Ia tak pernah merasa tua. Meski kerap kali jatuh, bahkan beberapa bulan lalu mengalami patah tulang sekitar leher yang cukup serius, ia masih gesit beraktivitas bagaikan seorang pemuda. Padahal usianya sudah 75 tahun. Bruder Jan Sjerps OFM berkarya sejak 31 tahun lalu sebagai misionaris di Papua. Selama 20 tahun terakhir, ia fokus pada pengembangan perkebunan kopi di Moanemani yang kemudian menyebar ke seantero pegunungan tengah Papua. Sebuah sisi lain dari misi pewartaan Kabar Gembira (baca: Injil).
Teruji di wilayah krisis
Br Jan Sjerps OFM, lahir di keluarga petani Belanda di dusun Zwagdijk-Oost, distrik Wervershoof pada 1 Nopember 1939. Ia bergabung dengan para saudara dina di OFM Belanda, 5 Nopember 1964. Tidak lama setelah itu pada tahun 1969, Jan Sjerps ditugaskan ke Sentani, Jayapura untuk memperkuat misi Fransiskan di Papua. “Waktu itu misi di Papua sangat kekurangan tenaga sehingga kami cepat-cepat diutus,” ujar Br Jan.
Dengan latar belakang sebagai keluarga petani, ia ditempatkan memimpin Pusat Latihan Pertanian/Peternakan di Sentani selama empat tahun.
Saat ada kekurangan gizi di Agimuga, ia diutus memulai program agraris di Agimuga. Bruder Jan memperkenalkan sejumlah tanaman sayur dan kacang-kacangan serta ternak unggas kepada penduduk suku Amungme itu. Berkat kompos dari kotoran ternak dan manusia, hasil pertanian cukup berlimpah. Ia membeli semua hasil sayur, seperti buncis, kacang tanah, kacang hijau, padi dan unggas, lalu ia jual kembali. “Mereka bisa membeli seng untuk membuat rumah, karena mereka semua mau rumah seperti para guru. Mereka gergaji kayu dan bayar tukang untuk bikin rumah,” kenang Br Jan. Ia bukan sekadar mengajarkan teknik pertanian dan peternakan, tetapi juga memecahkan masalah kelimpahan produksi pangan akibat program tersebut.
Selama sekitar empat tahun di Agimuga, Bruder Jan, juga mengumpulkan sekitar 30 orang muda untuk menjadi kader di bidang pertanian. “Mereka setelah lulus SD tidak tahu hendak ke mana. Saya berpikir mereka harus hidupi diri dengan bertani, hingga sekarang masih ada yang jadi tokoh,” ujarnya, membanggakan anak didiknya.
Pada 1977 terjadi perang di wilayah tersebut dan selama tiga bulan jalan masuk lewat darat, air maupun udara tertutup karena OPM pimpinan Kelik Kwalik menguasai pedalaman. Tapi wilayah tersebut bertahan hidup dengan hasil pertanian dan peternakan lokal. Situasi darurat tersebut sudah menjadi tolak ukur ketahanan pangan Agimuga berkat program agraris yang dirintis oleh sang misionaris.
Awal dari sebuah nama dalam peta
Setelah dinilai kurang aman dan dirasakan program sudah berjalan cukup baik, pada tahun yang sama, Br Jan diutus ke Epouto untuk mengembangkan pertanian dan peternakan, asrama dan sekolah SMP. “Semua saya kerjakan, mulai dari urus tanaman sampai mengajar anak-anak dan anak-anak harus diberi makan dari hasil pertanian, walau tetap ada bahan makanan dari luar, tetapi tiap pagi mereka makan kacang merah,” Bruder menerangkan tugasnya di Epouto.
Namun karya bruder di Epouto tidak lama, hanya dua tahun saja. Pada tahun 1979, Bruder pindahkan semua karya misi ke Moanemani. Menurutnya tanah tidak cukup subur untuk umbi-umbian guna memberi makan siswa dengan dua sekolah paralel sedangkan biaya operasional akan menjadi terlalu mahal jika selalu harus mendatangkan pangan dari luar.
“Saya pindahkan semua ke Moanemani dan di sana saya memulai semuanya dari awal lagi: membangun asrama dan membangun sekolah lengkap dengan tangki air dan fasilitas yang baik itu, sangat kuat!” ujar Bruder menambahkan.
Di Moanemani, yang sekarang menjadi ibukota Kabupaten Dogiyai, karyanya dimulai berdasarkan pengalaman di Epouto ditambah kerja sama yang baik di antara misionaris Fransiskan saat itu. Sementara Bruder Jan mengurus pendidikan, Kepala Paroki Moanemani Pastor Koenen OFM, selalu menekankan kerja pertanian dan peternakan dalam setiap khotbahnya. Sedangkan Br Karel OFM, secara khusus menangani pengairan di wilayah yang hanya rawa belaka tersebut. Hal yang tidak terbayangkan jika melihat Moanemani saat ini.
Dengan selesainya kompleks asrama dan sekolah tahun 1980, Bruder Jan memusatkan perhatian pada pelatihan anak-anak SMP. Ia mulai dengan menanam 1000 pohon kopi sebagai percontohan dan latihan bagi para petani di Moanemani. Bruder Jan mengambil bibit dari Yametadi, dahulu dinas pertanian pemerintahan Belanda tanam kopi di wilayah tersebut tetapi tidak berkembang. Di bawah pengawasannya, kebun kopi di belakang kompleks sekolah ini akhirnya dilirik juga oleh pemerintah dan ditetapkan menjadi pusat pembibitan kopi bagi seluruh Papua sekitar tahun 1986. Sejak itu, Moanemani terkenal dengan kopinya yang memiliki cita rasa khas. Sebuah nama muncul di peta kosong pegunungan tengah Papua: Moanemani.
Sekitar 300 anak ia kerahkan untuk mengerjakan kebun kopi. Tiap minggu Bruder Jan mentargetkan waktu dua jam untuk perawatan tanah pada masing-masing pohon. Ia menggunakan kotoran sapi dan kotoran anak-anak asrama sebagai pupuk bagi tanaman kopi. “Setiap anak punya satu kaleng untuk tampung kotoran dan itu dibuang di kebun kopi, praktis heh?!” kelakarnya.
Tiap Sabtu dan Minggu, ia pergi ke kampung untuk penyuluhan kopi dan memberikan penyadaran tentang pentingnya tanaman ini bagi perkembangan masyarakat. “Apalagi anak-anak dari mana-mana datang, mereka juga mau tanam kopi di daerah asalnya, jadi promosi yang cukup baik,” sambungnya.
Masalahnya, ia tidak sempat lagi untuk mengajar goreng kopi karena berbagai kesibukan yang sudah menantinya di sekolah dan asrama. Di sekolah, selalu ada pelatihan mengupas kulit merah, proses fermentasi dan mengeringkan kopi. Setelah kering, kulit keras (parchment) dikupas dan kopi dijemur lagi menjadi biji kopi berwarna hijau segar (green). Maka bruder memang serius pusatkan program pembibitan, pemeliharaan dan pengolahan paska panen perkebunan kopi, sementara hasil panen yang sudah siap digoreng langsung dijual ke pabrik kopi P5 untuk mendukung program ini. Saat itu satu-satunya roaster hanya ada di pabrik kopi milik keuskupan lewat program Yayasan P5 di Moanemani, maka seluruh hasil kopi terbaik dari masyarakat ditampung di situ.
Di tempat lain di Timeepa beberapa petani sudah punya kopi juga sebelum Br Jan datang. “Sekitar tahun 1980-an sudah ada kebun kopi yang bagus di sekitar Timeepa, mungkin itu sebabnya kita sekarang punya dua jenis kopi di pedalaman,” ungkapnya. Hasil kopi dari Timeepa dikirim ke Nabire dengan pesawat misi lalu para pendatang mengolahnya. Mereka mencampur kopi dari Timeepa maupun kopi buangan dari Moanemani dengan jagung untuk kemudian memberi cap Moanemani guna menarik pembeli yang terlanjur suka kopi Moanemani. Berangsur-angsur, pabrik kopi asal-asalan itu lebih sukses memasarkan produknya yang murah ketimbang pabrik P5, yang semakin susah mendapat kopi bermutu dari masyarakat. Sudah lima tahun terakhir produksi kopi masyarakat menurun drastis seiring perginya sang begawan kopi, Bruder Jan, yang karena usia ditarik ke pusat misi Fransiskan di Sentani, Jayapura sejak 2005.
Akhirnya, misionaris yang masih terus memantau hasil kerja kerasnya mengembangkan kopi di pegunungan tengah Papua memberi komentar terkait usaha Misi Domestik Keuskupan Agung Jakarta menghidupkan kembali semangat ‘jadul’ itu. Menurutnya, sekarang tiap petani bisa goreng kopi. “Itu bagus, sehingga ternyata bisa lebih efisien dan sejalan juga dengan cita-cita Gereja mandiri.”
Dengan industri rumah tangga, sebuah kelompok kerja bisa membuat hal ini dengan murah seperti di kampng halamannya, Belanda dulu. “Kami juga biasa buat keju dari sapi yang kami sendiri perah. Dan ini bisa hidupkan masyarakat Kamuu dan Mapia masuk dalam budaya kopi… ya… seperti Toraja.”
Sumber: http://www.hidupkatolik.com/2012/09/11/bruder-jan-sjerps-ofm-di-balik-kopi-papua
Tidak ada komentar:
Posting Komentar