Oleh: Yerino Germanus Madai
Hari senin saya berjalan melangkah di kecamatan tadi yaitu Waghete sekarang ibukota kabupaten Deiyai.
Saya pergi ke sekolah pagi-pagi dan hari itu pula hari pasar yang penuh dengan masyarakat pedalam paniai sebagian meuwodide. Warga dari berbagai kampung seperti distrik Tigi Timur diantaranya Kampung Dagokebo, Udaugi, Watiyai, Dama dan sekitarnya, Disrtik Tigi Barat Diyai, Yipai, Onago, Wagomanim, Debei, dan sekiratnya, Disrtik Tigi Utara kogemani, Tenedagi dan kampong sekitarnya, Distrik Tigi Selatan Okomokebo, Meiyepa, Diyo dan sekitarnya berkumpul di perempatan jalan dekat bandara Waghete. Mama-mama menggelar dagangan mereka umumnya Sayur dan Ubi-ubian, diatas tanah.
Para bapak dan pemuda berkumpul ditanah lapang didepan deretan kios yang ada di sisi barat pasar. Sebagaian dari mereka membawa Koteka dan Rokok Tradisional yang disebut dengan Tawa untuk di jual di pasar Wanghete. seperti biasa diantara mereka juga ada yang hendak menjual Uka dan Mapega, Busur dan Anak Panahnya. Meksi seder hana, dua karya budaya itu indah. Salah satunya jenis kayu yang istimewa itu dibalut kulit batang anggrek yang berwarna kuning. busurnya yang terbuat kayu pohon palem hutan tampak kokoh.
Beberapa bapak mencoba manawar dengan harga pantas. iya ingin mengganti miliknya yang telah lapuk. bapak itu iya ingin berburu kuskus saat terang bulan nanti tiba. Namu iya hendak mengaitkan tali busur yang terbuat dari tali Rotan (Edu) dan mencoba kelenturan busur tersebut, tiba-tiba TNI yang ada didepan kios dan sejak pagi berjaga-jaga segerah melarangnya sampai alat tradisional itu mematahkan empat bagian dan busur yang dipegang pun mematahkan empat bagian.
Kata pemuda itu, “kami tidak pernah mempermasalahkan tentara yang selalu berjaga-jaga di pasar tetapi busir sebagian budaya dari saya sebagai bangsa papua barat membuat meremehkan dan membuat tidak sadar diatas tanah dan budaya ini”. Kami tidak hendak menyerang siapa pun, melalui uka dan mapega. Uka dan mapega adalah bagian dari buadaya kami teriak lanjutannya.
Sungguh menyidihkan, ketika simbol-simbol budaya yang merupakan bagian integral buah pradaban sebuah suku, dinilai sebagai symbol-simbol perlawanan, itu tentu menyakitkan. Tidak mengherankan jika kemudian dalam gumam warga mulai mempersoalkan, mengapa kota sekecil Wagete, yang penghuninya tidak genap 1000 orang itu ada 3 pos aparat keamanan, itu melihat pada saat saya berada SMP Wanghete, tetapi sekarang tidak tahu musti lebih dari itu karen Wanghete sekarang sebagai sebuah ibukota Kabupaten Deiyai.
Selain Polsek dan Koramil, di Wanghete juga ada pos yang ditempati Tim Khusus dari Batalyon 753 Arvita. Yang warga ketahui Waghete, dianggap daerah merah, karena sering menjadi perlintasan kelompok organisasi papua merdeka (OPM).
Padahal mereka sendiri tidak tahu yang disebuat OPM itu sebenarnya siapa? “ Kata mereka kami hanya tahu berkebun dan memiara ternak.” Karena dianggapnya daerah merah itu pula, setiap hari pasar yang jatuh pada senin, Rabu, dan Jumat, tentara dengan bersenjata lengkap tampak berjaga-jaga di sudut-sudut pasar dan memantau gerak gerik warga di distrik kabupaten Deiyai.
Pengalaman masa lalu masyarakat pedalam terhadap sikap represi aparat keamanan dan absennya pelayanan publiK tampaknya berdampak besar pada rasa perasaan warga asli terhadap pemerintah. Semua prilaku TNI/ aparat tadi tidak jauh berbeda dengan berbagai daearah di Papua Barat, sungguh aneh perbuatan Aparat Keamanan.
Ditulis oleh Mahasiswa Papua yang Kuliah di Kota Gudeng Jogyakarta. Katanya,Tak peduli TNI Polri Di Papua, Maju Sampai Menemui Titik Akhir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar