KRISIS PAPUA : PERANG KEPENTINGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT, DAERAH DAN PIHAK ASING - Langkah-Ku Tanpa Alas Kaki

Langkah-Ku Tanpa  Alas Kaki

Langkah-Ku Tanpa Alas Kaki

test banner

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Minggu, 15 Juli 2012

KRISIS PAPUA : PERANG KEPENTINGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT, DAERAH DAN PIHAK ASING

                                                         Oleh:  Adinda Laksimi Indara                                                               
Latar Belakang

Papua adalah daerah di ujung timur Indonesia yang selama ini masih menjadi perhatian publik nasional dan internasional karena situasinya yang jauh dari kesan kondusif dan aman. Sejak awal, baik saat menjalankan administrasi pemerintahan sebelum PEPERA atau sesudah Papua secara resmi menjadi bagian dari wilayah Indonesia, pemerintah memilih dan menggunakan pendekatan keamanan atau militerisme dengan alasan untuk menegakkan kedaulatan negara, mengikis habis gerakan separatisme yang telah dipupuk sebelum Belanda hengkang dari Papua.

Bahkan pendekatan ini juga dijalankan oleh pusat untuk menangani sejumlah gerakan masyarakat sipil yang kritis (OPM) terhadap pemerintah maupun perlawanan dari kelompok di Papua yang sejak awal menolak integrasi Papua ke Indonesia dengan jalan damai. Kita semua paham bahwa latar belakang persoalan Papua sebenarnya adalah permasalahan ketidakadilan yang selama ini dipraktekkan oleh pemerintah pusat, baik dari sisi akses sumber daya alam, ekonomi, politik, budaya dan berbagai bentuk pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka mewujudkan stabilitas. Implikasinya adalah tidak berjalannya proses pembangunan di Provinsi Papua dan kecenderungan eksploitasi sumber daya alam yang lebih dominan yang dilakukan oleh pemerintah pusat. Fakta inilah yang kemudian mendorong masyarakat Papua untuk meninjau kembali perjalanan sejarah Papua, khususnya yang berkaitan dengan Penentuan Jejak Pendapat Rakyat Papua (Pepera) tahun 1966 yang dianggap tidak merepresentasikan seluruh masyarakat Papua yang amat beragam etnis, suku dan ras serta implikasi yang lebih jauh adalah adanya tuntutan agar Papua Merdeka.
Penanganan konflik Papua tidak berubah walaupun rezim telah beberapa kali berganti. Hal itu bisa dilihat dengan belum adanya perubahan secara jelas terhadap kebijakan pusat setelah 50 tahun lebih integrasi Papua ke Indonesia. Faktanya pendekatan keamanan dan militer masih dipertahankan dan digunakan dengan alasan ancaman keamanan dan kedaulatan negara.

Kemudian diperparah ketika terjadi perubahan politik nasional seiring tumbangnya rezim orde baru tahun 1998, penanganan konflik Papua tidak beranjak dari pola pendekatan politik militer. Meskipun tahun 2001 pemerintah pusat yang ketika itu dipimpin oleh Presiden Megawati Sokarnoputri memberikan Otonomi Khusus (OTSUS) sebagai suatu alat politik[1] terhadap Papua melalui pada Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001, namun hal tersebut tidak menandakan adanya gejala perubahan pola penanganan di Papua, karena kenyataannya pendekatan yang bertumpu pada penggunaan aparat TNI masih diberlakukan. Tetap berlanjutnya pendekatan ini terhadap Papua mencerminkan sikap setengah hati dari pemerintah pusat untuk menyelesaikan konflik antara Jakarta – Papua secara damai dan tanpa kekerasan.



OTONOMI DAERAH

Pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia dapat dilacak dalam kerangka  konstitusi NKRI. Dikaitkan dengan dasar konstitusi tersebut, penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia terkait erat dengan pola pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Hal ini karena dalam penyelenggaraan desentralisasi selalu terdapat dua elemen penting yaitu pembentukan daerah otonom dan penyerahan kekuasaan secara hukum dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus bagian – bagian tertentu urusan pemerintahan.

Bagi suatu masyarakat yang menganut prinsip-prinsip demokratisasi dan modernisasi, secara politik otonomi daerah merupakan salah satu bentuk kepedulian masyarakat untuk ikut serta berpartisipasi membangun diri dan masa depan masyarakatnya. Secara sosial, otonomi daerah mendorong terjadinya interaksi sosial yang lebih intens antar anggota masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dan hajat hidupnya, sedangkan secara ekonomi, otonomi daerah merupakan bentuk penyelenggaraan layanan masyarakat yang lebih efisien dan produktif dibandingkan dengan sistem layanan pusat. Namun pelaksanaan otonomi daerah juga membuka peluang bagi dominasi asing untuk mencengkram Indonesia melalui agen – agen kapitalis berbentuk perusahaan asing dan transnational corporation untuk mengeruk kekayaan Indonesia. Dominasi asing meluas dan menyebar pada sektor – sektor strategis perekonomian seperti keuangan, energi dan sumber daya mineral.

Ironis sekali bila melihat keadaan yang ada di Indonesia ini, bahwa tuntutan jaman membutuhkan otonomi daerah yang diharapkan dapat membuat daerah menjadi mandiri dalam peningkatan kualitas daerahnya masing – masing. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa otonomi daerah ini juga akan membawa pada ketimoangan – ketimpangan ekonomi dan perang bisnis kepentingan yag hanya akan menyebabkan konflik. Selain itu, campur tangan pihak asing dalam penanaman modal dan privatisasi public goods juga semakin lancar, dan pemerintah cenderung melegitimasikan hal tersebut.



Otonomi Khusus
Setelah diterbitkannya otonomi daerah yang tujuan awalnya agar setiap daerah mampu mandiri dan mengurus tata kelola pemerintahannya secara mandiri. Namunn konflik Papua belum saja berakhir. Kemudian pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri, beliau mengeluarkan Otonomi Khusus bagi daerah Papua yang sebenarnya digunakan sebagai alat politik agar konflik Papua tidak berkepanjangan. Namun otonomi khusus bukanlah sebuah penyelesaian yang optimal dan Papua seolah tak pernah berhenti menjadi zona kekerasan. Sekarang pun, beragam bentuk kekerasan terus meningkat berkelindan dengan harapan akan kesejahteraan yang tak pernah kunjung datang. Inilah wajah penuh paradoks atau kompleks dari pemberlakukan UU Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua atau sering dikenal dengan sebutan UU Otsus Papua.

Sejak 21 November 2001 atau tepatnya sepuluh tahun lalu, pemerintah pusat mulai menerapkan otonomi khusus Papua, sebagai solusi percepatan pembangunan di daerah Papua, termasuk mengatasi berbagai keresahan sosial. Otonomi khusus ini pada awalnya diharapkan dapat menjadi jawaban akan krisis Papua yang selama ini terjadi. Pada kenyataannya Otonomi Khusus seakan memperparah dan menambah ketidakpercayaan rakyat Papua terhadap pemerintah pusat. Namun Otsus yang sudah menghabiskan lebih dari 30 triliun rupiah, dinilai tidak memiliki target bahkan justru menimbulkan ketidakstabilan di Papua.[2]
Masih banyak penyimpangan bahkan pelanggaran HAM. Akibatnya tidak ada perkembangan di sana, masyarakat asli tak pernah menikmati hasil tanah kelahirannya. Padahal otonomi khusus di sudah berusia satu dekade. Tujuan dari UU Otonomi Khusus ini merupakan cara untuk mendelegasikan kewenangan yang lebih besar kepada pemerintahan daerah dengan dukungan dana sangat besar. Orientasi awalnya adalah peningkatan kesejahteraan, harkat dan martabat masyarakat Papua. Sumber dana mengucur deras dari dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK), dana otonomi khusus serta dana tambahan infrastruktur. Sebagai gambaran, kita ambil contoh total dana otonomi khusus yang telah dikucurkan ke Papua sejak 2002 sampai 2011 mencapai 32 triliun rupiah.



Kegagalan Otonomi Khusus
Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa konflik dan krisis di daerah Papua tak kunjung meredam bahan tak kunjung berakhir. Sehingga banyak yang menyimpulkan bahwa Otonomi Khusus mengalami kegagalan. Lalu apa yang salah dengan otsus? Tentu sebenarnya bukan pada konsepnya yang menjanjikan harapan besar melainkan pada implementasi yang penuh corengmoreng. Hal ini dikarenakan aliran dana Otsus hanya menjadi lahan bagi kaum elit pusat dan daerah untuk dikorupsi.

Contoh kecil dari kasus tersebut adalah data hasil pemeriksaan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) terhadap anggaran otsus periode 2004 – 2009 menyebutkan ada penyimpangan sebesar 578 miliar rupiah atau 16 persen. Sekitar 70 persen penyimpangan tersebut berupa pengeluaran yang tak dapat dipertanggungjawabkan. Seperti proyek – proyek fiktif, penggelembungan nilai proyek, belanja yang menyimpang dan lain-lain. Hasil otsus bukannya kesejahtaraan masyarakat Papua, yang ada justru memunculkan perilaku korup para pejabat di daerah yang sangat mungkin bekerjasama dengan pemerintah pusat.

Banyaknya pelanggaran terhadap Otsus ini yang menyebabkan ditarik kesimpulan bahwa penerapan Otsus mengalami kegagalan. Pelanggaran seperti ditetapkannya dualisme hukum antara Provinsi dan Kab/Kota di daerah Otonomi khusus di Tanah Papua, dimana Provinsi melaksanakan UU No.21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus, sedangkan Kab/Kota melaksanakan UU No.32 Tahun 2004. Selain itu pencairan dana otsus juga selalu terlambat dan tidak ada pembagian hasil sumber daya Papua antar penduduk Papua dan Jakarta, belum ditentukan kebijakan khusus yang mengatur keberpihakan, perlindungan dan pemberdayaan terhadap orang asli Papua, dan banyaknya penculikan dan pembunuhan yang terjadi di Papua menjadi kesimpulan bahwa penerapan Otonomi Khusus gagal total dan otonomi khusus cenderung menjadi alat politik bagi pemerintah dan pihak asing.



Pemerintah Pusat dan Papua
Konflik antara Papua dengan pemerintah pusat hingga saat ini tidak pernah berujung dengan kesepakatan perdamaian. Sejak 2001 hingga sekarang ini, pemerintah lebih suka melakukan pendekatan serta penanganan militeristik untuk menyelesaikan krisis Papua. Ini hanya akan menambah panjang persoalan dan berujung pada disintegrasi. Keamanan tanpa melalui kekerasan merupakan solusi terhadap disintegrasi sosial, kesenjangan ekonomi, diskriminasi poltik dan kekerasan budaya sehingga konflik segera dapat dipulihkan.
Proses eksploitasi kekayaan alam di Papua seperti tambang Freeport, penebangan hutan dan lain-lain, telah mendorong terjadinya proses perubahan sosial budaya dan kesenjangan sosial. Nah, ini juga bisa menjadi pemicu konflik. Apalagi, ketika mereka melihat para pendatang atau pihak asing begitu leluasa menikmati kekayaan alam Papua, termasuk pendatang dari luar negeri. Sementara warga Papua tak merasakan kenikmatan serupa, bahkan merasa semakin terasing dan terancam di kampungnya sendiri.
Sehingga dari persoalan – persoalan diatas maka dapat dianalisis penyebab semakin buruknya konflik antara Papua dengan Pemerintah Pusat seperti berikut ini :



  • Pemerintah yang cenderung menganaktirikan daerah Papua
Hal ini terbukti dengan pusat perkembangan semuanya ada di Pulau Jawa, bahkan daerah Papua jarang sekali mendapatkan jatah pembangunan karena alokasi dana pemerintah untuk daerah Papua cenderung tidak dioptimalkan. Ironis sekali apabila dapat kita lihat bahwa kita yang menetap di Pulau Jawa sudah berlimpah air dan listrik, dan meskipun beberapakali mati lampu saja sudah banyak yang protes, namun yang terjadi di Papua sangatlah miris. Untuk merasakan listrik atau lampu menyala merupakan angan – angan belaka. Dari hal – hal kecil seperti itulah akhirnya timbul pikiran dan pendapat rakyat Papua bahwa pemerintah pusat cenderung acuh tak acuh dan menelantarkan kondisi Papua karena tidak segera diperbaiki dan ditingkatkan.


  • Pengimplementasan otonomi khusus yang cenderung gagal
Pemerintah menggunakan otonomi khusus untuk meredam Operasi Papua Merdeka agar tidak terjadi aksi separatisme di Indonesia. Namun lagi – lagi otonomi khusus ini hanya menimbulkan masalah baru lagi. Karena tujuan awal otonomi khusus Papua ini adalah kewenangan dan akses daerah atas pengelolaan sumber daya alam atau sumber ekonomi. Namun pemerintah seperti tidak menepati janjinya dalam pembagian hasil sumber ekonomi ini.

Pemerintah seakan memperlancar dan melegitimasi pihak asing untuk ikut campur dalam SDA yang dimiliki Papua, seperti contohnya Freeport. Rakyat Papua cenderung hanya dimanfaatkan sebagai pekerja, namun tidak pernah merasakan hasil sumber daya alam dari daerah mereka sendiri. Bahkan baru – baru ini ketika pekerja yang notabene rakyat Papua menuntut kenaikan upah atau gaji pada PT Freeport, jelas – jelas lantang ditolak dan menyebabkan kerusuhan lagi. Ironi sekali bahwa Papua memiliki SDA yang banyak dan kaya namun tidak mendapatkan imbasnya.


  • Pemerintah cenderung menangani konflik secara militerisme
Konflik Papua yang terjadi terus – menerus itu tidak dipungkiri juga disebabkan oleh terjadinya kekerasan dan pelanggaran HAM yang banyak dilakukan oleh aparat keamanan TNI. Pemerintah menangani konflik di Papua dengan cara militerisme merupakan penanganan yang salah, menurut saya seharusnya penanganan konflik Papua dilakukan secara ‘civil society’.

Sehingga tidak melalui kekerasan yang semakin membuat rakyat Papua tidak percaya pada pemerintah. Penanganan secara militerisme semakin memperburuk keadaan dan membuat konflik Papua semakin kompleks dikarenakan maraknya pelanggaran HAM berat mulai dari pemerkosaan, pembunuhan penyiksaan, dll. Hingga penyiksaan yang terus berlangsung.

Sehingga menciptakan culture of violence yang timbal balik. Padahal penyiksaan telah disepakati dalam konvensi anti penyiksaan tidak boleh dilakukan dalam alasan apapun. Indonesia harus menggeser pendekatan keamanannya dari mengandalkan kekuatan militer menuju kekuatan yang cerdas.
Yang artinya negara akan menggunakan pendekatan dengan otak daripada kekuatan represif. Konsep smart power sendiri berkembang dari konsep soft of power.


  • Pemerintah cenderung melegitimasikan agenda neoliberalisme
Kasus Freeport merupakan salah satu contoh kasus Pemerintah melegalkan aksi neoliberalisme atau prvatisasi. Saham asing sudah lebih dari 70% memiliki sumber-sumber daya alam di Papua. Tapi pemerintah tetap membiarkan tangan – tangan asing itu berjalan dan seakan berusaha melegitimaskannya. Hal ini juga mengacu pada realisasi janji – jani utang luar negeri yag mengharuskan melakukan privatisasi dan subsidi yang merupakan agenda neoliberalisme global.


  • Pemerintah kurang transaparan
Maksud dari pemerintah yang kurang transparan disini adalah bahwa pemerintah pusat kurangbisa mengayomi rakyat Papua dan memberikan penjelasan yang jelas termasuk dalam alokasi daa APBN untuk Papua. Sehingga yang terjadi adalah yang mengetahui informasi – informasi tersebut hanyalah segelintir orang, dan dimanfaaatkan untuk kepentingan mereka sendiri.

Pemerintah juga cenderung menutup-nutupi apa yang sedang terjadi di tanah Papua seperti contohnya melindungi pihak asing melakukan penanaman saham yang merugikan bagi rakyat Papua. Pemerintah pusat juga jarang sekali berdialog dengan rakyat Papua, mereka cenderung



Pemerintah Daerah Papua Korupsi
Keadaan ini diperparah oleh ulah oknum pejabat pemerintahan daerah yang bersenang-senang dan berpesta pora dengan menjarah uang negara seenaknya. Mungkin, termasuk dari dana otsus tadi. Sebab, bukan lagi rahasia, betapa sering kita mendengar para pejabat Papua bolak balik ke Jakarta ketimbang mengurus masyarakatnya.

Permasalahan di Papua semakin kompleks dengan adanya beberapa alasan, kenapa pemerintah tidak akan mampu mengatasi masalah Papua. Pertama, gerakan separatisme ini yang sekarang mulai didukung oleh opini internasional justru memanfaatkan titik lemah Pemerintah Indonesia yang ternyata sangat sulit mengambil langkahlangkah besar untuk melindungi bangsa dan negaranya. Kedua, sikap Amerika Serikat masih multitafsir. Bisa jadi nantinya Amerika Serikat membela kemerdekaan Papua karena Indonesia dianggap “gagal menyejahterakan” Papua.

Dana APBD banyak sekali yang dikorupsi oleh oknum – oknum pemerintah daerah. Padahal seharusnya pemerintah daerah Papua lebih memihak pada rakyat Papua, nyatanya tidak sama sekali. Bahkan krisis di Papua apabila dianalisis lebih lanjut lagi maka akar permasalaha utama selain agenda neoliberalisme adalah tindak – tanduk korupsi para pejabat. Mulai sistem pemerintah pusat hingga ke pemerintah daerah Papua tidak lepas dari aksi korupsi segelintir oknum. Bayangkan saja dana otonomi khusus yang dikucurkan oleh pemerintah sebesar Rp 52 Triliun hanya dialokasikan sebsar Rp 20 Triliun. Rp 32 Triliun banyak dikorupsi oleh pejabat – pejabat daerah Papua hanya untuk mementingkan kepentingan mereka sendiri. Lagi – lagi dampak hal ini adalah pada rakyat Papua yang semakin sengsara. Sehingga apabila dirumuskan menjadi beberapa kelompok maka didapatkan faktor – faktor penyebab krisis Papua yang berasal dari Pemerintah Daerah Papua :
  • Pemerintah Daerah Papua seringkali tidak transparan
Maksud dari tidak transparan disini adalah seringkali pemda Papua tidak melakukan sosialisasi yang didapatkan dari pemerintah pusat. Sehingga seringkali terjadi ‘miss-understood’ antara rakyat Papua dengan pemerintah daerah juga pemerintah pusat. Sebenarnya berkurangnya kepercayaan rakyat Papua kepada pemerintah pusat tidak selalu kesalahan pemerintahan pusat itu sendiri, namun juga pemerintahan daerah ikut andil dalam kesalahan tersebut.


  • Pemerintah Daerah Papua Marak Melakukan Korupsi
Sebenarnya krisis Papua apabila dianalisis lebih lanjut lagi disebabkan oleh sedikitnya alokasi dana otonomi khusus untuk daerah Papua. Hal ini dikarenakan dikorupsi oleh Pemerintah Daerah dan Pejabat – Pejabat Daerah yang gila harta, dan lagi – lagi hal ini mengakibatkan kesengsaraan penduduk Papua itu sendiri


  • Pemerintah Daerah Bekerjasama dengan Pihak Asing Demi Mencari Keuntungan
Campurtangan pihak asing juga sebenarnya ada andilnya dengan persetujuan pemerintah daerah Papua. Dikarenakan pihak asing sebenarnya tidak bisa semudah itu atau selonggar itu untuk menanamkan saham di daerah Papua tanpa perijinan dari pemerintah daerah setempat.



Campur Tangan Pihak Asing
Kasus Papua memang begitu kompleks dan berdimensi banyak. Di satu sisi ada masalah ketertinggalan dan kemiskinan yang memang benar – benar nyata terjadi. Sehingga pembangunan nyaris tak banyak dirasakan rakyat Papua, kecuali hanya segelintir elit saja. Di sisi lain, memang harus diakui adanya kekuatan asing yang bermain di sana dengan memanfaatkan orang – orang lokal. Jadi, jelas ada intervensi dan penetrasi asing secara terselubung di Papua. Salah satunya dengan memanfaatkan isu ketertinggalan rakyat Papua dengan hasutan keluar dari NKRI.

Sayangnya pemerintah pusat yang dipimpin oleh SBY ini tidak tanggap membaca gerakan ini. Padahal, walaupun sekarang gerakan itu masih kecil, pada saatnya akan membesar menjadi sebuah gerakan yang melibatkan internasional. Inilah yang harus diwaspadai dan dicermati pemerintahan SBY dari sekarang.
Tugas utama pemerintah pusat sekarang adalah memperbaiki daerah Papua agar tidak menjadi isu internasional. Sebab, apabila pihak asing mengetahui kelemahan yang terjadi di daerah Papua, maka mereka itu akan melakukan berbagai cara dan jalur untuk meraih bayak keuntungan. Kalau dari sisi perlawanan fisik merasa tidak kuat karena tidak memiliki banyak senjata, maka mereka akan melakukan cara diplomasi yang melibatkan dunia internasional. Upaya ke arah itu sekarang sudah dimulai dengan munculnya dukungan dan keterlibatan sejumlah anggota parlemen di Inggris melalui berbagai forum yang mendorong Papua supaya jadi kasus internasional.

Sekali lagi, pemerintah pusat tidak boleh menganggap remeh kasus Papua. Gerakan sparatis yang dimotori kekuatan asing terus bekerja. Sejumlah tokoh Papua yang mendukung separatis kini sudah disebar di sejumlah negara di luar negeri seperti Australia, Amerika Serikat, Inggris, Eropa, dan lain-lain. Oleh karena itu pemerintah pusat sebaiknya tidak memberi celah agar gerakan ini tidak makin meluas. Secepatnya perlu dibangun dialog yang terus menerus dan membicarakannya dengan kepala dingin berbagai persoalan yang sedang dihadapi rakyat Papua. Masalah Papua bukan masalah administratif yang harus diselesaikan dengan cara membentuk Papua Tengah, melainkan juga ada masalah kultural.

Kebijakan otonomi khusus memang sudah menegaskan perlindungan terhadap hak masyarakat Papua. Selain, penghormatan terhadap hak asasi manusia dan hak ekonomi masyarakat Papua. Sejak 10 tahun kebijakan otsus itu diberlakukan di papua, ketidakadilan ternyata masih cukup terasa. Inilah momentum pemerintah pusat untuk segera melakukan evaluasi total. Mungkin ada yang salah dalam pelaksanaannya, termasuk faktor adanya penyelewengan dana otsus.

Melihat kompleksnya persoalan Papua, diperlukan keterlibatan semua elemen kepentingan, termasuk para akademisi untuk melakukan berbagai kajian dan penelitian agar penyelesaian Papua tidak salah arah dan salah kaprah. Mari kita lihat Papua secara utuh. Jangan hanya dilihat dari satu unsur saja, misalnya, soal adanya tindak kekerasan dan perang antar suku di sana. Sebab, bisa jadi, semua itu muncul karena ada faktor yang mendukungnya, mulai dari faktor kesnejangan ekonomi sampai ke masalah kesenjangan budaya yang belum bisa mereka ikuti atau mereka terima. Terutama, dengan mulai masuknya industrialisasi di sana.



DAMPAK KRISIS PAPUA
  • Hilangnya kepercayaan pada pemerintah
Pemerintah harus berupaya keras untuk mengubah dua stigma yang kini lekat dengan Papua. Pertama, stigma sparatisme yang sudah diidentikan dengan masyarakat Papua sejak Orde Baru. Persoalan ini menyengsarakan rakyat Papua karena selalu berada dalam ketidakpercayaan (distrust). Setiap kegiatan kerap dimaknai sebagai upaya memisahkan diri dari NKRI. Bahwa ada bagian tertentu dari masyarakat Papua yang ingin memisahkan diri dari NKRI benar adanya, namun jumlah mereka tidaklah mewakili keseluruhan masyarakat Papua. Dampak kecurigaan berlebih atas upaya separatisme berakibat menjadi seperti berikut ini :
  • memunculkan relasi antagonistik antara masyarakat Papua dengan pemerintahan pusat. Lebih jauh lagi, membuat posisi Papua termarginalkan di tengah laju pembangunan bangsa Indonesia.
  • stigma Papua sebagi zona kekerasan. Tak dipungkiri, betapa banyak kepentingan yang bermain di Papua dan faktanya memang banyak kekerasan terjadi di wilayah tersebut. Namun jika ditelisik lebih mendalam, matarantai kekerasan sebenarnya berporos juga pada persoalan hulu yakni minimnya tingkat kesejahteraan yang dirasakan mereka. Jika kedua stigma ini terus melembaga dalam kesadaran masyarakat Papua maka tentunya akan merugikan Indonesia.

  • Keinginan Untuk Lepas dari NKRI
Hal ini terjadi karena rakyat Papua merasa kebutuhannya tidak dipenuhi oleh Indonesia, bahkan mereka cenderung dimanfaatkan oleh Pemerintah. Mereka berpendapat bahwa apabila mereka lepas dari NKRI maka Papua akan lebih tentram dan kaya tanpa dikuasai oleh pemerintah Indonesia. Seperti pendapat dari narasumber penduduk Papua yang ikut dalam dialog “Otonomi Khusus Alasan Papua Inginkan Kemerdekaan” yang bertempat di Fakultas Hukum dengan bekerjasama LSM Otoda.
“Kami tidak pernah merasakan perubahan kondisi Papua sebelum Otonomi Khusus ataukah sesudah Otonomi Khusus, karena kami berangkat tidur dan bangun tidur dalam kegelapan, tanpa ada listrik sedikitpun. Lalu kemana Otonomi Khusus?”[3]
Berikut juga pendapat dari salah satu narasumber pada dialog Otonomi Khusus tersebut,
“Kami merasa dianaktirikan, kami sudah tidak percaya pemerintah. Kebijakan apapun yang dirumuskan pemerintah itu hanya untuk mengeruk kekayaan daerah kami”[4]
Dari dialog otonomi khusus Papua diatas sudah dapat diambil kesimpulan bahwa hampir semua rakyat Papua telah tidak percaya pada pemerintah dan menginginkan merdeka, lepas dari NKRI.



  • Pihak Asing Semakin Menanamkan Cengkramannya
Semakin daerah Papua mengalami krisis dan konflik, maka pihak asing semakin dengan mudah mengadu domba antara rakyat Papua dan pemerintah. Dengan begitu, pihak asing dengan mudah menanamkan saham dan ideologi mereka ke rakyat Papua. Ideologi neoliberalisme semakin tertanam dengan kuat dan mengakar di pemerintah Indonesia. Kasus Freeport merupakan salah satu contoh pihak asing yang semakin menguatkan sahamnya di dalamnya.


  • Semakin Melegitimaskan Pelanggaran HAM Berat di Daerah Papua
Aksi militerisme di daerah Papua semakin membuat pelanggaran HAM semakin marak terjadi. Pemerintah juga acuh tak acuh dan membiarkan aksi kekerasan Papua semakin menjadi – jadi.Aparat TNI juga menjadi sewenang – wenang dalam mengantisipasi aksi Operasi Papua Merdeka. Bahkan tidak sungkan – sungkan membunuh, menyiksa, memerkosa istri para anggota OPM hanya untuk memancing anggota OPM keluar dari tempat persembunyian. Hal ini sudah jelas – jelas melanggar HAM dan KOMNASHAM cenderung tidak bisa menyelesaikan permasalahan seperti ini.



Solusi
Dari berbagai permasalahan diatas maka dapat disimpulkan atau dianalisis beberapa solusi untuk memperbaiki krisis Papua sehingga tidak semakin memburuk. Ada tiga solusi dalam mengurai persoalan Papua yaitu sebagai berikut ini :
  1. Pemerintah pusat maupun daerah sesegara mungkin mewujudkan kesejahteraan di Papua. Dibutuhkan langkah cepat, tepat dan terkoordinasi dengan baik. Jangan sampai dana otsus atau alokasi dana lain untuk Papua bocor dimana-mana dan menyebabkan frustasi masif masyarakat Papua yang berhak menerimanya. Upaya mewujudkan kesejahteraan juga harus barengi dengan dialog berkelanjutan antar pemerintah dengan berbagai elemen masyarakat, terutama dengan mereka yang saat ini berada di titik rawan konflik Papua.
  2. Pemerintah harus cekatan membangun hubungan positif dengan media terkait dengan implementasi otsus Papua. Hubungan media ini menjadi strategis dalam mengendalikan opini publik terutama yang dikonstruksi oleh media – media nasional, regional maupun global. Bukan dengan cara menekan kebebasan pers atau sangat protektif terhadap isu Papua, melainkan membangun pemahaman bersama di antara pemerintah, masyarakat Papua dan media massa.
  1. Pemerintah juga harus terus mengintensifkan kerja-kerja lobi dan diplomasi di dunia internasional[5]. Terutama untuk mengantisipasi kerja – kerja kelompok kecil yang memperjuangkan papua merdeka. Hal ini, bisa dilakukan melalui hubungan baik dengan berbagai negara di dunia. Upaya lobi dan diplomasi ini penting untuk mereduksi efek persepsi negatif yang terbangun di dunia karena kekerasan di daerah Papua.
[1] Gun Haryanto. Wajah Paradoks Otsus Papua. Lensa Indonesia
[2] AP Batubara.2011. Rusuh Papua Skenario Asing dan Pejabat Korup. JakartaPress
[3] Hasil dari dialog Otonomi Khusus bersama Perwakilan Rakyat Papua di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya bekerjasama dengan LSM Otonomi Daerah
[4] Hasil dari dialog Otonomi Khusus bersama Perwakilan Rakyat Papua di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya bekerjasama dengan LSM Otonomi Daerah
[5] Setio, Budi Eko. 2011. Mencari Solusi Terbaik Papua. Seputar Indonesia

Daftar Referensi :
Hasil dari dialog Otonomi Khusus bersama Perwakilan Rakyat Papua di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya bekerjasama dengan LSM Otonomi Daerah
Gun Haryanto. Wajah Paradoks Otsus Papua. Lensa Indonesia
AP Batubara.2011. Rusuh Papua Skenario Asing dan Pejabat Korup. JakartaPress
Setio, Budi Eko. 2011. Mencari Solusi Terbaik Papua. Seputar Indonesia
www.KontraS.org


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Bottom Ad

Responsive Ads Here