Hampir mengkibarkan seluruh negri papua
Aku Pun Langsung
Membalas
Lalu seraya berkata negri ini akan damai
dan sejahteraan
Namun pernyataan itu kau menghianatinya
Demikian untukmu dijadikan opjek derita
Untuk apa kita bicara, bicara Cuma omong
saja.
Pantun ini, Ku
inspirasi ketika saya makan Ubi
Bakar di sebuah Kampung Kecil Dagokebo, Jika Hukum Indonesia seperti begini bagimana esok hari ? Biar Sidah sambil
menanti yang punya kuasa kapan datang?. jika hukum ini seperti begini dan
Indonesia Seperti Begitu?....By, Yeri Madai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar